TEMPO Interaktif, Mataram - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melaui Tim Galesia Tambora Rinjani (Gatarin) 2011 masih menertibkan kawasan wisata Pulau Gili Trawangan. "Banyak masalah yang harus ditertibkan di pulau wisata tersebut," kata Asisten Tata Praja dan Aparatur Sekretaris Daerah NTB Nasibun, Senin 1 Agustus 2011.
Menurut dia, penertiban dilakukan selama 90 hari yang berlangsung sejak 26 Juli lalu. Tak kurang dari tujuh masalah yang harus segera dituntaskan di Gili Trawangan. Daerah ini telah menjadi ikon pariwisata bahari nasional dan menjadi primadona kunjungan wisatawan mancanegara.
Di antaranya masalah keamanan, kependudukan, hingga masalah pelik lainnya, seperti hak atas tanah serta izin bangunan wisata yang banyak beroperasi di pulau tersebut. Tim diperkuat aparat kepolisian dan TNI yang dilengkapi senjata. Tim datang dengan menumpang kapal patroli milik kepolisian. Tim bahkan mendirikan tenda di sisi utara pulau sebagai base camp.
Wakil Bupati Kabupaten Lombok Utara Najmul Akhyar mengatakan bahwa kegiatan tim bersifat sosialiasi. "Setelah tahap sosialisasi akan dilanjutkan dengan operasi terpadu," ujarnya. Tim juga sekaligus menertibkan penggunaan narkoba, minuman keras, dan premanisme yang kerap mengganggu kenyamanan di pulau tersebut.
Menurut Najmul Akhyar, dari ratusan bangunan yang ada di Pulau Gili Trawangan hanya 20 persen yang memiliki perizinan. Selebihnya merupakan bangunan liar dan tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB Lalu Gita Aryadi mengatakan langkah penertiban yang dilakukan Tim Gatarin 2011 tidak akan mengusik ketenangan para wisatawan. Apalagi saat ini tegolong musim sepi pengunjung. "Jadi, tidak perlu mengkawatirkan mengganggu kunjungan wisatawan,'' ucapnya.
Sementara itu Kepala Desa Gili Indah Moh. Taufik, 37 tahun, menegaskan bahwa langkah penertiban tersebut justru untuk memuluskan usaha sejumlah investor besar yang ingin menguasai bisnis pariwisata di Gili Trawangan. "Di balik penertiban itu sebenarnya ada kepentingan pengusaha yang ingin mendapatkan kembali lahannya," ujar Taufik.
Tercatat sejumlah investor yang telah lama mengincar kawasan wisata tersebut. Di antaranya PT GTI (Gili Trawangan Indah) yang sejak 1992 mendapatkan hak pengelolaan 65 hektare. Ada juga PT WAH (Wahana Wisata Alam Hayati) yang memperoleh hak pengelolaan 13,90 hektare. "Penertiban ini hanya akal-akalan pemerintah demi kepentingan investor besar," tuturnya.
Menurut Taufik, sejak dilakukan penertiban, sekitar 60 persen kamar pondok wisata, termasuk kamar yang disediakan di rumah penduduk, kosong karena ditinggalkan penyewanya.
Taufik meminta pemerintah bertindak adil. Tidak hanya mengutamakan kepentingan investor besar karena penduduk yang sejak awal menjadikan kawasan itu sebagai daerah tujuan wisata juga harus diberi kesempatan berusaha. "Kami siap dan mampu mentaati ketentuan pemerintah asalkan pemerintah juga membela kepentingan kami," ujarnya.
Berdasarkan catatan Tempo, nasib buruk pernah menimpa penduduk Gili Trawangan. Selama tahun 1992 dan 1993, tim penertiban Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merobohkan secara paksa ratusan bungalow milik penduduk. Saat itu Gili Trawangan masih berada dalam wilayah Kabupaten Lombok Barat. Setelah pemekaran, Gili Trawangan masuk wilayah Kabupaten Lombok Utara.
Pulau Gili Trawangan dengan luas 360 hektare memiliki potensi pasir putih dan taman laut berupa karang biru serta ikan hias beraneka macam.
Semula 200 hektare yang memanjang dari utara ke selatan pada bagian timur pulau adalah tanah hak guna usaha (HGU) atas nama PT Generasi Jaya dan PT Rinta masing-masing 100 hektare. Seratus hektare di sebelah barat bagian utara disiapkan untuk masyarakat dan 60 hektare di sebelah barat selatan merupakan bukit.
SUPRIYANTO KHAFID