Paul Smith's College perbanyak cetak lulusan yang tak tergantikan AI. Foto: Paul Smith's College
Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) berkembang pesat, baik dari sisi kemampuan maupun penggunaannya. Di balik kemajuan itu, ada kekhawatiran besar tentang apakah teknologi ini akan memangkas jutaan pekerjaan manusia, terutama di Amerika Serikat?
Kekhawatiran itu paling terasa di kalangan anak muda. Sebuah survei dari Glassdoor mengungkapkan, 70 persen generasi Z ( Gen Z) merasa AI membuat mereka ragu akan keamanan karir masa depannya. Dalam survei lain, 65 persen responden mengatakan gelar sarjana pun tak lagi menjamin perlindungan dari gelombang otomatisasi berbasis AI.
Pemerintah Amerika Serikat tampak tidak gentar. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, meminta masyarakat untuk tidak takut pada AI, melainkan belajar beradaptasi.
"Pelajari AI. Karena ketika kita memiliki keterampilan dan kemampuan menggunakan AI, maka akan membuatmu dibutuhkan di dunia kerja," ujar Bessent kepada CNBC beberapa waktu lalu.
Di tengah kekhawatiran itu, sebuah universitas kecil di Pegunungan Adirondack, New York, mengambil langkah berbeda. Paul Smith's College justru fokus menyiapkan mahasiswanya agar tahan terhadap dampak AI, dengan kurikulum berbasis profesi nyata yang sulit digantikan mesin.
Musim gugur ini, kampus tersebut mencatat peningkatan 30 persen pendaftar baru. Menurut Kathy Bonavist, Wakil Presiden Bidang Pengembangan dan Penerimaan Mahasiswa, Paul Smith's College, lonjakan itu terjadi karena banyak calon mahasiswa mencari jalur karir yang lebih tahan AI, seperti kehutanan, ilmu lingkungan, pengelolaan satwa liar, hingga perhotelan dan bisnis terapan. Semua bidang itu menuntut kemampuan memecahkan masalah di dunia nyata dan sentuhan manusia yang tak tergantikan.
Ilustrasi berada di tengah hutan Foto: Shutter StockPendidikan kami didasarkan pada tangan yang kasar dan pikiran yang tajam. Kami menyiapkan lulusan untuk bekerja langsung di lapangan, di tempat tak terduga, dan membutuhkan penilaian manusia." - Kathy Bonavist, Wakil Presiden Bidang Pengembangan dan Penerimaan Mahasiswa, Paul Smith's College -
Dikelilingi enam juta hektare hutan liar, Paul Smith's College sejak lama memang dikenal mengajarkan profesi berbasis lahan dan keahlian lapangan, bukan pekerjaan kantoran berbasis teknologi tinggi.
"Paul Smith's sudah berdiri sejak 1946, dan bisa dibilang sejak awal kami sudah 'tahan AI'," ujar Bonavist sebagaimana dikutip Newsweek. "Sekarang, kami hanya memperkuat posisi itu."
Salah satu mahasiswa bernama Gavin Tufo, yang mengambil jurusan Arboriculture and Landscape Management, merasa pendekatan kampus ini memberinya pengalaman yang tak ternilai.
"Saya belajar banyak hal yang dulu bahkan tak pernah saya bayangkan. Dan siapa sih yang nggak mau belajar sambil memanjat pohon?" katanya.
Sementara itu, mahasiswa jurusan Manajemen Hutan Ekologis, Liam Carroll, awalnya memilih Paul Smith's College karena kecintaannya pada alam, bukan karena takut pada AI. Namun kini, melihat seberapa cepat teknologi berkembang, ia justru merasa lebih tenang.
"Saya lega, karena pekerjaan yang bisa saya tekuni nanti termasuk yang paling sulit digantikan AI," katanya. "Apa pun yang dapat dilakukan AI di masa depan, dunia akan selalu butuh orang yang berpendidikan di bidangnya, benar-benar turun ke lapangan, melakukan riset, atau menebang pohon secara langsung."
Ilustrasi menggunakan layanan kecerdasan buatan (AI). Foto: Summit Art Creations/Shutterstock
Bonavist menegaskan bahwa kampusnya bukan anti-AI. Mereka sadar teknologi ini juga mulai masuk ke sektor-sektor lapangan seperti kehutanan dan pertanian. Namun, pendekatan mereka adalah berdamai dengan AI, sambil memastikan manusia tetap berperan penting.
"Kami tidak menutup mata terhadap peluang besar dari AI," ujarnya. "Tapi kami tetap berpegang pada fakta bahwa pekerjaan selalu punya aspek teknis dan sentuhan manusia."
Mahasiswa Paul Smith's College, katanya, ditempa bukan hanya di kelas, tapi juga di hutan, dapur, dan bengkel kerja.
"Mereka tidak hanya mempelajari teori. Mereka benar-benar terjun langsung ke lapangan. Datang ke kampus jam lima pagi untuk mulai bekerja di dapur. Mereka ke hutan, belajar mengelolanya dan mengoperasikan alat berat," ujar Bonavist.
Tufo menambahkan, bahkan di industri kehutanan, AI tetap tak bisa menggantikan manusia.
"AI masih punya tempat di industri kehutanan, ada di mesin maupun di komputer. Tapi AI tidak memiliki mata dan pikiran seperti manusia. Tidak ada satu pun pohon yang sama, tidak ada kondisi tanah atau lingkungan yang identik. Ada banyak faktor yang hanya bisa dipahami lewat pengalaman manusia, dan AI tidak bisa memahami hal itu begitu saja."
Fenomena Paul Smith's College mencerminkan tren yang lebih luas. Saat AI mengancam semakin banyak pekerjaan kantoran, generasi muda mulai berpikir ulang soal pilihan karier. Sebuah survei dari Jobber menunjukkan 77 persen Gen Z kini menganggap penting memilih profesi yang sulit di-automasi. Banyak di antara mereka yang lebih percaya masa depan ada di bidang seperti pertukangan ketimbang di dunia pengembangan perangkat lunak atau analisis data.