“Mengunggis” dan Keunikannya dalam Struktur Leksikal Bahasa Indonesia - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
"Mengunggis" dan Keunikannya dalam Struktur Leksikal Bahasa Indonesia
Dec 26th 2025, 08:00 by Mohamad Jokomono

Remaja putra ini sangat menikmati saat
Remaja putra ini sangat menikmati saat "menggunggis" biji-biji jagung rebus sajian eyang putrinya di desa pada waktu liburan sekolah. (Sumber: Meta AI)

Bertegur sapa dengan banyak kata. Jujur saya katakan, itu terjadi lewat hobi bermain gim tebak kata. Terkadang (tidak selalu), cara ini menjadi salah sumber pemantik gagasan untuk menulis. Saya tidak secara khusus, menyusuri lema-lema dari abjad A hingga Z yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring).

Saya belum mampu melakukannys. Sebab, cara ini membutuhkan ketekunan yang sangat sangat sangat (sengaja tiga kali untuk menunjukkan tataran perbandingan superlatifnya) luar biasa.

Walaupun tidak terlalu membutuhkan energi ketekunan yang khusus, melalui keasyikan saya mengisi waktu senggang dengan gim tebak kata (lebih sering untuk kata yang terdiri atas lima hingga enam huruf), saya secara tidak sengaja (ada intervensi spekulatifnya) telah berhadapan dengan realitas. Bahwa saya, telah tiba pada satu noktah tindakan, yaitu kesempatan mengenali kekayaan kosakata bahasa Indonesia dengan akar kuat dalam tradisi literasi dan dialektologi Nusantara.

Acapkali, lema atau kata dasar yang saya temukan jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari. Kalaupun di sela-selanya ada realisasi pemakaian, biasanya hanya terbatas untuk ragam sastrawi. Atau, kata itu tidak sekadar jarang tetapi sudah menjadi fosil bahasa.

Meskipun demikian, menemukan kata yang sedemikian itu, jujur saya akui, dapat menimbulkan sensasi pengalaman seperti memperoleh permata yang berharga dari lumpur masa silam.

Coba bayangkan, ketika kita bertemu untuk pertama kali dengan kata "rengeh" yang merujuk pada suara ringkik kuda. Atau, kata "gempor" untuk mendeskripsikan keadaan "timpang; pincang; atau hampir tidak bisa berjalan karena sebelah kaki terluka atau sakit". Atau lagi, kata "lengar" yang mewakili kondisi "pening, pusing ketika hendak tidur". Sungguh, semua itu seolah memanggili saya untuk mengenal lebih dekat satu per satu dari mereka.

Kata "Unggis"

Namun kali ini, saya hanya akan membatasi diri untuk menyoroti secara khusus lema atau kata dasar "unggis". Kendati secara fonetis, kata ini terdengar sederhana, bahkan hanya beda satu huruf vokal saja dengan "kompatriot"-nya, yaitu "unggas", ia menyimpan kandungan makna yang spesifik. Teristimewa dalam lingkungan konteks sebagai tindakan fisik dan mempunyai posisi unik dalam struktur leksikal bahasa Indonesia.

Menurut KBBI VI Daring, lema "unggis" dengan sublema "mengunggis" (memakan sedikit demi sedikit) untuk menghisapnya seperti makan irisan batang tebu yang sudah terkelupas kulitnya dan terpotong kecil. Bisa pula dengan memakan sedikit demi sedikit butir-butir jagung rebus yang menempel di bonggolnya. Bisa juga untuk menyebut tindakan kelinci memakan sedikit demi sedikit wortel untuk camilannya (makanan pokok kelinci adalah jerami, terutama jerami rumput timothy).

Seekor kelinci sedang
Seekor kelinci sedang "mengunggis" sebatang wortel yang masih segar. (Sumber: Meta AI)

Mengacu pada data di KBBI VI Daring, terdapat padanan kata "mengunggis", yaitu sublema "mengerip" (dari lema "kerip"), sublema "mengerumit" (dari lema "kerumit"), dan sublema "mengerikiti" (dari lema "kerikit").

Semua kata tersebut pada esensinya merupakan verba atau kata kerja yang menunjukkan adanya aktivitas memakan sesuatu sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan tapi pasti. Subjek pelaku bisa manusia, bisa juga binatang.

Patut dan penting untuk membedakan kandungan makna yang termaktub dalam sublema "mengunggis" beserta tiga kawannya, yakni "mengerip", "mengerumit", dan "mengerikiti" di satu pihak. Dengan sublema "menggigit" (dari lema "gigit") dan dua kawannya, ialah sublema "mengunyah" (dari lema "kunyah") dan "mengerat" (dari lema "kerat").

Sublema "mengunggis" dan kawan-kawan merujuk pada gerakan yang halus, berlangsung secara berulang dan berkelanjutan, dan gigi depan dominan dalam realisasi pelaksanaan tindakan. Kegiatan memakan dengan cara seperti ini dapat kita bayangkan terjadi ketika seseorang memakan jagung rebus atau jagung bakar. Atau, bayangkan ada seekor tupai yang tengah memakan wortel atau daging kelapa.

Tingkat efek destruktif dari sublema "menggigit" tampak jauh lebih terasa kuat. Sebab, ia melibatkan aktivitas motorik dari makhluk hidup yang mempunyai rahang dan gigi. Di dalam kegiatan ada libatan tekanan, cengkeraman, dan penetrasi. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini.

"Petani itu begitu lapar setelah seharian membanting tulang di ladang. Dia begitu terburu menggigit roti gandum keras bekalnya. Tak peduli dengan teksturnya yang agak alot". Ada dorongan kebutuhan mendesak, sehingga "mengigit" menyiratkan kekuatan dan kepraktisan pemenuhan energi dengan segera.

Sementara itu, sublema "mengunyah" yang berpadanan dengan "memamah" (dari lema "mamah"), mengacu pada tindakan menghancurkan atau melumatkan makanan dengan gigi dalam proses yang berlangsung di dalam mulut sebelum menelannya. Berikut kutipan yang juga beradonkan narasi.

"Pandangan pria tua itu terarah pada senja memerah yang menyemburat di horizon barat. Dengan tenang dia mengunyah (memamah) sepotong ketela goreng yang masih hangat. Di sampingnya, sang istri tercinta dengan senyum di bibir, tengah menyeduh segelas teh tubruk kesukaannya".

Adapun sublema "mengerat" memang boleh terbilang sebagai kerabat dekat "mengunggis", namun lebih lazim yang berada sebagai subjek pelaku adalah hewan pengerat (Rodentia) dan cenderung menimbulkan efek yang lebih merusak. Misalnya dapat disimak dalam kutipan ini.

"Tikus biasanya mengerat berbagai macam bahan lunak hingga cukup keras. Sebagai hewan omnivor, pemakan segala, dan sangat oportunis, mulai dari biji-bijian, buah, sayuran, serangga, daging (bahkan bangkai), hingga sisa makanan manusia dan hewan peliharaannya. Tikus juga mengerat kayu, plastik, kabel listrik, kertas, dan kain. Bukan untuk memakannya, melainkan bertujuan agar giginya tetap pendek dan tajam".

Pada substansinya, di dalam sublema "mengunggis", secara semantik terikut ke dalam medan makna suatu aktivitas oral. Keunikannya terlokasi pada intensitas dan volume objek. Ia menyiratkan ketekunan dan kesabaran. Sama sekali bukan keinginan untuk makan secara tergesa dan dalam jumlah banyak sekaligus dalam tiap tahapan prosesnya.

Dalam analisis wacana, pemanfaatan "mengunggis" mempersembahkan efek visual yang tegas kepada pembaca, tentang cara subjek pelaku melakukan interaksi dengan makanannya. Kesan yang hadir adalah pengikisan secara perlahan tapi pasti.

Sisi Makna Konotasi

Seorang dosen yang mengampu mata kuliah Telaah Semantik untuk mahasiswa-mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia sebuah perguruan tinggi, menegaskan, bahwa ada sisi konotasi dari sublema
Seorang dosen yang mengampu mata kuliah Telaah Semantik untuk mahasiswa-mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia sebuah perguruan tinggi, menegaskan, bahwa ada sisi konotasi dari sublema "mengunggis". (Sumber: Gemini AI)

Selain sisi makna denotasi sublema "mengunggis" sebagaimana tertuang pada uraian di atas, terdapat pula sisi makna konotasinya. Secara denotatif, sublema ini merujuk pada tindakan mekanis yang memfungsikan secara optimal gigi depan untuk secara repetitif melepaskan menjadi bagian-bagian kecil bahan makanan yang biasanya relatif keras atau alot.

Akan tetapi, tatkala pembahasan kata "mengunggis" kita geser ke ranah konotatif, ada makna tambahan yang hadir dari asosiasi perasaan atau nilai rasa tertentu, sehingga mendudah kedalaman yang jauh lebih kaya daripada sempadan kegiatan fisik oral memakan suatu makanan sedikit demi sedikit.

Dan, memang untuk memahami secara komprehensif kata "mengunggis" ini membutuhkan ketelitian kita dalam mencermati, bagaimana suatu tindakan fisik dalam tarikan makna denotatifnya. Kemudian mengalami transformasi simbolis atau emosional dalam tarikan makna konotatifnya ketika mencecapi komunikasi sebagai bagian dari masyarakat penutur bahasa Indonesia.

Berikut saya hadirkan sebagian contoh sublema "mengunggis" di ranah makna konotatif. Sangat boleh jadi, apa yang dapat saya ketengahkan dalam tulisan ini tidak merepresentasikan semua kemungkinan makna konotatifnya.

Pertama, konotasi mengenai sesuatu yang secara perlahan menggerogoti waktu produktif seseorang untuk kegiatan yang seharusnya bermanfaat. Seperti tampak pada frasa "mengunggis waktu" dalam kalimat: "Kekhawatiran terus-menerus terhadap masa depan, tanpa aksi tindakan nyata, hanya akan mengunggis waktu berharga yang seharusnya untuk membangun fondasi yang lebih kuat di masa kini".

Kedua, konotasi mengenai suatu perjuangan seseorang dengan kesabaran dan keteguhan hatinya secara perlahan tetapi intens dalam menghadapi persoalan pelik yang seolah terus mengadang l langkah kehidupan sebagaimana terepresentasikan dalam frasa "mengunggis nasib". Contoh kalimat, "Dia terus mengunggis nasib buruknya dengan ketekunan dan doa, walaupun badai cobaan silih berganti memorak-porandakan hidupnya".

Ketiga, konotasi tentang kehancuran jiwa secara perlahan (erosi eksistensial). Untuk mendeskripsikan rasa bersalah yang berbuah penyesalan secara berkepanjangan. Dan, ini secara perlahan terjadi proses pengeroposan hati dengan rasa sakit tiada terperikan berbilang tahun lewat frasa "mengunggis jiwa".

Sebagaimana termaktub dalam kutipan, "Rasa bersalah akibat keputusannya bertahun lalu mengunggis jiwanya setiap malam. Dia seolah menjadi tawanan yang tak berdaya dari kenangan pahit masa silamnya".

Keempat, konotasi tentang kondisi mental seseorang yang tidak tenang, ragu, tidak berdaya dalam menghadapi situasi besar. Sebagai kompensasi ketidakmampuan itu, dia melampiaskan lewat sejumlah tindakan kecil yang repetitif. Frasa "mengunggis ujung jari" mewadahi makna konotatif tersebut.

Ketika berhadapan dengan situasi yang sarat tekanan, ada sementara orang yang mempunyai kebiasaan kompulsif, melampiaskannya ke tindakan kecil untuk meredakan ketegangan dengan memainkan tangan mereka, antara lain dengan ujung jarinya. Penggunaan sublema "mengunggis' menolong pembaca mengasosiasikan suara kecil atau gerakan ritmis gigi ketika bertemu ujung jari.

"Adi tak kuasa meredakan ketidaktenangan hatinya saat menunggu hasil ujian akhir semester di website universitas tempatnya belajar. Ini pengalaman pertama baginya. Di rumahnya, Adi berdiri mematung sambil mengunggis ujung jarinya hingga kulit di sekitar kukunya memerah dan terasa perih".

Kelima, konotasi tentang hubungan sosial yang parasitis. Mendeskripsikan tindakan seseorang yang secara perlahan memanfaatkan orang lain dengan permintaan kecil atau manipulasi halus yang lama-kelamaan dapat mengikis habis sumber daya, bisa materi bisa pula emosi. Penggunaan "mengunggis" untuk menekankan pada proses penggerogotan itu terjadi secara berdikit-dikit namun persisten, terus-menerus.

"Persahabatan mereka kini menunjukkan potret buram kemanusiaan. Sebab, salah satu pihak berlaku laksana benalu yang terus mengunggis tabungan dan aset rekannya demi memenuhi gaya hidup mewah yang tidak realistis. Tanpa pernah mau bekerja keras dengan tangan dan pikiran sendiri".

Keenam, konotasi mengorek luka lama atau sekadar mencari-cari masalah. Misalnya dalam kalimat, "Tiap kali ada pertemuan keluarga, dia senantiasa mengunggis masalah warisan yang belum kunjung selesai. Hal itu menimbulkan suasana hubungan antaranggota keluarga iti menjadi kurang menyenangkan".

Ketujuh, konotasi untuk mencari tahu atau membongkar suatu kasus secara mendalam hingga ke akar-akar persoalannya. Contoh dalam kalimat, "Para jurnalis investigasi sedang berusaha mengunggis pelbagai data korupsi pejabat itu yang kini masih tersembunyi dengan begitu rapat".

Pendek kata, "mengunggis" merupakan sublema yang begitu kaya akan makna konotatif dan kebanyakan cenderung mengusung nilai rasa negatif. Bertalian erat dengan tindakan mengganggu, menyakitkan secara emosional, atau merugikan pihak lain.

Pemahaman yang cermat terhadap sublema "mengunggis" menjadi sangat urgen, teristimewa untuk menuangkan gagasan melalui karya sastra baik prosa maupun puisi. Diksi dengan muatan konotasi dengan presisi dan rincian maknanya berpotensi menggugah emosi dan mengkreasikan kedalaman ekspresi.

Di tubuh karya sastra terutama genre prosa yang mendamba detail, penggunaan diksi sublema "mengunggis" bertujuan untuk membangun suasana sunyi. Suara "unggis" yang serupa bunyian kersik halus yang acapkali menerima manfaat dari penulis untuk mendeskripsikan kehadiran hama di tengah malam. Atau, untuk mendeskripsikan karakter yang tengah tercekam kegelisahan sehingga secara tidak sadar menggigit ujung jari atau kuku serta benda lain di sekitarnya.

Catatan Menarik

Ilustrasi seorang mahasiswi sedang mencari referensi di perpustakaan pribadi ayahnya untuk menyusun makalah tugas kuliahnya mengenai catatan menarik ihwal kata
Ilustrasi seorang mahasiswi sedang mencari referensi di perpustakaan pribadi ayahnya untuk menyusun makalah tugas kuliahnya mengenai catatan menarik ihwal kata "mengunggis". (Sumber: Gemini AI)

Catatan menarik untuk sublema "mengunggis". Kendati status keberadaannya baku karena terdapat secara resmi di KBBI VI Daring, dalam komunikasi modern dewasa ini boleh terkatakan relatif jarang muncul dalam aktivitas berbahasa sehari-hari. Ia telah tergeser kedudukannya dengan "menggigit". Dalam taut pengertian, frekuensi pemunculannya lebih tinggi daripada "mengunggis".

Dalam tautan faktor psikolinguistik dan kemudahan akses (proses mental), kata yang lebih sering mendapatkan realisasi penggunaan, biasanya lebih mudah terakses dalam leksikon mental (gudang kata di otak seseorang). Dari perspektif kognitif, aksesibilitas yang lebih mudah akan menghasilkan pemakaian yang lebih cepat dan sering.

Terdapat lingkaran umpan balik yang positif. Kian sering sebuah kata berada di dalam ranah pemakaian ketika seseorang berbahasa, kian menegas kuat representasi mentalnya, dan kian mudah kata itu muncul kembali manakala ia berada dalam rengkuh kebutuhan berkomunikasi.

Kelekatan suatu kata di leksikon mental seseorang, pun terelasi dengan usia pemerolehan bahasa. Kata-kata yang sejak dini berada dalam proses pembelajaran, cenderung tinggi frekuensi pemunculannya.

Kata "mengunggis" bisa jadi memang bukan yang sejak dini kita pelajari. Bahkan, mungkin boleh terkriteriakan sebagai kata yang baru saja kita mendengarnya.

Meskipun demikian, bukan hal mustahil bagi kita untuk menyimpannya di leksikon mental. Tentu saja risiko tip-of-the-tongue (TOT), ketidakmampuan memanggil kata di leksikon mental kita, bisa saja datang menghampiri.

Pada intinya, pemanfaatan "mengunggis" dalam tautan konteksnya secara tepat dapat memperkaya perbendaharaan diksi seseorang. Di samping itu, yang bersangkutan dapat memiliki keleluasaan yang seluas-luasnya memeras-meras kata yang paling dekat dengan ancangan presisi makna yang menjadi arah kehendaknya.

Oleh karena itu, bila seseorang ingin mendeskripsikan kegiatan makan sesuatu sedikit demi sedikit, maka seseorang tersebut akan stay pada keseyogiaan tiba pada pilihan opsi "mengunggis.

Catatan lainnya yang menarik juga, "mengunggis" konon menjadi salah satu "kata cantik" yang menjadi diksi favorit di kalangan penyair dan pengarang fiksi di Tanah Air. Hal itu bisa terjadi karena daya kemampuannya menghadirkan citraan (imagery) yang begitu kuat di rengkuh imajinasi pembaca.

Kata "mengunggis" seolah dapat memunculkan suatu tiruan bunyi implisit (onomatopoeia implisit) dari gesekan gigi depan dan makanan agak keras (seperti wortel mentah) yang mengalami proses pengerikitan. Dan, menimbulkan efek sensorik yang lebih tegas dalam penerimaan imajinatif pembaca berbanding dengan verba sejenis lainnya.

Pada akhirnya, manakala kita memahami sisi konotatif dari "mengunggis", itu berarti juga kita menyediakan diri pula untuk memahami, bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi. Melainkan lebih dari itu, adalah juga cermin dari bagaimana manusia mengarungi samudra rasa untuk menjalani proses, mengikuti waktu, dan menanti hari akhir yang pasti.

Kata "mengunggis" ini menawarkan perspektif kepada kita untuk memberikan perhatian terhadap hal-hal kecil. Kendatipun kelihatan tidak berarti, akan tetapi mempunyai kekuatan untuk mengubah atau bahkan menghabiskan segala sesuatu secara keseluruhan. Terlebih tatkala ada respons pembiaran tanpa antisipasi apa pun yang seharusnya menjadi pusaka anutan.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url