Petugas kesehatan memeriksa kondisi warga korban banjir bandang di Batu Busuk, Pauh, Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/12/2025). Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO
Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik. Ribuan rumah terendam, akses bantuan terputus, dan banyak keluarga kehilangan orang terdekat, membuat duka yang dalam bagi para penyitas, terutama pada anak-anak.
Meski fokus utama saat ini adalah pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang aman, tekanan psikologis yang dialami para korban tak bisa disepelekan, Moms. Anak-anak melihat, mendengar, dan merasakan ketakutan yang intens. Mereka melewati malam tanpa kepastian, hidup di tengah suara bising evakuasi, serta selalu berjaga terhadap kemungkinan bencana susulan. Di sinilah dampak psikologis pascabencana mulai bermunculan.
Apakah Bisa Menimbulkan PTSD bagi Penyintas, Khususnya Anak?
Sejumlah pengungsi antre mengambil makan di posko bencana banjir, Desa Kuala Cangkoy di Aceh Utara, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
Menurut psikolog klinis dan remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo, M.Psi, Psikolog, anak-anak sekarang sebagian besar masih berada dalam fase shock. Pada fase ini, tubuh dan pikiran mereka sedang bereaksi spontan terhadap peristiwa mengancam yang baru saja terjadi. Inilah sebabnya muncul gejala seperti:
Mudah menangis
Sulit tidur
Cemas berlebihan
Mudah terkejut saat mendengar suara keras
Sulit fokus
Gejala tersebut belum dapat dikategorikan sebagai PTSD. Namun, kondisi ini perlu diawasi karena stres yang tidak tertangani bisa berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma.
Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD adalah kondisi psikologis jangka panjang yang muncul ketika respons stres akut tidak mereda dan justru memburuk dalam hitungan minggu hingga bulan.
"Namun, kewaspadaan diperlukan bila gejalanya bertahan lebih dari satu bulan, seperti flashback berulang, mimpi buruk terus-menerus, reaksi panik histeris saat ada pemicu, kewaspadaan berlebihan, menghindari pembicaraan soal bencana, dan emosi yang tiba-tiba tumpul atau mati rasa." ujar Vera Itabiliana Hadiwidjojo, M.Psi, Psikolog, kepada kumparanMOM, Senin (8/12).
Paparan terus-menerus terhadap bau lumpur, suara keras, atau visual lokasi bencana juga dapat mempertahankan reaksi stres pada anak sehingga risiko PTSD semakin besar. Karena itu, anak-anak idealnya segera dipindahkan ke tempat yang aman, tenang, dan minim pemicu.
Selain itu, jauhkan anak dari hal yang mengingatkan pada bencana. Pada fase ini pendekatan awal yang paling tepat bukanlah terapi intens, melainkan Psychological First Aid (PFA).
"Yang dibutuhkan sekarang bukan terapi formal, tapi Psychological First Aid, yaitu membuat anak merasa aman, terhubung, dan emosinya stabil. Tapi ingat, semua ini baru bisa jalan kalau kebutuhan dasar penyintas terpenuhi dulu," ujar Vera.
Dalam situasi darurat seperti sekarang, keselamatan fisik memang harus menjadi prioritas. Namun, memerhatikan kesehatan mental sejak awal adalah langkah penting agar anak-anak yang selamat hari ini juga bisa tetap bertumbuh sehat secara emosional di masa depan.