Kita semua mengerti bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merupakan institusi politik yang memiliki mandat besar, yaitu menyerap aspirasi rakyat, menyusun regulasi, dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Namun, pertanyaan fundamental muncul: Quo vadis DPR RI (Mau ke mana DPR RI)? Ke mana arah lembaga ini akan berjalan saat ini, khususnya ketika dilihat dari perspektif komunikasi organisasi.
DPR RI dalam Bayang-Bayang Krisis Komunikasi
Realitas politik kontemporer menunjukkan bahwa DPR RI sering kali terseret dalam isu krisis komunikasi, mulai dari rendahnya keterbukaan informasi, tingginya jarak komunikasi dengan masyarakat, hingga keterbatasan transparansi dalam pengambilan keputusan. Tidak jarang, publik lebih mengenal DPR melalui citra negatif—kasus etik, absensi sidang, atau tarik ulur kepentingan politik, ketimbang gagasan substantif yang lahir dari diskusi parlemen demi kepentingan konstituen.
Padahal, jika merujuk pada teori komunikasi organisasi, sebagaimana dikemukakan oleh Katz & Kahn (1978), setiap organisasi publik merupakan sebuah sistem terbuka (open system) yang hanya bisa bertahan jika mampu berinteraksi secara dinamis dengan lingkungannya atau stakeholder. Dalam konteks DPR, "lingkungan" itu adalah masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Komunikasi yang terputus atau tidak efektif berpotensi menggerus legitimasi politik lembaga.
Ilustrasi Gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Komunikasi Organisasi: Dari Linear ke Partisipatif
Jika menilik model komunikasi klasik ala Shannon dan Weaver (1949), DPR cenderung masih berada dalam pola komunikasi linear—informasi disampaikan satu arah dari lembaga kepada publik. Pola ini jelas ketinggalan zaman. Model komunikasi organisasi modern menekankan partisipasi dua arah (two-way communication) di mana rakyat tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga aktor yang aktif memberi masukan.
Dalam perspektif Karl Weick (1979) tentang sensemaking, organisasi bertahan bukan karena mampu mengontrol informasi, melainkan karena sanggup menafsirkan dinamika lingkungan dan memberi makna yang jelas kepada anggotanya. DPR semestinya menjadikan komunikasi bukan sekadar instrumen penyampaian kebijakan, tetapi juga sebagai ruang dialog interaktif yang memperkuat makna demokrasi.
Transparansi, Akuntabilitas, dan Teknologi Digital
Kemajuan teknologi komunikasi—dunia maya seharusnya membuka peluang besar bagi DPR RI untuk memperbaiki komunikasi organisasi. Pemanfaatan media sosial, kanal siaran digital, hingga keterbukaan dokumen publik dapat meningkatkan public trust. Sayangnya, yang terjadi sering kali justru sebaliknya: penggunaan media digital DPR lebih banyak berfungsi sebagai propaganda institusional ketimbang sarana partisipasi.
Rapat/Sidang Komisi DPR RI. Sumber: Shutterstock
Padahal, teori komunikasi simetris dua arah dari James E. Grunig menekankan bahwa komunikasi yang sehat antara organisasi dan publik harus bersifat timbal balik, transparan, dan mengutamakan kepentingan bersama. Jika DPR sungguh-sungguh menjalankan prinsip ini, tidak mustahil jarak psikologis antara parlemen dan rakyat akan semakin menyempit dan DPR akan menjadi lembaga penyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Menjawab Pertanyaan "Quo Vadis?"
Pertanyaan "quo vadis DPR RI?" dalam perspektif komunikasi organisasi adalah pertanyaan tentang arah komunikasi politik yang akan dipilih DPR. Apakah DPR akan tetap berada dalam bayang-bayang komunikasi elitis dan simbolik, atau bertransformasi menjadi lembaga legislatif yang partisipatif, terbuka, dan komunikatif dengan rakyat?
Ke depannya, DPR perlu menginternalisasi komunikasi organisasi tidak hanya sebagai strategi teknis, tetapi juga sebagai budaya institusional. Hanya dengan begitu, DPR mampu menjawab keraguan publik dan mengembalikan marwah sebagai representasi kedaulatan rakyat. Lebih jauh, slogan "bubarkan DPR" yang saat ini tengah hangat tidak akan mencuat dan keluar dari lisan-lisan konstituen.