Keberagaman Dalam Sejarah yang Kadang Terlewat - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Keberagaman Dalam Sejarah yang Kadang Terlewat
Nov 8th 2025, 09:00 by Muhamad Faqih

Seseorang sedang mencermati detail. Sumber: Pexels.com
Seseorang sedang mencermati detail. Sumber: Pexels.com

"Mbah, zaman Soeharto enak nggak?" Pertanyaan sederhana seperti itu sering muncul dari rasa penasaran generasi muda, khususnya Gen Z seperti saya. Jawaban yang diberikan kadang membuat kita bingung—ada yang bilang "enak", ada pula yang bilang "susah". Namun, justru di sinilah menariknya sejarah untuk ditelusuri. Setiap orang memiliki pengalaman dan perspektif yang berbeda terhadap masa lalu.

Pendapat mengenai "enak" atau "susahnya" zaman Soeharto merupakan penyamarataan atau generalisasi sejarah. Masa atau zaman yang telah berlalu tak dapat kita digeneralisasi begitu saja. Apa yang dirasakan seseorang pada masa lampau belum tentu dirasakan sama oleh orang lain pada waktu dan tempat yang berbeda.

Sejatinya, sejarah adalah jejak-jejak dari pengalaman manusia yang beragam—ada yang suram dan tentu ada yang indah. Di sini, topik utama yang akan kita bahas bukan soal enak atau tidaknya zaman presiden yang berhasil melengserkan Soekarno itu, melainkan tentang generalisasi dan keberagaman dalam sejarah.

Ilustrasi Ir. Soekarno. Foto: Shutterstock
Ilustrasi Ir. Soekarno. Foto: Shutterstock

Ciri khas dari sejarah adalah keunikan ruang (tempat) dan waktu (tanggal atau tahun). Sejarah akan menyoroti apa yang unik dari kehidupan manusia di suatu tempat. Maka dari itu, ada sejarah yang membahas masyarakat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain sebagainya. Ruang atau daerah yang telah disebutkan barusan punya jalan sejarah uniknya masing-masing.

Sejarah itu—salah satunya—mempelajari sekaligus menemukan sebab-akibat dari suatu peristiwa di masa lalu. Sebab-akibat itu bisa bersifat unik dan tidak seragam. Karena sifatnya yang unik, belum tentu sebab-akibatnya juga sama di lain tempat.

Beralih ke contoh kasus generalisasi, yaitu sistem tanam paksa pada masa Hindia Belanda. Selama ini, sistem tanam paksa atau Culturstelsel dilihat hanya dari sisi penderitaan petani di Jawa. Begitupun dampaknya telah digeneralisasi bahwa sistem tanam paksa pada masa penjajahan Belanda itu amat merugikan petani. Padahal, sistem tanam paksa tidak selalu menimbulkan kerugian, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi kaum tani.

Suasana di sebuah pabrik kulit di Batavia, Hindia Timur Belanda, sekarang Jakarta, Indonesia sekitar tahun 1920. Foto: Hulton Archive/Getty Images
Suasana di sebuah pabrik kulit di Batavia, Hindia Timur Belanda, sekarang Jakarta, Indonesia sekitar tahun 1920. Foto: Hulton Archive/Getty Images

Tulisan Robert E. Elson berjudul "Kemiskinan dan Kemakmuran pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa" dalam buku Sejarah Ekonomi Indonesia karya Anne Booth, William J. O'Malley, dan Anna Weide Weidemann, telah membuktikannya. Elson menunjukkan bukti-bukti bahwa sistem tanam paksa telah menguntungkan bagi petani di beberapa daerah di Jawa, seperti Pasuruan, Besuki, Cirebon, bahkan Semarang.

Misalnya di Pasuruan. Berdasarkan bukti laporan Residen setempat, tanam paksa telah meningkatkan peredaran uang dan kesempatan kerja, penyempurnaan sarana perumahan dan sandang, dan munculnya wiraswasta pribumi.

Selain dari bukti laporan Residen, bukti kesejahteraan petani di Pasuruan datang dari seorang pengecam sistem tanam paksa itu sendiri bernama W. R. van Hoevell. Selama perjalanan Hoevell di Pasuruan tahun 1847, ia menyaksikan kemakmuran dan kesejahteraan petani di sana.

Petani menanam padi di Aceh, Senin (19/5/2025). Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP
Petani menanam padi di Aceh, Senin (19/5/2025). Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP

Namun, kita perlu menahan rasa percaya terlebih dahulu. Laporan baik yang datang dari pejabat, layaknya Residen, mempunyai potensi kebohongan. Karena karier mereka akan ikut gagal bila melaporkan kegagalan. Walaupun begitu, Elson tetap mengingatkan bahwa tidak selalu pejabat-pejabat itu berbohong di setiap laporannya.

Elson tak hanya memperkuat argumennya dengan bukti-bukti laporan dari penguasa setempat. Argumennya tentang kemakmuran petani masa sistem tanam paksa juga diperkuat oleh data statistik. Data statistik yang ia cantumkan menunjukkan bahwa penghasilan petani lebih besar daripada pajak bumi yang harus dibayar. Sebagian petani tebu dan nila ternyata masih punya sisa beberapa gulden atau uang setelah melunasi pajak bumi, sehingga mereka tak perlu terpaksa menjual padinya dengan harga murah.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem tanam paksa menimbulkan dampak yang beragama bagi rakyat Jawa. Di sisi lain, tanam paksa tak hanya merugikan, tetapi juga menguntungkan di beberapa tempat. Namun, hal ini tidak berarti sistem tersebut sepenuhnya baik, tetapi menunjukkan bahwa sejarah memiliki banyak sisi yang perlu dikaji dari pelbagai sumber dan sudut pandang.

Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock

Contoh klasik dari generalisasi dalam sejarah Indonesia adalah pernyataan "Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda". Pernyataan itu keliru secara serius. Bukankah Indonesia juga pernah dijajah oleh Inggris dan Jepang? Dan apakah orang Belanda bernama Cornelis de Houtman langsung menjajah ketika pertama kali datang di Nusantara? Mengenai topik tersebut telah dibahas sejak tahun 1968 dalam buku berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah karya G. J. Resink.

Memahami perbedaan sisi dan perspektif dalam sejarah akan menahan diri kita untuk tidak mudah percaya begitu saja pada suatu narasi dan mendorong diri kita untuk berpikir kritis, yaitu menelusuri berbagai sumber dan pendapat sebelum mengambil kesimpulan. Selain itu, kita juga akan menjadi orang yang open-minded, yakni menerima beragam perspektif yang berlawanan dari apa yang telah kita yakini.

Berpikir kritis adalah kebiasan yang wajib dimiliki semua orang. Salah satu tujuannya ialah agar tidak gampang terbawa arus opini. Apalagi, saat ini kita hidup di zaman media sosial yang sangat kencang arus informasinya. Dengan demikian, kita akan lebih bijak dalam menjalani kehidupan.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url