Kenaikan jabatan Purbaya terjadi di tengah pergolakan nasional. Pada akhir Agustus 2025, Indonesia menyaksikan protes yang meluas akibat pengangguran di kalangan muda, pekerjaan gig economy yang tidak menentu dan anggapan pemborosan fiskal, seperti tunjangan perumahan parlemen yang mewah.
Meninggalnya seorang pengunjuk rasa muda, Kurniawan, dalam bentrokan dengan polisi anti huru-hara meningkatkan ketegangan, menarik perhatian internasional, dan memicu tuduhan respons keras dari aparat keamanan. Presiden Prabowo—yang menjabat pada 20 Oktober 2024, setelah pemilihan umum yang sengit—menghadapi tekanan yang semakin besar untuk mengatasi keluhan-keluhan ini.
Perombakan kabinet pada 8 September 2025 merupakan respons yang cepat dan strategis, yang memengaruhi lima posisi menteri dan membentuk Kementerian Haji dan Umrah baru untuk menunjukkan respons terhadap prioritas budaya dan agama. Pemberhentian Sri Mulyani—setelah hampir dua dekade kepemimpinan yang membuatnya mendapatkan pengakuan global atas keberhasilannya memimpin Indonesia melewati krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19—sangatlah mengharukan.
Para analis menafsirkan hal ini sebagai upaya Prabowo untuk menjauhkan pemerintahannya dari sisa-sisa era Jokowi sebelumnya, mengkonsolidasikan kekuasaan sekaligus menyuntikkan perspektif baru. Purbaya—yang bersih dari kontroversi politik sebelumnya—muncul sebagai sosok netral yang siap memulihkan kredibilitas fiskal. Saat pelantikannya, Prabowo mengarahkan para menteri baru, termasuk Purbaya, untuk "mengambil tindakan segera", menggarisbawahi urgensi menstabilkan ekonomi di tengah kekhawatiran inflasi dan pemulihan pascapandemi yang lamban.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah di Jakarta, Jumat (12/9/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Sejak diangkat sebagai Menteri Keuangan Indonesia pada 8 September 2025, Purbaya Yudhi Sadewa dengan cepat memposisikan dirinya sebagai pendukung kebijakan ekonomi yang agresif dan pro-pertumbuhan. Menggantikan Sri Mulyani Indrawati yang dihormati dunia di tengah perombakan kabinet di bawah Presiden Prabowo Subianto, Purbaya mewarisi lanskap fiskal yang ditandai oleh tantangan pemulihan pascapandemi, protes pengangguran kaum muda, dan proyeksi pertumbuhan PDB yang moderat sebesar 4,7% untuk tahun 2025.
Berbekal latar belakangnya sebagai ekonom dan mantan kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pendekatan Purbaya menekankan pada penyuntikan likuiditas ke dalam perekonomian, peningkatan pendapatan tanpa kenaikan pajak, dan target pertumbuhan ambisius sebesar 8%. Tulisan ini mengkaji kebijakan-kebijakan utamanya, rasionalitasnya, potensi dampaknya, kritik yang ditimbulkannya, dan merefleksikan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut selaras dengan visi Prabowo untuk "pemerintahan yang kuat." Latar Belakang: Dari Teknokrat Menjadi Advokat Pertumbuhan.
Purbaya Yudhi Sadewa, lahir tahun 1964, membawa perpaduan unik antara keahlian teknik dan ekonomi ke dalam perannya. Lulusan Institut Teknologi Bandung di bidang teknik elektronika ini meraih gelar lanjutan dari Universitas Purdue sebelum memulai karier yang mencakup teknik lapangan di Schlumberger, peran ekonom senior di Danareksa Research Institute, dan posisi penasihat di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Masa jabatannya di LPS dari tahun 2020 hingga 2025 mengasah fokusnya pada stabilitas keuangan di mana ia mengelola resolusi bank dan perlindungan simpanan selama volatilitas ekonomi.
Berbeda dengan penekanan Sri Mulyani pada konservatisme fiskal yang mempertahankan rasio utang terhadap PDB di bawah 30% dan mematuhi batas defisit fiskal PDB -3%, retorika Purbaya menandakan pergeseran ke arah langkah-langkah ekspansif. Dalam pernyataan pertamanya, ia mengkritik "kesalahan kebijakan" masa lalu yang menyebabkan sistem keuangan "kering", menyalahkan koordinasi moneter dan fiskal yang terlalu ketat atas melambatnya pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Sejumlah pencari kerja antre melamar kerja saat pameran bursa kerja di Pandeglang, Banten, Selasa (14/5/2024). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Ia berjanji untuk melanjutkan warisan transparansi pendahulunya sambil memprioritaskan kebijakan fiskal yang "optimal" untuk memacu pemerataan pembangunan, menggemakan filosofi ekonomi ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo. Sikap teknokratis tapi berani ini bertujuan untuk mengatasi keresahan yang mendesak, seperti protes Agustus 2025 atas pengangguran dan belanja pemerintah, dengan menjanjikan bahwa pertumbuhan 6-7% secara alami akan menyelesaikan keluhan sosial.
Kebijakan Ekonomi Utama: Likuiditas, Pendapatan, dan Ekspansi
Kebijakan awal Purbaya ditandai dengan intervensi yang cepat dan terarah yang dirancang untuk "kemenangan cepat" (quick win) guna meningkatkan likuiditas, pendapatan, dan pertumbuhan tanpa merombak kerangka kerja yang ada. Inti dari strateginya adalah sinergi antara instrumen fiskal dan moneter, yang menurutnya akan mempercepat peredaran uang dan mendukung inisiatif unggulan Prabowo seperti program makanan sekolah gratis untuk 83 juta anak.
Menyuntikkan Likuiditas ke Sistem Perbankan
Dalam sebuah langkah penting, Purbaya mengumumkan transfer dana sebesar Rp200 triliun (sekitar US$12 miliar) dari rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI) ke bank-bank milik negara (Himbara), seperti Bank Mandiri dan BNI, untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil. Kebijakan ini, yang diformalkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 276/2025, menargetkan kredit yang belum dicairkan naik 9,5% pada Juni 2025 karena keraguan pelaku usaha dan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan jumlah uang beredar menjadi 15-20%, yang berpotensi mendorong PDB menjadi 6-6,5% dalam 1-2 bulan.
Dengan menginstruksikan BI untuk tidak mensterilkan dana-dana ini melalui operasi moneter, Purbaya berupaya menghindari jebakan masa lalu di mana simpanan pemerintah mencapai Rp800 triliun, yang menghambat pertumbuhan kredit. Dana tersebut dialokasikan untuk kredit produktif, khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), guna menciptakan lapangan kerja dan mendorong konsumsi yang menyumbang 54% PDB.
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
Peningkatan Penerimaan Tanpa Kenaikan Pajak
Demi mendanai pertumbuhan tanpa tekanan fiskal, Purbaya telah menguraikan lima strategi "quick win" untuk meningkatkan penerimaan negara pada akhir tahun 2025: paket stimulus ekonomi, penegakan pajak yang lebih ketat, koordinasi hukum antarlembaga yang lebih baik, peningkatan sistem TI untuk administrasi perpajakan, dan penindakan keras terhadap perdagangan rokok ilegal.
Ia memperkirakan bahwa setiap pertumbuhan PDB 1% dapat menambah penerimaan sebesar Rp220 triliun, menekankan penutupan kebocoran dalam ekonomi bawah tanah diperkirakan mencapai Rp6.000 triliun selama dekade terakhir melalui pajak baru atau pemotongan anggaran daerah yang besar.
Selain itu, ia berencana merealokasi anggaran kementerian yang belum terserap pada akhir Oktober, mengalihkan dana yang menganggur ke program-program berdampak tinggi seperti infrastruktur dan kesejahteraan sosial. Paket ekonomi senilai Rp16,23 triliun telah diluncurkan untuk menjaga daya beli dan mempercepat pembangunan.
Mengurangi Ketergantungan Utang dan Menargetkan Pertumbuhan yang Ambisius
Purbaya berjanji untuk meminimalkan ketergantungan utang luar negeri dengan mendorong pertumbuhan domestik dan hilirisasi (industri hilirisasi), dengan tujuan mencapai APBN defisit nol di masa mendatang. Target pertumbuhan 8% jauh melebihi proyeksi IMF sebesar 4,7% bergantung pada pemulihan sektor swasta, seperti yang terlihat pada era SBY (2004-2014), berbeda dengan rata-rata 5% di bawah Jokowi. Ini termasuk kebijakan fiskal yang lebih longgar untuk mendukung belanja pertahanan dan program pangan yang berpotensi didanai melalui peningkatan pendapatan daripada pinjaman.
Menteri Keuangan Indonesia yang baru diangkat Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Keuangan yang akan keluar Sri Mulyani Indrawati menghadiri upacara serah terima di Kementerian Keuangan di Jakarta, Selasa (9/9/2025). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Membandingkan Kebijakan Ekonomi Purbaya dan Sri Mulyani
Dalam narasi tata kelola ekonomi Indonesia yang terus berkembang, transisi dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada 8 September 2025 merangkum pergeseran dari stabilitas yang berhati-hati menuju ekspansionisme yang agresif. Sri Mulyani, yang menjabat selama dua periode yang tidak berurutan (2005—2010 dan 2016—2025), dipuji atas kebijakannya yang bijaksana dan berorientasi reformasi yang membentengi Indonesia dari guncangan global seperti krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19.
Purbaya—seorang teknokrat dengan latar belakang regulasi perbankan dan peran penasihat ekonomi—telah memperkenalkan langkah-langkah berani yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan guna memenuhi target PDB 8% yang ambisius dari Presiden Prabowo Subianto. Esai ini membandingkan kebijakan mereka di berbagai dimensi utama filosofi fiskal, strategi pertumbuhan, manajemen likuiditas, pendekatan pendapatan, penanganan utang, dan respons terhadap tekanan sosial-politik yang menyoroti bagaimana Purbaya membangun sekaligus menyimpang dari warisan Sri Mulyani dalam mengatasi tantangan Indonesia per 30 September 2025.
Kehati-hatian vs Ekspansi
Inti dari pendekatan Sri Mulyani adalah filosofi fiskal konservatif yang berakar pada stabilitas makroekonomi dan kredibilitas kelembagaan. Dipengaruhi oleh prinsip-prinsip neo-Keynesian, beliau memprioritaskan anggaran berimbang, defisit rendah (dibatasi 3% dari PDB), dan pengurangan utang, memandang hal-hal tersebut sebagai hal yang penting bagi ketahanan jangka panjang.
Kebijakannya menekankan ekspektasi rasional dan transparansi, menumbuhkan kepercayaan investor dan mempertahankan peringkat kredit layak investasi Indonesia sejak 2017. Sikap defensif ini—yang sering dibandingkan dengan taktik sepak bola yang hati-hati—memungkinkan Indonesia mengatasi volatilitas eksternal, seperti penurunan harga komoditas dan resesi akibat pandemi, dengan mengamankan pinjaman multilateral dan menerapkan subsidi yang ditargetkan.
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
Sebaliknya, filosofi Purbaya condong ke ekspansionisme pasca-Keynesian memperlakukan defisit fiskal sebagai alat strategis untuk investasi produktif, alih-alih risiko yang harus diminimalkan. Ia mengkritik "kesalahan kebijakan" masa lalu di bawah era Sri Mulyani yang menciptakan sistem keuangan "kering" melalui koordinasi yang terlalu ketat antara otoritas fiskal dan moneter, yang menurutnya menghambat pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Purbaya menganjurkan pengeluaran "optimal" untuk mengedarkan uang dengan cepat, terinspirasi dari tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi (sekitar 6%) selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pendekatannya sejalan dengan visi Prabowo tentang "pemerintahan yang kuat", yang menekankan efek tetesan ke bawah di mana pertumbuhan yang tinggi menyelesaikan masalah sosial seperti pengangguran kaum muda yang memicu protes Agustus 2025.
Target dan Strategi Pertumbuhan: Seimbang vs Ambisius
Sri Mulyani mengejar pertumbuhan berkelanjutan, dengan rata-rata sekitar 5% selama masa kepresidenan Joko Widodo, berfokus pada reformasi inklusif daripada target agresif. Strateginya meliputi digitalisasi sistem perpajakan, reformasi badan usaha milik negara, dan promosi pembiayaan hijau untuk memastikan pemerataan pembangunan. Meskipun efektif dalam menstabilkan perekonomian mengurangi rasio utang terhadap PDB dari 47% pada tahun 2005 menjadi di bawah 30% pada tahun 2010, ia menghadapi kritik atas penyerapan anggaran yang lambat dan ketimpangan yang terus berlanjut dengan koefisien Gini yang masih berada di kisaran 0,38.
Namun, Purbaya menargetkan pertumbuhan 6—8% dengan alasan bahwa percepatan tersebut penting untuk mengatasi keluhan yang mendesak dan mendanai program-program unggulan seperti program makanan sekolah gratis untuk 83 juta anak. Strateginya melibatkan "kemenangan cepat" untuk menghidupkan kembali sektor swasta, seperti realokasi anggaran kementerian yang belum terpakai dan hilirisasi industri untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah.
Ilustrasi ekonomi meningkat. Foto: Getty Images
Berbeda dengan penekanan Sri Mulyani pada reformasi bertahap, kebijakan Purbaya bertujuan untuk meningkatkan PDB secara cepat, dengan memproyeksikan bahwa setiap peningkatan pertumbuhan sebesar 1% dapat menghasilkan tambahan pendapatan negara sebesar Rp220 triliun.
Likuiditas dan Manajemen Perbankan: Stabilitas vs Injeksi
Manajemen likuiditas di bawah Sri Mulyani ditandai dengan koordinasi yang erat tapi independen dengan Bank Indonesia (BI), dengan memprioritaskan reformasi sistemik untuk mencegah inflasi dan gelembung keuangan. Beliau menghindari pertumbuhan uang beredar yang berlebihan dan berfokus pada audit berbasis risiko serta perlindungan simpanan untuk membangun sektor perbankan yang tangguh. Pendekatan ini meminimalkan risiko moral dan memastikan likuiditas mendukung kebutuhan ekonomi riil, tanpa menyebabkan perekonomian menjadi terlalu panas.
Purbaya menandai langkah yang sangat drastis dengan menyuntikkan Rp200 triliun (sekitar US$12 miliar) dari rekening pemerintah di BI ke bank-bank BUMN, seperti Bank Mandiri dan BNI. Langkah ini—yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 276/2025—menargetkan pinjaman yang belum dicairkan dan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan uang beredar hingga 15-20% yang berpotensi menambah 1-2% terhadap PDB dalam jangka pendek.
Implikasi dan Tantangan
Kebijakan Purbaya dapat mengkatalisasi pemulihan jangka pendek dengan mengatasi kendala likuiditas dan pengangguran, sejalan dengan mandat pertumbuhan 8% Prabowo dan memulihkan kepercayaan investor yang terguncang akibat protes. Peningkatan penyaluran kredit UMKM dapat mengurangi tingkat pengangguran kaum muda sebesar 20%, sedangkan strategi pendapatan dapat menstabilkan rupiah dan menarik FDI ke sektor energi terbarukan dan infrastruktur. "Efek Purbaya" optimisme pasar pascapengangkatan sebagai menteri telah memicu diskusi tentang prospek pasar obligasi di tengah penurunan suku bunga.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan paparan saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Senin (22/9/2025). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Namun, risikonya masih ada. Para kritikus memperingatkan bahwa pelonggaran aturan fiskal untuk mengakomodasi program pangan 1,5% dari PDB dan kenaikan anggaran pertahanan dapat meningkatkan defisit, mengikis disiplin Sri Mulyani yang telah susah payah diraih, dan menekan inflasi di tengah lemahnya keyakinan konsumen (IKK di 117 pada Agustus 2025) dan deflasi (-0,08%).
Suntikan dana Rp200 triliun tersebut menimbulkan kekhawatiran akan "moral hazard" di perbankan dan potensi non-penyerapan jika permintaan tetap rendah. Lebih lanjut, gaya bicara Purbaya yang lugas menyatakan IMF "bodoh" dan protes sebagai "suara kecil" telah menuai kecaman karena dianggap kurang empati, berpotensi merusak kepercayaan publik. Analis seperti Josua Pardede menekankan perlunya menjaga independensi dan integritas data bank sentral.
Kesimpulan
Kebijakan ekonomi Purbaya Yudhi Sadewa merupakan pertaruhan berisiko tinggi terhadap fiskalisme ekspansif untuk menghidupkan kembali mesin perekonomian Indonesia di tengah tantangan global. Dengan memprioritaskan suntikan likuiditas, optimalisasi pendapatan, dan pengurangan utang, ia berupaya mencapai pertumbuhan pesat yang mengatasi kesenjangan sosial dan memenuhi janji-janji kampanye Prabowo.
Namun, keberhasilan bergantung pada keseimbangan ambisi dengan kehati-hatian memastikan dana dialihkan ke produktivitas sektor riil, alih-alih defisit fiskal. Per 30 September 2025—dengan langkah-langkah awal yang sedang berjalan—masa jabatan Purbaya akan menguji apakah prediksi yang berani dapat menghasilkan kemakmuran yang nyata. Jika dinavigasi dengan tepat, pendekatannya dapat mendorong Indonesia menuju aspirasi G20; jika tidak, hal itu berisiko menggoyahkan ketahanan fiskal yang telah dibangun selama beberapa dekade. Di momen penting ini, tantangan Purbaya bukan hanya ekonomi tetapi juga empati: meningkatkan jumlah penduduk sekaligus memulihkan denyut nadi bangsa.