Analisis Aksiologi dan Etika Komunikasi Menkeu Purbaya Usai Respon Tuntutan 17+8 - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Analisis Aksiologi dan Etika Komunikasi Menkeu Purbaya Usai Respon Tuntutan 17+8
Sep 20th 2025, 14:00 by Rahmad Rafildi

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah di Jakarta, Jumat (12/9/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah di Jakarta, Jumat (12/9/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Aksiologi—sebagai cabang dari filsafat ilmu—berfokus pada studi tentang nilai-nilai, khususnya kebenaran, kebaikan, dan keindahan, yang berfungsi sebagai prinsip panduan bagi perilaku manusia. Dalam bidang komunikasi, aksiologi memegang peran esensial karena komunikasi tidak hanya sekadar transmisi informasi, tetapi juga pertukaran nilai-nilai yang membentuk cara berpikir, memengaruhi perilaku, dan memengaruhi sistem sosial serta budaya. Oleh karena itu, komunikasi seharusnya tidak hanya dipandang sebagai proses teknis, tetapi juga sebagai aktivitas yang kaya akan makna dan tanggung jawab moral. Secara praktis, etika komunikasi menuntut penghindaran distorsi pesan, disinformasi, dan tindakan komunikasi yang merugikan.

Baru-baru ini, viral respons Purbaya terhadap tuntutan 17+8 diutarakan dalam konferensi pers seusai pelantikan dirinya sebagai menteri pada Senin, 8 September 2025. Purbaya mengatakan dirinya belum mempelajari tuntutan tersebut. Namun, dia berpendapat tuntutan tersebut datang dari sebagian kecil rakyat.

"Tapi pada dasarnya begini. Itu, kan, suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa? Mungkin sebagian merasa terganggu hidupnya masih kurang, ya," ucap Purbaya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin, 8 September 2025. Menurut Purbaya, tuntutan itu akan hilang secara otomatis begitu dia berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi 6 hingga 7%. Sebab menurutnya, ketika pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6-7%, masyarakat akan sibuk mencari kerja dan "makan enak" dibandingkan berdemonstrasi.

Dalam tuntutan 17+8 yang digaungkan masyarakat sipil, terdapat beberapa poin yang menyangkut ekonomi. Dalam 17 tuntutan jangka pendek, masyarakat menuntut agar pemerintah memastikan upah layak untuk seluruh angkatan kerja, mengambil langkah darurat untuk mencegah pemutusan hubungan kerja massal, serta membuka dialog dengan serikat buruh untuk mencari solusi upah minimum dan outsourcing. Sementara itu, di antara delapan tuntutan jangka panjang, terdapat poin tuntutan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan sektor ekonomi dan ketenagakerjaan.

Purbaya mengatakan dirinya merupakan pejabat baru di Kementerian Keuangan. Menurut Purbaya, selama ini tidak ada yang mengawasi tutur katanya ketika masih menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). "Ini, kan, saya masih pejabat baru di sini. Menterinya juga menteri kagetan. Jadi kalau ngomong, kalau kata Ibu Sri Mulyani, gayanya koboi," ucap Purbaya kepada wartawan usai melaksanakan serah terima jabatan di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 9 September 2025.

Menurut Purbaya, sekarang kondisinya berbeda di Kementerian Keuangan. Dia menilai ucapan yang salah akan langsung dipelintir. "Jadi kemarin kalau ada kesalahan, saya mohon maaf. Ke depan akan lebih baik lagi," ujarnya. Purbaya berujar akan meminta petunjuk dari Sri Mulyani agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Menurut Purbaya, Sri Mulyani berhasil membangun fondasi yang kokoh untuk fiskal Indonesia.

Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa—yang menyebut tuntutan 17+8 hanya berasal dari sebagian kecil rakyat dan akan hilang jika ekonomi tumbuh 6–7%—sangat berbahaya bagi publik dan pasar. Menurutnya, sikap percaya diri yang berlebihan atau overconfidence dapat menjadi alarm karena menyederhanakan persoalan yang kompleks. Sebab, demonstrasi bukan semata-mata soal kebutuhan ekonomi, melainkan juga akibat kesenjangan, ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan pada kebijakan.

Lebih jauh, setiap ucapan Menkeu dibaca sebagai sinyal pasar, sehingga jika disampaikan tanpa rencana konkret justru menimbulkan keraguan terhadap kapasitas pemerintah dalam mengelola fiskal, yang berpotensi memicu volatilitas nilai tukar, menahan investasi, hingga pelarian modal. Ia menilai pernyataan Purbaya bukan hanya dangkal, melainkan juga dapat merusak komunikasi pemerintah dengan rakyat karena kredibilitas seorang Menkeu diukur dari konsistensi kebijakan, bukan retorika.

Achmad menekankan bahwa Menkeu harus menjaga komunikasi publik secara hati-hati karena ia adalah wajah fiskal Indonesia di mata dunia, sehingga setiap kata yang dikeluarkan semestinya menenangkan publik dan meyakinkan pasar, bukan menciptakan kegaduhan. Selain itu, jangan sekali-kali meremehkan kritik masyarakat karena suara rakyat adalah fondasi demokrasi.

Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait tuntutan 17+8 menjadi contoh nyata pentingnya aksiologi dan etika komunikasi dalam praktik komunikasi publik. Ucapan Purbaya yang menyebut tuntutan masyarakat sipil hanya berasal dari "sebagian kecil rakyat" dan akan hilang jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6–7% menunjukkan persoalan nilai (aksiologi).

Pernyataan tersebut mengabaikan nilai demokrasi karena dalam sistem demokrasi, setiap suara rakyat—baik besar atau kecil—mempunyai arti penting. Selain itu, penyederhanaan demonstrasi sebagai sekadar persoalan "hidup kurang enak" menunjukkan kurangnya empati dan reduksi terhadap nilai keadilan sosial, sedangkan demonstrasi kerap lahir dari kesenjangan struktural dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan pemerintah.

Dari sisi etika komunikasi, pernyataan Purbaya dapat dikategorikan tidak etis karena disampaikan secara spontan tanpa kehati-hatian, padahal seorang Menteri Keuangan adalah wajah fiskal Indonesia di mata publik dan pasar internasional. Ucapan yang terkesan meremehkan aspirasi rakyat tidak hanya melukai rasa hormat terhadap masyarakat, tetapi juga berisiko menimbulkan sinyal negatif yang berdampak pada stabilitas ekonomi, seperti keraguan investor atau volatilitas pasar.

Meski kemudian, Purbaya mengklarifikasi dan meminta maaf dengan mengakui gaya komunikasinya yang masih "koboi", insiden ini menunjukkan bahwa komunikasi pejabat publik harus selalu mencerminkan tanggung jawab, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap audiens. Dengan demikian, isu ini menegaskan bahwa komunikasi yang tidak berlandaskan nilai (aksiologi) dan etika dapat menimbulkan krisis kepercayaan, baik di ranah sosial maupun ekonomi.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url