Ilustrasi traveler menyambangi Pantai Walakiri di Sumba Foto: Shutter Stock
Di balik keindahan alamnya, Sumba memiliki kekayaan spiritual yang masih bertahan hingga saat ini yang disebut Marapu, sebuah kepercayaan tradisional Nusantara yang diwariskan turun-temurun. Menariknya, meskipun masyarakat Sumba mayoritas menganut agama Kristen dan Katolik, mereka masih melestarikan kepercayaan Marapu. Orang Sumba menyebut dirinya sebagai Atabara Marapu yaitu manusia penyembah marapu.
Ritual Marapu bukan hanya dilaksanakan dalam bentuk doa atau persembahan hewan (babi, sapi atau kerbau) tetapi juga dipraktikan dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Sumba. Segala aktivitas penting seperti pernikahan, kematian dan pembangunan rumah adat dan lainnya dilakukan melalui upacara ritual Marapu. Penulis juga menjumpai masyarakat Sumba yang memohon kesembuhan dari penyakit dengan ritual marapu, mereka melakukan dialog bersama leluhur di sebuah makam leluhurnya. Bagi masyarakat Sumba Marapu bukan sekadar sebuah keyakinan melainkan juga fondasi sosial budaya yang mengikat masyarakat Sumba dengan leluhur, alam dan sesama manusia.
Gambar 1. Ritual Marapu di kawasan makan leluhur Retanggaro, Sumba Barat Daya
Menurut perspektif ilmu komunikasi, Marapu dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi simbolik dalam sebuah ritual yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga berfungsi sebagai bahasa simbol yang menyampaikan pesan penghormatan kepada leluhur, menjaga harmoni dengan alam, serta memperkuat solidaritas antarmasyarakat.
Marapu berperan sebagai medium penghubung antara manusia, leluhur, dan Sang Pencipta, sarana menjaga keseimbangan dengan alam, penguat solidaritas sosial melalui gotong royong, upaya pelestarian warisan budaya lintas generasi; sekaligus menjadi wadah penyelesaian konflik dan pengambilan keputusan bersama dalam kehidupan bermasyarakat..
Setiap masyarakat Sumba memiliki "sosok" Marapu yang direpresentasikan secara berbeda-beda. Misalnya, masyarakat adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya menganggap buaya sebagai simbol Marapu mereka. Sosok buaya merupakan simbol budaya masyarakat Ratenggaro yang mengekspresikan keyakinan spiritual mereka, serta membangun narasi tentang sejarah masyarakat adat di sana bahwa ada hubungan sosok "buaya" dengan leluhur mereka.
Gambar 2. Masyarakat Ratenggaro, Sumba Barat Daya meminta kesembuhan dan kesehatan pada ritual Marapu
Komunikasi dalam ritual marapu dipimpin oleh seorang Rato yakni pemimpin adat yang berperan sebagai mediator dalam ritual. Rato merupakan komunikator utama yang menjembatani hubungan antara roh leluhur dan masyarakat kampung adat yang masih hidup. Perannya bukan hanya menyampaikan doa dan dialog pesan spiritual, tetapi menginterpretasikan berbagai tanda, memimpin prosesi ritual serta memastikan pesan dari roh dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat. Rato menjadi figur yang penting dalam berlangsungnya komunikasi ritual sekaligus memperkuat kohesi sosial.
Marapu mengartikan bahwa komunikasi bukan sekadar bertukar pesan melainkan membangun makna bersama. Saat masyarakat berkumpul dalam upacara adat, ada dialog spiritual yang menghubungkan manusia dengan leluhur, masa lalu dengan masa depan dan komunikasi antar masyarakat. Marapu membuktikan bahwa tradisi tidak pernah benar-benar mati dan terus hidup dalam simbol, ritual dan nilai-nilai yang dijalankan masyarakat Sumba. Di sinilah letak relevansinya, menjaga tradisi berarti menjaga komunikasi yang paling mendasar tentang siapa kita, dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi.