Cerita Ibu kumparanMOM, Mia Nazarudin. Foto: kumparan
Dua puluh tahun lalu, Mia Nazarudin memutuskan cerai dari suaminya setelah 7 tahun pernikahan yang penuh kekerasan. Ya, Mia menjadi korban KDRT dari pria yang sebetulnya sangat ia cintai itu.
Setelah menimbang selama sekitar 2 tahun, ia mantap bercerai dan menjalani hidup baru bersama kedua anaknya. Kini, di usia yang lebih matang, ia menatap masa lalunya bukan dengan penyesalan, melainkan dengan rasa syukur karena berhasil bertahan.
Saat memutuskan berpisah, anak pertama Mia baru berusia enam tahun, sementara si bungsu baru dua tahun.
"Waktu itu, psikolog memberikan dua pilihan. Pertama, kami disarankan menjalani terapi pernikahan selama kurang lebih lima tahun. Kedua, memutus mata rantai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Karena penyebab perceraian saat itu adalah KDRT dan mantan suami tidak bersedia mengikuti terapi, akhirnya saya memilih untuk mengambil jalan kedua," ucap Mia kepada kumparanMOM, dalam program Cerita Ibu.
Cerita Ibu kumparanMOM, Mia Nazarudin. Foto: Dok. Pribadi
Dari Cinta di Masa Kuliah hingga Keputusan Melepaskan
Mia mengenang masa mudanya seraya tersenyum. Kala itu, ia menghabiskan masa SMP dan SMA di sekolah khusus perempuan. Sehingga ketika masuk kuliah dan bertemu banyak laki-laki, dunia terasa benar-benar baru.
"Saat itu saya tertarik pada seseorang dan kebetulan perasaan itu ternyata saling (berbalas). Kami menjalin hubungan selama enam tahun, meski sempat beberapa kali putus dan kembali lagi. Hingga akhirnya, kami mantap memutuskan untuk menikah," ungkapnya.
Saat berpacaran, pria yang akhirnya menjadi suami Mia itu sudah sering melakukan kekerasan verbal, hal yang membuat mereka beberapa kali putus nyambung. Namun, kala itu Mia berpikir suaminya itu akan berubah. Cinta membuat Mia sabar, tapi juga membuatnya lupa mencintai diri sendiri hingga akhirnya ia tersadar bahwa bertahan bukan lagi bentuk cinta, melainkan luka.
Cerita Ibu kumparanMOM, Mia Nazarudin. Foto: Dok. Pribadi
Bagi Mia, keputusan bercerai bukan hanya tentang dirinya. Ia memikirkan dua anaknya yang masih kecil. Setelah berpisah, mereka pindah ke rumah orang tua Mia. Meski begitu, hubungan anak-anak dengan ayah mereka tetap terjaga, meski tidak intens.
"Ketika berpisah, justru saya merasa lebih aman. Kondisi mental anak-anak juga, menurut saya, menjadi lebih baik. Mereka tidak lagi ketakutan dan terlihat lebih ceria. Saat itu kami pindah ke rumah orang tua saya, jadi suasana di rumah terasa lebih ramai. Ada sepupu-sepupu yang sering datang, membuat anak-anak lebih bahagia dan tidak merasa kesepian," imbuhnya.
Menjadi Ibu Sekaligus Ayah
Selama 20 tahun menjadi ibu tunggal, Mia menjalani banyak peran sekaligus. Ia tertawa ketika menceritakan salah satu momen lucu tapi mengharukan.
"Ada momen-momen tertentu di mana saya merasa, ini seharusnya bagian bapaknya. Salah satu yang paling saya ingat adalah ketika anak laki-laki saya datang ke kamar dan berkata, "Mah, aku mimpi basah." Saya sempat bingung harus bereaksi bagaimana. Akhirnya saya berkata kepadanya, "Mama pernah jadi anak perempuan, tapi mama tidak tahu rasanya jadi anak laki-laki. Kalau ada apa-apa, tolong kasih tahu mama," sambung Mia.
Meski berusaha tegar, Mia tak mengelak pernah muncul perasaan bersalah. Namun, rasa bersalah itu perlahan berganti dengan keinginan untuk terus belajar. Ia ingin anak-anak tetap tumbuh kuat meski tanpa figur ayah di rumah.
"Kalau dibilang perceraian itu tidak berdampak pada anak-anak, menurut saya sih tidak begitu. Misalnya, saya tinggal bersama orang tua, ada sepupu-sepupu, figur om, bahkan kakek. Namun bagi saya, ayah tetap berbeda dengan kakek atau om," ujarnya.
Jadi, kalau disebut anak "fatherless," saya rasa memang iya," tambah Mia.
Tidak Menyesal Menikah, Tidak Menyesal Bercerai
Kini, hubungan Mia dengan mantan suaminya berjalan baik. Ia bahkan cukup akrab dengan istri barunya. Dua puluh tahun berlalu, Mia mengaku tak menyesali apa pun.
"Saya bisa bilang saya tidak pernah menyesal untuk menikah, tapi saya juga tidak menyesal untuk bercerai. Menurut saya, itu adalah yang terbaik. Saya menikah memang karena pilihan saya sendiri, bukan dijodohkan atau apa pun. Dan ketika menikah, saya sadar benar saya menikahi orang seperti ini," ungkapnya.
Ia juga mengakui masih ingin menikah lagi suatu hari nanti. Menutup perbincangan, Mia menyampaikan pesan untuk para ibu tunggal lain di luar sana.
"Percaya sama diri sendiri. Itu yang paling utama. Jangan terlalu memikirkan stigma atau komentar negatif tentang janda dan sebagainya. Intinya, kalau ibu bahagia, anak-anak bisa bahagia. Percaya, ada kekuatan dari yang di atas. Kita nggak mungkin dikasih cobaan yang nggak bisa kita lalui. Kalau yakin, kita pasti bisa melewatinya," tegas Mia.