Airlangga bukan hanya seorang raja, tetapi juga arsitek peradaban di lembah Brantas. Ia memerintah Kahuripan (1019-1042), kerajaan yang menjadi cikal bakal struktur politik Jawa Timur. Namun menjelang akhir hayatkan, Airlangga dihadapkan pada dilema klasik, bagaimana menjaga stabilitas setelah Ia tiada. Untuk menghindari perang saudara, Ia memutuskan membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Panjalu (Kadiri) dan Jenggala (Kahuripan).
Keputusan ini tidak tertulis dalam satu prasasti tunggal, tetapi dicatat dalam sejumlah sumber sejarah. Prasasti Wurare (1289 M) menyebut pembagian Jawa menjadi dua wilayah, Panjalu dan Jenggala. Prasasti Hantang (1135 M) dan Prasasti Banjaran (1052 M) kemudian mengabadikan kemenangan Panjalu atas Jenggala. Sementara batas antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala disebutkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M) adalah Sungai Brantas dan Gunung Kawi. Rangkaian catatan itu menunjukkan bahwa pembagian Airlangga memang terjadi, dan bahwa Panjalu akhirnya muncul sebagai kekuatan pemersatu di bawah nama baru, Kediri.
Airlangga sendiri turun tahta dan memilih jalan spiritual, mejadi pertapa bernama Resi Gentayu. Ia menanggalkan mahkota duniawi, tetapi meninggalkan warisan mahkota sejarah; dua kerajaan yang kelak membentuk fondasi peradaban Jawa Timur. Brantas pun menjadi saksi bahwa dari sungai yang sama, lahir dua arus kekuasaan yang kelak kembali menyatu.
Sungai Brantas tidak memisahkan, melainkan menguji siapa yang mampu mengalir tanpa memutus sumbernya.Museum Airlangga di Kota Kediri. Di sinilah sejarah tidak sekadar dipajang, tetapi dihidupkan kembali sebagai sumber inspirasi bagi peradaban Kediri masa kini. Foto: kemenparekraf.go.id
Kemenangan Panjalu
Setelah pembagian, Panjalu berpusat di Daha (Kediri), sementara Jenggala di Kahuripan. Kedua kerajaan hidup berdampingan, namun bayang-bayang konflik tidak bisa dihindari. Dalam prasasti dan sastra, Jenggala digambarkan sebagai kerajaan maritim dengan pelabuhan penting di delta Brantas. Sedangkan Panjalu lebih agraris, berpusat pada kemakmuran daratan dan pengelolaan sungai.
Pada masa Jayabaya (1135-1157 M), Panjalu mencapai puncak kejayaannya; ditandai dengan perluasan wilayah, kemajuan sastra, dan kemakmuran ekonomi. Prasasti Hantang memuat kalimat "Panjalu Jayati" (Panjalu Menang), yang menandai berakhirnya dominasi Jenggala. Kemenangan itu bukan sekadar penaklukan politik, tetapi juga penyatuan kembali warisan Airlangga. Panjalu menjadi Kediri, melanjutkan warisan Kahuripan dengan bentuk baru yang lebih matang.
Di bawah Panjalu, kehidupan ekonomi berkembang pesat. Sungai Brantas menjadi jalur utama perdagangan beras, emas, dan hasil bumi menuju pesisir. Sementara itu, sastra Jawa kuno mencapai masa keemasan. Lahir Kakawin Bharatayuddha, Smara Dahana, dan Hariwangsa dari istana Daha. Di sinilah konsep raja ideal (cakravartin), berakar kuat dalam budaya politik Jawa.
Panjalu dan Transformasi Menjadi Kediri
Nama Panjalu secara perlahan bertransformasi menjadi Kadiri atau Kediri. Proses ini bukan sekadar pergantian nama geografis, tetapi evolusi makna. Panjalu melambangkan idealisme, cita-cita tentang keseimbangan dan penyatuan. Sedangkan Kediri adalah realisasi konkret dari cita-cita itu. Kerajaan yang mapan, berdaulat, dan stabil.
Transformasi ini tampak dari beragam prasasti dan karya sastra yang lahir di era Kediri. Prasasti Jaring mencatat sistem pajak dan perdagangan, menunjukkan birokrasi yang kompleks dan tertata. Sementara dalam Kakawin Bharatayuddha, nilai-nilai kepemimpinan, kesetiaan, dan pengabdian kepada dharma diolah menjadi ideologi kenegaraan.
Kediri menjadi mercusuar kebudayaan di Jawa Timur. Dari Daha, gelombang peradaban menyebar hingga ke barat dan timur Nusantara. Nilai-nilai Panjalu tetap hidup dalam semangat Kediri, bahwa kekuasaan sejati bukan sekadar menguasai wilayah, tetapi menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Kediri mewarisi arus Brantas sebagai simbol keterhubungan. Seperti air yang selalu menemukan jalan, peradaban Kediri mengalir melintasi masa, menyatukan masa lalu dan masa depan.
Dari Panjalu ke Kediri, dari cita menjadi kenyataan. Sejarah adalah aliran yang tak pernah berhenti menuju samudra makna.
Dari Kediri ke Singhasari
Candi Singosari di Kabupaten Malang. Candi ini menjadi simbol kejayaan masa transisi antara Kediri dan Majapahit, menandai bab penting dalam perjalanan peradaban Jawa Timur yang berakar pada spiritualitas dan kebijaksanaan Nusantara. Foto: Disbudpar Prov. Jatim. incar.jatimprov.go.id.
Keagungan Kediri pada akhirnya menghadapi dinamika baru. Ketika abad ke-13 tiba, muncul kekuatan muda dari timur; Tumapel yang kelak dikenal sebagai Singhasari. Kisah Ken Arok dan Tunggul Ametung bukan hanya legenda politik, tetapi transisi sosial. Mengubah struktur bangsawan lama menuju tatanan baru yang lebih terbuka.
Penaklukan Kediri oleh Ken Arok sekitar tahun 1222 menandai berakhirnya masa klasik Panjalu (Kediri), namun bukan kehancuran total. Banyak pejabat dan budayawan Kediri kemudian berperan dalam pemerintahan Singhasari. Warisan Panjalu tetap mengalir di sana; konsep pemerintahan dharmais, penghormatan pada sungai, serta kesadaran akan keterhubungan sejarah.
Singhasari tidak berdiri di atas kehancuran Kediri, melainkan di atas warisannya. Dengan demikian, Kediri adalah jembatan yang menyatukan masa Airlangga dengan zaman Majapahit. Dari Brantas, lahir garis panjang peradaban Jawa Timur.
Kediri sebagai Titik Temu Sejarah
Kediri bukan sekadar lokasi geografis, ia adalah titik temu sejarah. Dalam dirinya bertemu arus dari tiga masa. Kahuripan yang membangun, Panjalu yang menyatukan, dan Kediri yang melanjutkan. Ketiganya terhubung oleh satu sungai, satu jiwa, satu peradaban.
Di sini pula kita menemukan pelajaran penting. Sejarah bukan tentang siapa yang menang, tetapi siapa yang menjaga keberlanjutan. Panjalu tidak menghapus Jenggala, ia menyerapnya menjadi bagian dari harmoni yang lebih besar. Begitu pula Kediri, ia tidak meniadakan Kahuripan, melainkan melanjutkan warisan Airlangga dengan bentuk baru.
Sejarah Kediri adalah sejarah penyatuan, bukan pemisahan. Ia mengajarkan bahwa kemakmuran lahir dari keseimbangan; antara daratan dan sungai, ekonomi dan budaya, kekuasaan dan kebijaksanaan, masa lalu dan masa depan.
Kediri adalah titik temu. Tempat di mana sejarah tidak pecah, melainkan berpadu menjadi arus yang lebih besar.
Panjalu: Ruh Kediri Masa Kini
Kerajaan Panjalu adalah cermin tentang bagaimana kekuasaan dapat berakar pada keseimbangan bukan pada dominasi. Ia lahir dari kebijakan Airlangga untuk menghindari pertikaian. Ini menunjukkan kedewasaan politik dan kearifan spiritual.
Dalam Panjalu, kita melihat gambaran tentang tatanan yang berusaha menyatukan daratan dan sungai, ekonomi dan budaya, kekuasaan dan kebijaksanaan. Ia bukan kerajaan yang hanya menaklukkan wilayah, melainkan yang menata kehidupan. Mengalir seperti Brantas, memberi kehidupan bagi sawah, pasar, dan sastra. Refleksi atas Panjalu adalah ajakan untuk memahami bahwa peradaban sejati tidak dibangun di atas kemenangan, melainkan di atas keharmonisan antara manusia dan nilai-nilai yang dijaganya.
Kediri masa kini sejatinya adalah bayangan panjang dari ruh Panjalu yang masih berdenyut di sepanjang Brantas. Seperti Panjalu yang dulu tumbuh karena keseimbangan antara ekonomi dan budaya, Kediri saat ini pun bergerak dengan ritme serupa. Dari kejayaan industri gula dan tembakau pada abad ke-19 yang menjadikan Kediri salah satu pusat ekonomi kolonial di Jawa Timur, hingga lahirnya berbagai pusat pendidikan, pesantren, dan perguruan tinggi yang menanamkan nilai pengetahuan dan moralitas.
Kini, simbol-simbol modern seperti Taman Brantas, Monumen Simpang Lima Gumul, Bandara Dhoho, serta geliat ekonomi kreatif menunjukkan bahwa Kediri bukan hanya menjaga sejarahnya, tetapi juga mengolahnya menjadi kekuatan baru. Kota ini menjadi simpul antara masa lalu dan masa depan, antara Panjalu yang membangun dan Kediri yang melanjutkan.
Maka, bila ada mitos yang menyebutkan Kediri sebagai "kota lengser", sejarah dan kenyataan justru membantahnya. Dari Panjalu hingga Kediri, dan kini Kediri yang modern, kota ini selalu bangkit dalam setiap babak sejarahnya. Ia tidak pernah tenggelam, hanya bertransformasi.
Sungai Brantas yang mengalir di tengah kota bukan tanda pemisah, melainkan pengingat bahwa kehidupan selalu bergerak, membawa nilai-nilai lama menuju bentuk baru. Kediri bukan kota yang membuat pemimpin lengser, tetapi kota yang menguji apakah kebijakannya sanggup selaras dengan arus peradaban. Seperi Panjalu dulu, yang memilih keharmonisan daripada perebutan.
Kediri adalah kota yang terus menulis dirinya sendiri. Dari air yang mengalir, dari tanah yang menyuburkan, dari jiwa yang tidak pernah berhenti belajar.
Ruh Panjalu masih berdenyut di Kediri. Dalam harmoni di tengah perbedaan, dalam spiritualitas di antara kemajuan, dalam kebijaksanaan di lingkaran kekuasaan.
Menyulam Peradaban Kediri
Apa yang dilakukan Airlangga lebih dari sekadar mendirikan kerajaan. Ia menanam benih peradaban yang berakar pada keseimbangan. Dalam masa penuh gejolak, Airlangga memilih jalan damai, untuk menjaga tidak ada pertumpahan darah. Ia memahami bahwa kekuasaan sejati bukan tentang siapa yang berkuasa paling lama, melainkan siapa yang paling mampu menegakkan harmoni di tengah perbedaan. Dari pandangan itulah lahir Panjalu, sebuah manifestasi dari cita-cita Airlangga tentang pemerintahan yang adil, stabil, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Panjalu kemudian menjadi wujud matang dari visi itu. Di tangan raja-raja Panjalu, tatanan sosial dan spiritual dianyam menjadi satu ikatan. Sungai Brantas bukan hanya sebagai jalur ekonomi, melainkan poros kehidupan yang menyatukan manusia dengan alam dan budaya. Panjalu tidak membangun tembok kekuasaan, tetapi menegakkan pilar peradaban. Tata kelola pemerintahan yang tertib, kehidupan sastra yang subur, dan spiritualitas yang menyejukkan.
Dari Panjalu lahir Kediri, yang membawa tatanan ke tahap yang lebih tinggi. Menjadikan kemakmuran dan kebijaksanaan sebagai dua sisi mata uang peradaban.
Dan Kediri hari ini, dalam wujud modern sejatinya masih meneruskan benang tenun yang sama. Di balik industri, teknologi, dan pembangunan fisik, tersimpan nilai lama yang terus hidup; etos kerja, keselarasan sosial, dan penghormatan pada pengetahuan.
Taman Brantas bukan sekadar ruang sosial, tetapi wujud keselarasan manusia dan alam. Monumen Simpang Lima Gumul berdiri bukan hanya sebagai simbol kemajuan, tetapi juga sebagai lambang keterhubungan antara masa silam dan masa kini. Bandara Dhoho membuka langit Kediri ke dunia, sebagaimana dulu Brantas menghubungkan Panjalu dengan pesisir Nusantara. Pesantren dan perguruan tinggi menjadi penjaga nilai-nilai luhur yang menuntun arah moral kota ini di tengah derasnya perubahan.
Bandara Dhoho Kediri. Berdiri di tanah sejarah Panjalu, bandara ini menjadi jembatan antara masa lalu yang berakar dan masa depan yang terbuka. Foto: djkn.kemenkeu.go.id.
Dari Airlangga ke Panjalu, dari Panjalu ke Kediri, kita melihat satu pola sejarah yang tak terputus. Peradaban ini tumbuh bukan dari perebutan kekuasaan, melainkan dari kemampuan menjaga keseimbangan. Dan mungkin di situlah letak kekuatan Kediri yang sejati. Kediri tidak pernah berhenti menyulam masa lalunya menjadi masa depan. Setiap jembatan, setiap pasar, setiap ruang belajar, adalah helai benang baru dalam kain panjang peradaban yang ditenun sejak seribu tahun lalu.
Seperti Brantas, Kediri tidak berhenti di satu muara. Ia terus mengalir, membawa warisan Panjalu dan harapan masa depan Nusantara.