Siswa Sekolah Rakyat yang terdampak banjir di Aceh. Foto: Kemensos RI
Kementerian Sosial RI memastikan proses pemulangan sementara siswa-siswi Sekolah Rakyat (SR) di sejumlah wilayah Aceh berjalan dengan aman dan terkoordinasi, menyusul kondisi darurat yang ditimbulkan banjir sejak akhir November. Sebanyak 225 siswa dari tiga Sekolah Rakyat di Bireuen, Lhokseumawe, dan Pidie Jaya dipulangkan karena keterbatasan logistik, terputusnya akses, serta meningkatnya risiko keselamatan bagi anak-anak dan para pendidik.
Di Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 25 Bireuen, Kepala Sekolah Nidia Fitri menjelaskan bahwa hujan deras selama beberapa hari membuat akses menuju sekolah nyaris tidak bisa dilewati. Sejumlah orang tua, diliputi kekhawatiran, mencoba menjemput anak-anak mereka. Namun situasi semakin memburuk ketika banjir kian parah, listrik padam hingga lima hari, dan kondisi di luar sekolah dinilai tidak lagi kondusif. Menurut Nidia, para siswa terus meminta pulang karena ingin berkumpul dengan keluarga mereka yang tengah berjuang di rumah masing-masing.
"Awalnya kami tahan karena banyak akses jalan yang putus dan sebagian orang tua justru berada di pengungsian," katanya, Selasa (9/12/2025).
Namun, setelah tujuh hari pasca banjir, situasi berubah semakin sulit. Wali asuh yang biasanya menetap di sekolah turut terdampak dan harus mengurus rumah mereka sendiri yang juga tergenang. Para guru pun kesulitan datang ke sekolah akibat kelangkaan BBM. Di saat yang sama, harga bahan makanan melonjak drastis sehingga stok permakanan tak lagi mencukupi untuk kebutuhan harian siswa. Melihat kondisi tersebut, pihak sekolah memutuskan mengajukan permohonan pemulangan sementara kepada Pusdiklatbangprof melalui PPK, merujuk pada surat Status Darurat Bencana yang dikeluarkan Bupati Bireuen.
Proses pemulangan dilakukan bertahap. Siswa yang masih memungkinkan dijemput oleh orang tua dipulangkan dengan pengawalan, sementara siswa yang orang tuanya sulit dihubungi atau tinggal di wilayah terdampak parah diantar langsung oleh pihak sekolah.
"Yang rumahnya berada di area jembatan patah, kami seberangkan satu per satu hingga mereka tiba di titik aman," ujar Nidia.
Siswa Sekolah Rakyat yang terdampak banjir di Aceh. Foto: Kemensos RI
Meski jembatan terdekat yang patah jaraknya hanya 300 meter dari sekolah, bangunan SR 25 Bireuen tetap aman dan tidak mengalami kerusakan. Dinas Pendidikan setempat kemudian memutuskan meliburkan kegiatan belajar hingga 20 Desember, dengan nilai ujian mengikuti penilaian harian siswa.
Jumlah rumah siswa SRT 25 Bireuen yang terdampak akibat banjir yaitu 72 siswa. Adapun rumah tendik dan guru yang terdampak sebanyak 18 orang.
Situasi tidak jauh berbeda terjadi di SRMP 33 Lhokseumawe. Kepala Sekolah Ayadi menyampaikan bahwa pemulangan sementara siswa dilakukan karena vendor permakanan tidak lagi sanggup menyediakan bahan makanan akibat kelangkaan pasokan dan harga yang terus naik.
"Karena waktu bencana terjadi, vendor makanan tidak sanggup menyediakan makanan. Bahannya langka dan mahal," jelasnya. Sekolah kemudian menyurati PPK untuk meminta persetujuan pemulangan.
Meski listrik masih sering padam hingga hari ini, siswa direncanakan kembali pada 11 Desember, dan pihak sekolah tetap berkomitmen melaksanakan ujian pada 15 Desember di sekolah. Ayadi menambahkan bahwa genset bantuan Kemensos yang dikirim melalui Subulussalam dan Banda Aceh masih tertahan di Bireuen akibat jembatan putus. Ia juga memastikan bahwa bangunan SRMP 33 dalam keadaan aman tanpa kerusakan, meskipun banyak keluarga siswa serta sejumlah guru dan tenaga kependidikan ikut terdampak banjir.
"Alhamdulillah di SR aman, hanya ada 33 orang tua siswa yang terdampak, serta enam guru dan satu tendik," ujarnya.
Sementara itu, kondisi paling berat dialami SRT 26 Pidie Jaya. Kepala sekolah Dewi Juliana mengisahkan bahwa hujan tak berhenti sejak 21 November, hingga akhirnya pada 26 November wilayah mereka diterjang banjir bandang. Beberapa orang tua sempat datang menjemput anak-anak mereka, namun Dewi menahan keputusan itu karena justru rumah-rumah orang tua berada dalam kondisi terdampak parah dan sebagian dari mereka tinggal di pengungsian.
"Selama banjir, wali asuh tidak masuk sekolah karena rumah mereka juga kena banjir bandang, dan guru menggantikan posisi wali asuh," ungkapnya.
Situasi semakin memburuk setelah sepekan. Listrik padam total, jaringan internet terputus, dan vendor permakanan tidak lagi mampu menyalurkan bahan masakan.
"Harga melonjak dan barang langka gas tidak ada, harga telur seratus ribu per papan dan itu pun tidak ada lagi, BBM mulai langka," ujar Dewi. Melalui koordinasi dengan Kepala Dinas Sosial dan PPK, sekolah akhirnya memutuskan memulangkan siswa berdasarkan surat Darurat Bencana Bupati Pidie Jaya. Siswa yang orang tuanya dapat dihubungi dijemput keluarga, sementara lainnya diantar ke rumah masing-masing oleh pihak sekolah.
Saat ini beberapa siswa masih berada di pengungsian, dan guru-guru melakukan home visit ke setiap rumah untuk memastikan kondisi anak-anak serta mendata jumlah siswa yang terdampak secara akurat. Banyak dari mereka yang emosional dan menangis, ingin segera berkumpul kembali dengan orang tua meskipun kondisi wilayah masih belum sepenuhnya pulih.
Kementerian Sosial RI terus melakukan koordinasi intensif dengan Pusdiklatbangprof, Dinas Sosial Kabupaten/Kota, pemerintah daerah, serta para kepala sekolah untuk memastikan kebutuhan dasar siswa tetap terpenuhi selama pemulangan sementara. Proses pemulihan kegiatan belajar mengajar akan dilakukan kembali setelah kondisi stabil, pasokan logistik memungkinkan, dan akses transportasi aman bagi seluruh warga sekolah.