Kondisi perempuan di Jalur Gaza di tengah konflik Israel-Hamas. Foto: Raneen Sawafta/ REUTERS
Meski dunia terus menggaungkan nilai perdamaian dan kebebasan, kenyataannya masih banyak perempuan yang hidup jauh dari dua kata tersebut. Sebanyak 676 juta perempuan tercatat tinggal dalam radius 50 kilometer dari wilayah konflik mematikan pada tahun 2024.
Data ini diungkapkan dalam laporan tahunan tahunan Sekretaris Jenderal PBB tentang Women, Peace and Security (WPS) yang dirilis pada Senin (20/10). Jumlah tersebut menjadi yang tertinggi sejak 1990-an.
Perempuan yang hidup di zona konflik setiap hari harus berjuang menghadapi ancaman kekerasan fisik, kekerasan seksual, kelaparan, hingga risiko kehilangan nyawa.
Menurut Annual Report of the UN Secretary-General on Conflict-Related Sexual Violence, terdapat 4.600 kasus kekerasan seksual terkait konflik, meningkat hingga 87 persen antara 2022–2024.
Para perempuan Gaza yang tinggal di kamp pengungsi. Foto: SAID KHATIB / AFP
Krisis ini juga memaksa 123,2 juta orang mengungsi secara paksa, berdasarkan laporan UNHCR & UNFPA Joint Brief on Women and Girls in Forced Displacement. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak yang harus meninggalkan tanah kelahirannya demi bertahan hidup.
Akses terhadap pendidikan juga semakin terbatas, terutama bagi perempuan di Afghanistan. Empat tahun setelah Taliban kembali berkuasa, delapan dari sepuluh perempuan muda di negara tersebut tidak memiliki akses terhadap pendidikan, pekerjaan, maupun pelatihan, menurut UNESCO Global Education Monitoring Report 2024 dan UNICEF Education in Emergencies Data 2024.
"Perempuan dan anak perempuan dibunuh dalam jumlah yang sangat besar, disingkirkan dari meja perundingan, dan dibiarkan tanpa perlindungan seiring meningkatnya jumlah perang," ujar Sima Bahous, Direktur Eksekutif UN Women.
Perempuan pengungsi Sudan menunggu jatah makanan mereka selama distribusi makanan di samping truk Program Pangan Dunia (WFP) di Bentiu pada 7 Februari 2023. Foto: Simon Maina / AFP
Ia menegaskan kembali bahwa, "Perempuan tidak membutuhkan lebih banyak janji, mereka membutuhkan kekuasaan, perlindungan, dan partisipasi yang setara."
Antar sesama perempuan, dukungan dan kolaborasi memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi situasi ini. Namun kenyataannya, hanya tujuh persen negosiator dalam proses perdamaian di seluruh dunia adalah perempuan, dan hampir sembilan dari sepuluh jalur negosiasi sama tidak melibatkan mereka, menurut laporan Women, Peace and Security (WPS) 2025.
Akibat minimnya representasi tersebut, suara perempuan untuk menuntut keadilan bagi kaumnya kian terpinggirkan. Kondisi ini diperburuk oleh pemotongan dana internasional bagi organisasi perempuan, seiring dengan bergesernya prioritas global menuju konflik besar seperti di Ukraina dan Gaza. Padahal, organisasi-organisasi ini selama ini menjadi garda terdepan dalam memberikan bantuan kemanusiaan, advokasi, dan dukungan bagi korban perang.
Wakil Direktur Eksekutif UN Women, Nyaradzayi Gumbonzvanda bahwa kini makin banyak organisasi yang tak berdaya melakukan tugas advokasi karena minimnya dana.
"Meskipun korban sipil perempuan dan anak meningkat empat kali lipat dalam dua tahun terakhir, dan kekerasan seksual juga melonjak, banyak organisasi perempuan yang bekerja di garis depan terpaksa mengurangi skala kegiatan mereka, bahkan menutup operasi, karena kekurangan dana."