Masuknya Timor Leste sebagai anggota ke-11 ASEAN menandai babak baru dalam sejarah geopolitik Asia Tenggara. Bagi ASEAN, keanggotaan ini adalah simbol inklusivitas, tetapi juga ujian strategis di tengah rivalitas kekuatan besar antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Dalam lanskap politik Indo-Pasifik yang semakin kompleks, ASEAN dihadapkan pada tantangan menjaga netralitas sekaligus memperkuat relevansi regionalnya. Perspektif realisme neoklasik membantu membaca dinamika ini dengan menempatkan tindakan negara (dan organisasi regional) sebagai hasil interaksi antara tekanan eksternal dan faktor domestik, seperti persepsi elite politik serta kemampuan internal negara (Mearsheimer, 2001; Waltz, 1979).
Oleh karena itu, integrasi Timor Leste tidak hanya soal penerimaan administratif, tetapi juga tentang bagaimana ASEAN memposisikan diri di tengah tarikan dua kekuatan besar dunia.
Kebutuhan ASEAN akan Antisipasi Geopolitik Aktif
Keanggotaan Timor Leste mempertegas kebutuhan ASEAN untuk mengadopsi pendekatan geopolitik yang lebih antisipatif dan tidak sekadar reaktif. Dalam konteks rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok, Asia Tenggara telah menjadi panggung penting perebutan pengaruh strategis, baik melalui kebijakan pertahanan, kerja sama ekonomi, maupun diplomasi maritim.
Ilustrasi ASEAN. Foto: PAPALAH/Shutterstock
Dokumen U.S. Indo-Pacific Strategy (2022) secara eksplisit menyebut Asia Tenggara sebagai "the heart of the Indo-Pacific," menempatkan ASEAN sebagai mitra kunci dalam menjaga tatanan regional yang bebas dan terbuka.
Di sisi lain, Tiongkok memperkuat kehadirannya melalui Belt and Road Initiative (BRI), dengan proyek infrastruktur yang menjangkau Timor Leste, termasuk pelabuhan Tibar Bay dan investasi energi. Kedua inisiatif tersebut menunjukkan bahwa Dili berpotensi menjadi simpul baru dalam perebutan pengaruh ekonomi dan strategis di kawasan (Belt and Road Initiative, 2023).
Melalui kacamata realisme neoklasik, tekanan eksternal seperti kompetisi kekuatan besar mendorong negara atau organisasi regional untuk menyesuaikan kebijakan keamanannya. Namun, adaptasi ini bukan hanya bergantung pada tekanan struktural, melainkan juga pada persepsi elite dan kalkulasi kepentingan nasional (Mearsheimer, 2001).
Bagi ASEAN, dilema muncul ketika upaya mempertahankan otonomi strategis berbenturan dengan kebutuhan untuk mempertahankan kerja sama dengan kedua kekuatan besar tersebut. Dalam konteks ini, masuknya Timor Leste menambah variabel baru dalam kalkulasi strategis kawasan. Negara baru ini—yang memiliki hubungan dekat dengan Australia dan dukungan infrastruktur dari Tiongkok—dapat memperluas peluang kerja sama, tetapi juga menimbulkan potensi ketegangan jika tidak dikelola secara kolektif.
Ilustrasi bendera Timor Leste. Foto: Steve Poole/Shutterstock
Keanggotaan Timor Leste harus dijadikan momentum bagi ASEAN untuk memperkuat kapasitas geopolitik internalnya. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan koordinasi antarnegara anggota dalam bidang keamanan maritim, diplomasi ekonomi, dan penguatan posisi ASEAN di forum internasional.
Jika tidak, ASEAN berisiko kehilangan kendali atas dinamika kawasan dan menjadi arena kompetisi eksternal. Sebagaimana ditekankan oleh ASEAN (2019), "strategic autonomy and inclusivity" merupakan prinsip utama dalam menjaga relevansi organisasi di tengah arus rivalitas kekuatan besar.
Timor Leste sebagai Arena Pengaruh Ekonomi dan Strategis
Timor Leste—meski berukuran kecil dan berpenduduk sekitar 1,3 juta jiwa—memiliki posisi strategis yang luar biasa di selatan Laut Sawu, menghadap jalur perdagangan utama antara Samudra Hindia dan Pasifik. Letak geografis ini menjadikannya sasaran potensial investasi dan pengaruh dari kekuatan besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah menjadi mitra pembangunan utama Timor Leste melalui proyek-proyek BRI, sementara Amerika Serikat dan Australia memperluas bantuan ekonomi dan pertahanan. Rivalitas ini menempatkan Dili dalam posisi sulit: bagaimana memanfaatkan peluang ekonomi tanpa kehilangan kedaulatan strategis.
Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta memberikan pidato kebijakan saat berkunjung ke Sekretariat ASEAN, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Menurut teori realisme neoklasik, negara dengan kapabilitas terbatas sering kali menjadi objek tarik-menarik dalam sistem multipolar karena kekuatan besar berusaha memperluas jaringan pengaruhnya. Di sinilah peran ASEAN menjadi penting.
Sebagai organisasi regional, ASEAN perlu berfungsi sebagai penyeimbang mengarahkan investasi asing agar selaras dengan prinsip transparansi dan keberlanjutan. Tanpa koordinasi tersebut, proyek infrastruktur dapat memperkuat ketergantungan ekonomi dan membuka celah bagi intervensi politik.
ASEAN dapat mencontoh pendekatan collective investment governance dengan menyusun pedoman investasi regional yang mengatur transparansi, keberlanjutan, dan kesesuaian proyek dengan agenda komunitas ASEAN 2025. Dalam hal ini, Indonesia—sebagai pemimpin de facto ASEAN dan pendukung utama keanggotaan Timor Leste—dapat memainkan peran sentral sebagai broker kebijakan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam pernyataannya pada KTT ASEAN 2023, menekankan pentingnya "ensuring that ASEAN remains at the center of regional architecture" (Marsudi & Ramos-Horta, 2023). Pernyataan ini menggambarkan urgensi ASEAN untuk tidak membiarkan integrasi Timor Leste dipengaruhi oleh dinamika eksternal semata, tetapi diarahkan sebagai bagian dari konsolidasi ekonomi-politik kawasan.
Menjaga Otonomi Strategis melalui Keseimbangan Kekuatan
Dalam sistem multipolar yang semakin dinamis, otonomi strategis ASEAN hanya dapat dipertahankan melalui penguatan mekanisme kolektif dan penerapan prinsip balance of power pragmatis. Prinsip ini tidak berarti menolak kerja sama dengan kekuatan besar, tetapi mengelolanya secara seimbang agar tidak menimbulkan dominasi tunggal.
Realisme klasik berpendapat bahwa keseimbangan kekuatan adalah kunci stabilitas internasional, sementara versi neoklasiknya menambahkan dimensi domestik, yakni bagaimana persepsi elite menentukan sejauh mana negara berani menentang atau berkompromi dengan tekanan eksternal.
Bagi ASEAN, keseimbangan tersebut dapat diwujudkan melalui diplomasi "equidistance", yakni menjalin hubungan strategis yang setara dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Pendekatan ini juga tecermin dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (2019), yang menekankan pentingnya prinsip keterbukaan, inklusivitas, dan kerja sama berdasarkan hukum internasional.
Dengan menempatkan Timor Leste dalam kerangka kebijakan luar negeri kolektif ASEAN, organisasi ini dapat menegaskan kembali posisinya sebagai "regional balancer" yang menjaga stabilitas Indo-Pasifik.
Sejumlah pemimpin negara menghadiri KTT ASEAN ke-47 dan KTT Terkait di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (26/10/2025). Foto: Chalinee Thirasupa/REUTERS
Namun, menjaga otonomi strategis bukan hal mudah. ASEAN harus menghadapi tekanan eksternal sekaligus mengatasi fragmentasi internal. Perbedaan kepentingan antaranggota sering kali memperlambat pengambilan keputusan kolektif, terutama terkait isu keamanan dan hubungan luar negeri. Dalam konteks ini, integrasi Timor Leste dapat menjadi ujian sekaligus peluang: apakah ASEAN mampu mengkonsolidasikan posisi politiknya, atau justru semakin terpecah oleh tekanan geopolitik eksternal.
Sebagaimana dikatakan oleh Mearsheimer (2001), "the struggle for power never ends," dan bagi ASEAN, perjuangan itu kini tidak lagi hanya antarnegara besar, tetapi juga dalam menjaga konsensus di antara anggotanya sendiri. Integrasi Timor Leste akan menjadi indikator sejauh mana ASEAN mampu bertransformasi dari forum konsultatif menjadi aktor geopolitik yang memiliki daya tawar sejati di kawasan Indo-Pasifik.
Tiga argumen di atas—yakni kebutuhan akan antisipasi geopolitik yang lebih proaktif, pengelolaan pengaruh ekonomi, dan upaya mempertahankan otonomi strategis—menunjukkan bahwa pengelolaan ASEAN terhadap keanggotaan Timor Leste bukan sekadar persoalan administratif, melainkan sangat politis. Hal ini mencerminkan bagaimana kawasan Asia Tenggara menegosiasikan kekuasaan di era multipolaritas global.
Jika ASEAN berhasil, organisasi ini akan memperkuat sentralitas dan kredibilitasnya di Indo-Pasifik; tetapi jika gagal, ASEAN berisiko terpinggirkan oleh kekuatan eksternal. Dengan demikian, bergabungnya Timor Leste bukan hanya langkah kecil bagi sebuah negara kecil, melainkan ujian penting bagi masa depan strategis ASEAN di kawasan Indo-Pasifik.