Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers terkait pencairan dana pemerintah di Jakarta, Jumat (12/9/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Kehadiran Purbaya sebagai Menteri Keuangan RI yang baru telah membuat banyak kejutan. Hal ini dikarenakan gayanya yang terkesan "ceplas-ceplos", ceria, lucu, dan menghibur. Selain itu, ia dikenal sebagai pribadi yang memiliki optimismenya yang tinggi dan memiliki pemikiran serta kebijakan keuangan yang menarik. Nampaknya, ia sangat tidak suka bila uang disimpan atau dianggurkan dengan alasan bahwa uang harus diputar, ditransaksikan, dan diinvestasikan, sehingga kehidupan ekonomi akan lebih bergairah.
Sebab, di samping meningkatnya permintaan barang dan jasa, dunia usaha akan mengantisipasinya dengan meningkatkan produksi dan penawaran, sehingga perekonomian masyarakat akan tumbuh dan berkembang dengan lebih baik. Sebaliknya, menahan dan menganggurkan uang akan membuat investasi, produktivitas, dan perputaran serta pertumbuhan ekonomi akan menjadi stagnan atau menurun.
Untuk itu, Purbaya menarik dana pemerintah yang ada di Bank Indonesia (BI) dan menempatkannya di perbankan milik pemerinta agar dapat diputar atau disalurkan kepada pihak nasabah guna mendukung dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat. Kebijakan ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang praktik iktinaz (Qs. Attaubah 34) yaitu menganggurkan dan/atau menahan uang. Menurut Imam Al-Ghazali, uang tidak boleh ditimbun, tetapi harus beredar demi kemaslahatan umat, sehingga tujuan ekonomi dapat tercapai. Jika uang disimpan atau tidak ditransaksikan, uang yang beredar di masyarakat tentu akan berkurang.
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
Apabila hal itu terjadi, daya beli atau permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa akan berkurang. Berkurangnya daya beli masyarakat akan direspons dunia usaha dengan mengurangi produksi atau penawaran. Ketika permintaan (demand) dan penawaran (supply) sama-sama menurun, tentunya ekonomi masyarakat pun akan mengecil. Kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari uang yang disimpan jelas sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Hal itu dinilai tidak adil dan tidak terpuji karena pemilik uang telah mengabaikan kewajiban sosial dari uang yang dimilikinya untuk membantu dan memajukan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, jika praktik mendisfungsikan uang tidak diatasi, tentunya hal tersebut dapat menimbulkan mudharat. Menurut ahli Ushul Fiqh, pemerintah harus turun untuk mencegah dan/atau menghilangkan kemudaratan atau kerugian yang terjadi (adhdhararu yuzaalu). Ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi.
La Dharara Wala Dhirara 'Jangan membahayakan diri sendiri dan jangan membahayakan orang lain.'
Di sinilah kita dapat bahwa kebijakan Purbaya—dalam menarik dana yang disimpan di BI dan menempatkannya dalam dunia perbankan—sejalan dengan ajaran Islam dengan melarang adanya praktik iktinaz. Keduanya sama-sama ditujukan untuk memfungsikan uang secara maksimal bagi kepentingan transaksi dan menciptakan kemashlahatan rakyat yang sebesar-besarnya. Bedanya, Purbaya masih menggunakan sistem ribawi dan non-ribawi untuk mencapai tujuannya, sedangkan Islam hanya menempuh jalur non ribawi saja.