Kerusuhan saat demo di kantor Bupati Pati, Rabu (13/8/2025). Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
Massa pendemo menggeruduk kantor Bupati Pati Sudewo sejak Rabu (13/8) pagi. Mereka menabuh genderang protes karena persoalan pajak yang dinaikkan hingga 250 persen.
Demo tersebut diprakarsai Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.
Demo berlangsung panas dan ricuh. Massa saling dorong, aparat juga sempat menembakkan gas air mata.
Suasana semakin panas saat Sudewo menemui massa. Ia langsung dihujani lemparan air mineral kemasan hingga sandal.
Situasi ini menjadi sorotan nasional. Narasi rakyat melawan karena pajak naik menggema.
Lantas, bagaimana sebenarnya gambaran kondisi Pati dan seberapa penting ia di kancah sejarah dan perpolitikan nasional?
Bupati Pati Sudewo dalam pawai HUT Hari Jadi Pati, Kamis (7/8/2025). Foto: Dok Pemkab Pati
Dikutip dari berbagai sumber, Rabu (13/8), pada masa kolonial Belanda, Pati bukan sebuah Kabupaten yang dengan administratif langsung bertempat di bawah Provinsi, melainkan pada masa itu masih berada di lingkup wilayah Karesidenan.
Karesidenan Pati atau disebut juga Muria Raya merupakan suatu hasil dari pembagian administratif yang sudah ada di Jawa Tengah, Hindia, Belanda, kemudian Indonesia yang bertempat di Kota Pati sebagai Pusat Pemerintahannya.
Karesidenan Pati ini memiliki enam kabupaten dari yang ada di Jawa Tengah. Yang termasuk wilayah ini meliputi:
Kabupaten Pati
Kabupaten Kudus
Kabupaten Jepara
Kabupaten Rembang
Kabupaten Blora
Kabupaten Grobogan
Berjarak 232 km dari Surabaya dan 84 km dari Semarang, Karesidenan Pati memiliki aksesibilitas yang baik ke wilayah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Wilayah ini dikenal sebagai penghasil rokok (Kudus) dan ukiran (Jepara) yang memiliki nilai ekonomi tinggi pada masa itu. Lokasi Karesidenan Pati yang strategis juga menjadikannya jalur perdagangan penting, terutama dengan adanya Pati Hotel yang didirikan oleh pedagang rempah-rempah.
Karesidenan Pati memiliki posisi strategis dalam kontribusi politik nasional karena beberapa faktor. Pertama, Pati merupakan daerah dengan basis massa yang cukup besar, sehingga memiliki potensi besar dalam menentukan hasil pemilu.
Kedua, Pati juga dikenal sebagai daerah yang sejarahnya memiliki tokoh-tokoh politik yang cukup berpengaruh di tingkat regional maupun nasional. Gerakan-gerakan tercipta dalam menentang penguasa.
Salah satu yang paling terkenal adalah Gerakan Samin pada abad ke-19.
Gerakan Samin merupakan satu gerakan yang pada awalnya adalah suatu bentuk penentangan bagi melawan kuasa kolonial Belanda yang dilihat telah banyak menindas masyarakat. Terutamanya dengan kenaikan pajak yang tinggi.
Kebangkitan masyarakat pada ketika ini didorong oleh semangat yang ditanam dalam diri masyarakat bertunjangkan pegangan agama Adam yang dianut oleh masyarakat Samin. Pelopor gerakan Samin, yang juga merupakan penggas kepada agama Adam yaitu Surontiko Samin atau nama asalnya ialah Raden Kohar.
Ilustrasi harta. Foto: Shutter Stock
Beliau merupakan anak Raden Surowijoyo atau Samin Sepuh. Dilahirkan di Ploso Kedhiren, Randublatung, Blora pada tahun 1859.
Penggerak utama kepada tercetusnya Gerakan Samin dapat dilihat dari sudut ekonomi.
Hal ini karena pada masa pemerintahan Belanda masyarakat merasakan begitu ditindas dan tertekan dengan dasar Belanda yang mengenakan pajak dalam banyak perkara ke atas masyarakat.
Beban pajak ini sungguh memberi kesan kepada kehidupan masyarakat terutamanya golongan petani yang miskin. Gerakan Samin ini mencapai puncaknya pada tahun 1914.
Gerakan Samin memiliki ciri-ciri seperti pergolakan sosial di pedesaan lainnya, yaitu bersifat tradisional, dilakukan oleh petani, dan daerah gerakannya tidak luas.
Gerakan Samin dilakukan tanpa kekerasan, seperti aksi tidak membayar pajak dan menolak untuk patuh terhadap peraturan pemerintah kolonial.
Para pelakunya pun dikenal rajin, jujur, serta menghargai sesama, termasuk kepada kaum perempuan. Hal inilah yang mendasari Pemerintah Belanda untuk menganggap bahwa Gerakan Samin tidaklah berbahaya.
Saat itu salah seorang pemimpin Samin di Balerejo, Madiun, Projodikoro menyatakan kepada pengikutnya bahwa kadar bayaran cukai ini akan terus meningkat. Ia menyarankan agar mereka menipu pegawai pemerintah supaya dapat mengelakkan diri dari membayar cukai.
Pada sekitar tahun 1913 hingga 1914 juga, petani yang memiliki tanah melebihi ¼ bahu (1 bahu 7.000-an meter persegi) juga dikenakan pajak.
Selain itu pemerintah kolonial Belanda membuat undang-undang baru yang bermakna membuat penutupan akses hutan kayu jati. Ini membuat masyarakat semakin marah.
Bagi masyarakat Samin juga hutan itu milik semua, sejajar dengan ajaran agama mereka. Prinsipnya menekankan bahwa "lemah pada duwe, banyu pada duwe". Artinya air dan hutan adalah hak milik semua orang dan bukannya golongan-golongan seperti kata Belanda.
Kayu jati di Pati mempunyai mutu terunggul di dunia dengan nama "merek dagang Java-teak". Sehingga kemarahan masyarakat makin berlarut.
Gerakan Samin mengubah tatacara hidup mereka dari pergaulan sehari-hari di desanya. Mereka tak mau lagi menyetor padi kelumbung desa dan tak mau membayar pajak, serta menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka dikandang umum bersama-sama dengan orang desa lainnya yang bukan orang Samin.
Dampak Gerakan Samin
Di Kayen, Pati, Karsiyah yang merupakan pengikut ajaran Samin menyebut dirinya sebagai Pangeran Sendang Janur dan mendorong orang untuk menentang pemerintah.
Akhirnya di desa Larangan, Kayen, para pengikutnya menolak untuk membayar pajak dan menyerang kepala desa, dan melawan polisi. Beberapa terluka tapi tidak ada yang tewas. Mereka kemudian dipenjarakan di Pati.
Pada tahun 1916 gerakan Samin melawan pemerintah kolonial mulai mencari daerah persebaran baru. Ajaran Samin mulai disebarkan di Undaan, selatan Kudus.
Dalam laporan Jasper bahwa para pengikut Samin pada tahun ini adalah 2.305 kepala keluarga: 1.701 di Kabupaten Blora, 283 di Bojonegoro, dan sisanya di Pati, Rembang, Grobogan, Ngawi, dan Kudus.
Pada tahun 1917 para pengikut Pak Engkrak dan Karsiyah melakukan perlawanannya terhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan apa yang dinamakan partikel pasif. Peningkatan perlawanan ini sangat menjengkelkan Belanda. Perlawanan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan melakukan hukuman penangkapan dan pengasingan.
Setelah tahun 1928 ini sampai kemerdekaan, ternyata gerakan Samin tidak terlihat lagi di surat-surat kabar maupun dokumen-dokumen milik Belanda. Hal ini disebabkan karena ketiadaan pemimpin yang tangguh.