Sep 19th 2024, 14:25, by Tiara Hasna R, kumparanNEWS
Konflik antara Hizbullah dan Israel kembali memanas setelah insiden ledakan pada Selasa (17/9) malam yang melukai sekitar 2.800 orang di Lebanon.
Ledakan ini berasal dari perangkat pager milik anggota Hizbullah — kelompok politik berpengaruh di Lebanon — menewaskan sedikitnya sembilan orang, termasuk tiga anak-anak.
Hizbullah pun menyalahkan Israel atas serangan ini, menambah ketegangan yang telah berlangsung selama hampir setahun.
Sejak 8 Oktober 2023, Hizbullah terlibat dalam serangan lintas perbatasan untuk menghentikan operasi militer Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 41.000 orang.
Israel merespons dengan serangan balasan terhadap salah satu kelompok militan terkuat di kawasan itu, yang memiliki pengalaman panjang dalam konflik dengan Israel. Seperti apa sejarah pertikaian mereka?
1982: Awal Invasi dan Pembentukan Hizbullah
Konflik ini bermula pada Juni 1982, ketika Israel menginvasi Lebanon sebagai respons atas serangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari wilayah selatan Lebanon. Invasi terjadi di tengah perang saudara Lebanon yang telah berlangsung selama tujuh tahun.
Setelah PLO setuju meninggalkan Lebanon, militer Israel tetap berada di wilayah tersebut, mendukung kelompok proksi lokal dan terlibat dalam peristiwa tragis pembantaian Sabra dan Shatila. Pembantaian ini menewaskan antara 2.000 hingga 3.500 pengungsi Palestina dan warga sipil Lebanon.
Hizbullah lahir dari reaksi terhadap pendudukan Israel, didukung oleh Iran, dengan tujuan utama mengusir pasukan Israel dari Lebanon.
Berasal dari komunitas Muslim Syiah yang mayoritas tinggal di Lembah Bekaa dan pinggiran selatan Beirut, Hizbullah dengan cepat menjadi kekuatan signifikan di Lebanon.
Adapun buntut invasi Israel terhadap Lebanon tersebut, membuat PBB kemudian menempatkan pasukan perdamaian UNIFIL di perbatasan Lebanon-Israel. Indonesia juga berpartisipasi dalam pengiriman pasukan ke UNIFIL.
1983-1992: Serangan dan Keterlibatan dalam Politik
Antara 1982 dan 1986, beberapa serangan terhadap pasukan asing dilakukan, termasuk pengeboman barak pasukan penjaga perdamaian AS dan Prancis di Beirut pada 23 Oktober 1983, yang menewaskan lebih dari 300 orang.
Banyak pihak menyalahkan Hizbullah atas serangan ini meskipun kelompok lain juga mengeklaim bertanggung jawab.
Pada 1992, setelah berakhirnya perang saudara Lebanon, Hizbullah terjun ke kancah politik dan memenangkan delapan kursi di parlemen Lebanon. Sejak saat itu, peran Hizbullah terus berkembang, baik sebagai kekuatan politik maupun militer.
2006: Perang Juli yang Berkepanjangan
Perang besar antara Hizbullah dan Israel terjadi pada Juli 2006. Dalam pertempuran selama 34 hari, sekitar 1.200 warga Lebanon tewas, sebagian besar adalah warga sipil. Israel juga kehilangan 158 orang, sebagian besar tentara.
Konflik ini semakin mengukuhkan peran Hizbullah sebagai kekuatan utama di Lebanon.
2023-2024: Konflik di Gaza hingga Serangan Terbaru
Pada Oktober 2023, Hizbullah meluncurkan serangan roket ke Israel untuk mendukung Gaza yang diserang Israel setelah serangan mendadak Hamas.
Di Lebanon, 97 ribu orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka, dengan 566 orang tewas, 133 di antaranya warga sipil.
Sekitar 60 ribu warga Israel dievakuasi dari wilayah perbatasan Israel utara. Hingga kini orang-orang di kedua belah pihak belum kembali ke rumah mereka.
Israel juga telah melakukan serangan dan pembunuhan di Lebanon dan Suriah, menewaskan beberapa pemimpin senior Hizbullah dan Hamas.
Pasukan negara Zionis itu menyerang gedung konsulat Iran di Damaskus pada 1 April 2024. Iran langsung membalas, dan Hizbullah pun meningkatkan serangannya terhadap Israel.
Pada 28 Juli, 12 anak-anak dan remaja Suriah tewas di lapangan sepak bola Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Lagi-lagi, insiden ini memicu eskalasi.
Israel dan Hizbullah membantah bertanggung jawab atas serangan tersebut, namun Israel menyebut tragedi itu sebagai penyebab pembunuhan komandan Hizbullah, Fuad Shukr, di Beirut selatan beberapa hari kemudian.
Pembunuhan Shukr, serta pembunuhan pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, dalam beberapa hari, membuat Lebanon berada dalam keadaan siaga tinggi.
Hizbullah meluncurkan serangan roket pada akhir Agustus sebagai tahap pertama dari tanggapannya terhadap pembunuhan Shukr.
Puncak ketegangan terjadi pada 17 September 2024, ketika ribuan alat komunikasi sederhana jenis pager milik anggota Hizbullah di Lebanon meledak, diikuti ledakan walkie-talkie keesokan harinya.
Insiden demi insiden itu menewaskan sedikitnya 31 orang dan melukai ribuan lainnya. Hizbullah langsung menuduh Israel sebagai dalang di balik serangan ini dan berjanji akan melakukan pembalasan.