Suasana pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan oleh Presiden Prabowo Subianto pada acara Pelantikan Menteri dan Wakil Menteri Negara Kabinet Merah Putih Dalam Sisa Masa Jabatan Periode Tahun 2024-2029 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Perombakan kabinet atau reshuffle selalu menjadi momen penting dan hal wajar dalam dinamika politik Indonesia. Selain menyentuh aspek administratif dan kinerja, reshuffle juga sarat makna simbolis dan strategis apabila dilihat dari sisi komunikasi politik. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto telah melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih pada beberapa posisi penting, menggantikan lima menteri, membentuk kementerian baru, dan melantik sejumlah pejabat baru.
Tulisan ini mencoba menelisik apakah reshuffle ini benar-benar angin segar? Dan bagaimana komunikasi politik yang dijalankan serta efeknya terhadap citra pemerintah serta kepercayaan publik.
Fakta Reshuffle
Dalam rentang masa jabatan Presiden Prabowo yang ke-334 hari sejak dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia, ia mulai melakukan perombakan dalam jajaran kabinet Merah Putihnya. Sedikitnya, terdapat lima menteri di-reshuffle, empat menteri dicopot dari jabatannya, dan 11 pejabat baru dilantik untuk mengisi kekosongan di kementerian/lembaga.
Adapun menteri yang diganti antara lain Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan digantikan oleh Djamari Chaniago; Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa; Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding digantikan oleh Mukhtarudin; Menteri Koperasi dan UKM yang sebelumnya dijabat oleh Budi Arie Setiadi kemudian digantikan oleh Ferry Juliantono; serta Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo digantikan oleh Erick Thohir. Selain itu, terdapat satu kementerian baru yaitu Kementerian Haji dan Umrah yang dinahkodai oleh Mochamad Irfan Yusuf dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Wakilnya.
Kursi Jabatan. Sumber: Shutterstock
Politik Simbolik
Beberapa teori dan konsep dalam komunikasi politik penting untuk memahami reshuffle sebagai fenomena; bukan hanya eksekusi kebijakan, tetapi juga manuver simbolik dan strategis.
Teori ini menyebut bahwa tindakan politik tidak hanya tentang implementasi kebijakan, tetapi juga tentang simbol, pesan terbuka, dan pencitraan. Pergantian menteri bisa menjadi simbol bahwa pemerintah mendengar suara publik, beradaptasi terhadap kritik, atau memperkuat kredibilitasnya.
Apakah Reshuffle Ini Betul-betul Angin Segar?
Melihat teori dan fakta, reshuffle menteri oleh Presiden Prabowo dapat dilihat dari sisi positif dan negatif. Tiga hal positif yang melekat terlihat jelas atas reshuffle yang dilakukan Prabowo. Pertama, hal positif yang dapat ditarik dari kebijakan reshuffle ini antara lain sebagai responsif terhadap aspirasi publik. Dengan mengganti figur yang mendapat kritik atau dianggap kurang efektif, pemerintah menunjukkan bahwa ia mendengarkan dan mau melakukan evaluasi. Misalnya, penggantian Sri Mulyani digambarkan sebagai respons atas tuntutan transparansi, tekanan publik, dan keadaan ekonomi yang semakin sulit.
Kedua, penyegaran kepemimpinan. Orang baru diharapkan mampu membawa gagasan, terobosan hasil dari ide cemerlang, dan pendekatan berbeda dalam kementerian yang mungkin meningkatkan efektivitas serta kesejahteraan. Sedangkan ketiga, sebagai simbol adaptasi dan konsolidasi. Reshuffle tidak hanya soal penggantian individu, tapi juga sinyal bahwa pemerintahan siap beradaptasi dengan tantangan baru (misalnya urusan haji & umrah dilebihkan, migran diprioritaskan, dsb). Ini bisa memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik.
Ilustrasi gedung Pemerintahan RI. Sumber: Shutterstock
Selain hal positif di atas, beberapa catatan yang juga perlu menjadi perhatian antara lain; Pertama, disinyalir adanya ketidakpastian dan gangguan administratif. Pergantian sering tiba-tiba dan belum semua posisi langsung diisi. Hal ini bisa membuat proyek atau kebijakan yang sedang berjalan terganggu atau kehilangan momentum. Kedua, persepsi superficial. Jika reshuffle hanya mengganti nama tapi tidak menyentuh masalah struktural atau sistemik (misalnya korupsi, koordinasi antarkementerian, atau masalah anggaran), publik bisa melihatnya sebagai "tukar kursi" tanpa arti perubahan nyata.
Ketiga, komunikasi yang tidak hati-hati/sembrono. Kesalahan framing atau pernyataan pejabat baru dapat memicu kritik. Misalnya, Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, setelah diangkat, sempat menimbulkan kontroversi lewat pernyataannya tentang tuntutan publik, yang dianggap meremehkan. Keempat, potensi politisasi dan kegaduhan politik. Penggantian bisa dianggap sebagai manuver politik, bukan persembahan profesionalisme. Ini bisa menimbulkan spekulasi tentang kepentingan partai, kompromi kekuasaan, atau penyesuaian politik menjelang event besar seperti pemilihan umum atau krisis sosial.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Agar reshuffle benar-benar bisa menjadi angin segar dan bukan sekadar gerakan simbolis, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal dalam strategi komunikasi politik. Pertama, adanya transparansi dan penjelasan publik. Pemerintah harus mampu menjelaskan alasan penggantian dengan jelas, kriteria evaluasi, isu yang melatarbelakangi, dan harapan dari figur baru.
Dengan demikian, publik tidak hanya menerima hasil, tetapi memahami prosesnya, sehingga masyarakat juga tidak hanya akan menjadi watchdog bagi jalannya pemerintahan; lebih dari itu, masyarakat memberikan solusi konkret ketika pemerintah menemukan sebuah permasalahan, tentunya dengan batas kemampuan sebagai konstituen.
Kepala Badan Komunikasi Pemerintah Angga Raka Prabowo mengikuti acara pelantikan Menteri dan Wakil Menteri Negara Kabinet Merah Putih Dalam Sisa Masa Jabatan Periode Tahun 2024-2029 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/9/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Kedua, framing yang empatik dan inklusif. Gunakan narasi bahwa perubahan dilakukan untuk kesejahteraan rakyat dan untuk respons terhadap kritik serta kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk kekuasaan atau kepentingan elite. Ketiga, konsistensi dalam implementasi kebijakan baru. Figur baru harus segera memperlihatkan langkah nyata, tidak cukup hanya ganti nama. Kinerja konkret akan memperkuat kredibilitas.
Keempat, mengelola ekspektasi publik. Hal ini dikarenakan reshuffle sering dibayangkan sebagai "penyelamat", tetapi tidak semua masalah bisa diselesaikan segera. Pemerintah perlu hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam janji yang sulit dipenuhi. Selain itu, respons media dan opini publik harus dipantau. Jika ada kritik, pemerintah harus segera meluruskan. Kesalahan framing bisa merugikan citra pemerintah.
Harapan
Reshuffle menteri oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Kabinet Merah Putih memang bisa menjadi angin segar, asalkan dijalankan dengan strategi komunikasi politik yang matang dan dengan transparansi serta langkah nyata. Dari sisi teori, reshuffle bukan hanya soal pergantian orang, tetapi juga soal framing, simbol politik, dan legitimasi.
Namun, ada risiko bahwa reshuffle ini hanya menjadi operasi kosmetik jika tidak disertai perbaikan substantif dalam kebijakan dan pelaksanaan. Jika publik melihat perubahan nyata—dalam hal ekonomi, pelayanan publik, keamanan, dan proteksi terhadap kelompok rentan—maka reshuffle akan menyumbang kepercayaan dan stabilitas politik. Sebaliknya, jika hanya nama yang berubah, efek positifnya bisa cepat memudar.