Perempuan telah lama menjadi alat propaganda politik yang dimanfaatkan oleh negara dan kekuasaan. Tubuh dan citra perempuan sering kali digunakan untuk menanamkan ideologi, membangun moral nasional, bahkan membenarkan peperangan.
Pada awal abad ke-20, Jepang berusaha membangun citra sebagai kekuatan besar di Asia. Salah satu alat yang digunakan adalah propaganda politik yang dikenal dengan sebutan "Gerakan Tiga A" atau 3A. Melalui slogannya yang berbunyi "Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia", Jepang berusaha meyakinkan masyarakat di wilayah jajahannya bahwa pendudukan mereka akan membawa kemerdekaan dari kolonialisme Barat.
Namun, dari upaya menciptakan "Asia Baru" yang dipimpin Jepang, lahirlah sistem yang dikenal dengan jugun ianfu, yakni para perempuan yang dipaksa menjadi budak seksual bagi tentara Jepang selama masa perang.
Lahirnya sistem jugun ianfu
Ilusrasi sejarah jugun ianfu. Foto: Toshifumi Kitamura/AFP
Mengutip dari artikel "Teaching about the Comfort Women during World War II and the Use of Personal Stories of the Victim" salah satu pelanggaran paling serius Jepang sepanjang sejarah adalah sistem perbudakan seksual militer yang dijalankan Jepang antara tahun 1932 hingga 1945.
Sistem ini dikenal dengan istilah jugun ianfu atau "perempuan penghibur". Istilah tersebut merupakan eufemisme yang diciptakan militer Jepang untuk menutupi kenyataan bahwa para perempuan dipaksa menjadi budak seksual.
Sejumlah sejarawan lebih memilih menggunakan istilah "budak seksual militer" karena lebih mencerminkan sifat kekerasan dan pemaksaan dalam praktik ini.
Rumah bordil militer dan tragedi Nanking
Ilusrasi sejarah jugun ianfu. Foto: CHITO VECINA/AFP
Dilansir PBB, diperkirakan hingga 200.000 perempuan dan anak perempuan dari berbagai negara Asia, termasuk Korea, Cina, Filipina, Indonesia, Malaysia, Timor Timur, serta beberapa perempuan Eropa dari koloni Belanda, menjadi korban.
Rumah bordil militer pertama kali dibuka di Shanghai pada 1930-an, lalu dilansir Guardian rumah bordil ini berkembang pesat setelah terjadinya Tragedi Nanking tahun 1937.
Pada peristiwa tersebut, pasukan Jepang melakukan pembantaian massal yang menewaskan ratusan ribu orang serta memperkosa puluhan ribu perempuan.
Untuk mengendalikan pasukannya sekaligus mengurangi sorotan internasional, pemerintah Jepang memperluas jaringan rumah bordil militer di seluruh wilayah jajahan.
Pada awalnya rumah bordil diisi oleh pekerja seks asal Jepang, tetapi sejak akhir 1930-an sistem ini bergantung pada pemaksaan terhadap perempuan lokal dari wilayah jajahan.
Modus perekrutannya beragam, mulai dari bujuk rayu dengan janji pekerjaan di pabrik atau rumah sakit, hingga penculikan langsung dan bahkan pembelian dari keluarga yang terlilit utang.
Para pengunjuk rasa melakukan aksi demonstrasi anti-Jepang mingguan yang mendukung "wanita penghibur" di dekat kedutaan besar Jepang di Seoul (5/1/2022). Foto: Jung Yeon-je/AFP
Di Korea dan Taiwan, misalnya, banyak remaja perempuan dari keluarga miskin dijanjikan pendidikan atau pekerjaan, tetapi justru dikirim ke garis depan untuk dipaksa melayani tentara.
Kondisi di dalam rumah bordil militer pun sangat tidak manusiawi. Para perempuan diperkosa berkali-kali setiap hari, sering kali lebih dari sepuluh hingga dua puluh kali. Mereka mengalami luka fisik, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Mengutip dari artikel jurnal Asian Literature in the Humanities and the Social Sciences, banyak korban yang meninggal karena tidak kuat menanggung penderitaan, dan diperkirakan sembilan dari sepuluh perempuan tidak selamat hingga perang berakhir.
Dilansir PBB, dari Korea, terdapat kisah Lee Ok-Seon yang diculik pada usia 14 tahun di Busan lalu dibawa ke Cina. Ia tidak pernah lagi bertemu keluarganya. Lee Yong-Soo dan Kang Il-Chul juga menjadi saksi hidup yang terus bersuara hingga hari tua.
Dari Cina, kisah tragis Peng Zhuying menunjukkan penderitaan ganda. Meskipun sudah buta sejak kecil, ia tetap ditangkap pada usia 15 tahun, diperkosa berulang kali, dan tidak pernah bisa memiliki anak.
Patung Perdamaian yang melambangkan korban perbudakan seksual militer Jepang ("wanita penghibur") selama Perang Dunia II di dekat Kedutaan Besar Jepang di Seoul (19/3/2025). Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP
Dari Filipina, Maria Rosa Henson menjadi salah satu korban pertama yang berani bersaksi pada 1990-an. Ia menceritakan pengalaman yang menghancurkan hidupnya, bahwa dirinya diperkosa hampir tanpa henti oleh tentara Jepang sejak 1943.
Di Indonesia, banyak perempuan menjadi korban, baik dari kalangan pribumi maupun Belanda. Tjinda, seorang perempuan yang kala itu berusia 12 tahun dari Sulawesi Barat, diperkosa dan dikurung selama setahun penuh.
Lalu, ada Jan Ruff-O'Herne, seorang perempuan Belanda kelahiran Jawa, yang juga dipaksa menjadi jugun ianfu di Semarang pada 1944. Ia menyimpan penderitaan itu selama puluhan tahun karena ancaman terhadap keluarganya, hingga akhirnya berani bersuara pada 1992. Kesaksiannya kemudian menjadi salah satu simbol perjuangan internasional untuk menuntut keadilan.
Dari Timor Timur, Magalhães Gonçalves menceritakan bagaimana ia dipaksa bekerja pada siang hari dan diperkosa pada malam hari, bahkan dipisahkan dari anak yang dilahirkannya di rumah bordil militer.
Dilansir AP, jumlah penyintas yang masih hidup kini semakin sedikit. Pada awal 1990-an, tercatat masih ada lebih dari seribu korban di berbagai negara. Namun tiga dekade kemudian, hanya tersisa puluhan orang. Sebagian besar telah meninggal tanpa pernah mendapatkan keadilan atau kompensasi yang layak.
Tuntutan PBB dan upaya internasional untuk keadilan para penyintas
Ilusrasi sejarah jugun ianfu. Foto: Choo Youn-Kong/AFP
PBB melalui berbagai resolusi dan laporan, termasuk surat terbaru yang dikirim ke Jepang, Korea Selatan, Cina, Filipina, Indonesia, Belanda, dan Timor Timur pada bulan Juli 2025, menegaskan bahwa sistem jugun ianfu merupakan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Lembaga internasional ini mendesak pemerintah Jepang untuk memberikan pengakuan resmi, permintaan maaf yang tulus, serta reparasi memadai kepada para korban dan keluarga mereka.
Isu jugun ianfu hingga kini masih menjadi sumber ketegangan diplomatik antara Jepang dengan Korea Selatan, Cina, Filipina, dan negara-negara lain. Banyak pihak menilai permintaan maaf pemerintah Jepang tidak disertai tanggung jawab hukum yang jelas.
Melansir The Korea Times, pada 2015, Jepang dan Korea Selatan sempat mencapai kesepakatan. Namun, banyak penyintas menolak karena dianggap tidak melibatkan korban secara langsung dan tidak memenuhi tuntutan reparasi.