Presiden Prabowo Subianto menghadiri Forbes Global CEO Conference 2025 di Hotel The St. Regis, Jakarta, Rabu, 15/10/2025. Foto : Setpres
Rencana pemerintah untuk melibatkan warga negara asing (WNA) dalam jajaran direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memunculkan perdebatan publik. Isu ini mencuat setelah beredar kabar bahwa dua warga negara asing akan menempati posisi penting dalam jajaran eksekutif PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Rencana tersebut juga sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin menghadirkan tenaga ahli internasional untuk memperkuat daya saing BUMN di tingkat global, sekaligus mendorong manajemen yang lebih profesional, efisien serta memulihkan kinerja perusahaan pelat merah yang sempat merugi. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kehadiran WNA di posisi strategis dapat mengancam kedaulatan ekonomi dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengelolaan BUMN.
Dalam forum internasional bersama Chairman dan Editor in Chief Forbes, Steve Forbes, Presiden Prabowo secara terbuka menegaskan arah kebijakan barunya:
Saya sudah mengubah regulasinya. Sekarang ekspatriat, non-Indonesia, bisa memimpin BUMN kita. Saya sangat bersemangat." ujarnya.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah ingin membuka peluang bagi profesional asing agar bisa ikut berperan dalam pengelolaan perusahaan milik negara. Harapannya, kehadiran mereka mampu membawa inovasi, teknologi, serta standar manajemen kelas dunia yang dapat memperbaiki kinerja BUMN.
Ketidakpastian Hukum dalam UU BUMN
Walau terlihat sebagai langkah yang modern dan terbuka, kebijakan ini sebenarnya belum punya dasar hukum yang kuat. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 yang mengubah UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dijelaskan bahwa direksi BUMN harus berstatus warga negara Indonesia (WNI), seperti tertulis di Pasal 15A ayat (1) huruf a.
Namun, di ayat (3) pasal yang sama, ada aturan yang memberi wewenang kepada Badan Pengelola BUMN (BP BUMN) untuk membuat ketentuan tambahan. Dari sinilah muncul celah yang kemudian dijadikan dasar bagi pemerintah untuk membuka peluang bagi warga negara asing.
Masalahnya, sampai sekarang belum ada aturan turunan yang menjelaskan secara detail bagaimana mekanisme, batasan, atau jabatan apa saja yang bisa diisi oleh WNA. Akibatnya, kebijakan ini masih menimbulkan kebingungan dan perdebatan, karena dasar hukumnya belum benar-benar jelas.
Manfaat Potensial Kehadiran WNA
Di sisi lain, keterlibatan tenaga ahli asing sebenarnya dapat membawa banyak manfaat bagi BUMN. Para profesional global yang berpengalaman di perusahaan besar dunia bisa membantu mempercepat proses alih pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge) kepada manajemen lokal. Mereka juga dapat memperkenalkan sistem kerja yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel.
Selain itu, kehadiran WNA bisa memperluas jaringan bisnis internasional BUMN, memperkuat strategi ekspansi global, serta meningkatkan kepercayaan investor luar negeri. Dalam era ekonomi terbuka saat ini, kolaborasi dengan tenaga profesional asing bisa menjadi cara efektif untuk menjadikan BUMN lebih kompetitif di pasar dunia.
Namun, manfaat tersebut hanya bisa dirasakan jika disertai dengan aturan dan pengawasan yang jelas. Tanpa kendali yang ketat, keberadaan WNA justru dapat menimbulkan ketergantungan terhadap tenaga asing, bahkan berisiko membuka akses terhadap data dan informasi strategis milik negara.
Solusi dan Alternatif Kebijakan
Agar reformasi BUMN tetap berjalan tanpa mengorbankan kepentingan nasional, pemerintah perlu mengambil langkah kebijakan yang seimbang.
Pertama, posisi WNA sebaiknya dibatasi pada jabatan non-strategis seperti konsultan, penasihat, atau direktur teknis. Dengan begitu, mereka bisa membantu proses transfer keahlian tanpa ikut mengambil keputusan penting yang menyangkut aset negara.
Kedua, jika nanti ada perubahan undang-undang yang benar-benar memperbolehkan WNA menjadi direksi, maka perlu dibuat aturan yang jelas tentang batas wewenang dan tanggung jawab mereka. Hal ini penting untuk memastikan bahwa keputusan strategis tetap berada di tangan warga negara Indonesia.
Ketiga, pemerintah harus memperkuat pengawasan internal dan eksternal, baik oleh Kementerian BUMN maupun lembaga audit independen, untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Keempat, pengembangan SDM lokal perlu menjadi prioritas utama. Program pelatihan dan kaderisasi kepemimpinan di BUMN harus terus ditingkatkan agar generasi muda Indonesia siap menjadi pemimpin yang profesional, berintegritas, dan mampu bersaing di tingkat global. Dengan begitu, kehadiran tenaga asing dapat menjadi sarana pembelajaran, bukan pengganti peran putra bangsa.
Dengan kebijakan yang tepat, modernisasi BUMN bisa berjalan tanpa harus mengorbankan kedaulatan ekonomi Indonesia. Kehadiran WNA dapat menjadi peluang untuk mempercepat profesionalisasi dan peningkatan daya saing global, selama ada batas yang jelas dan pengawasan yang kuat.
Langkah global ini akan menjadi langkah maju jika tetap berpegang pada prinsip transparansi, kemandirian, dan kepentingan nasional. Namun, jika tidak dikawal dengan bijak, reformasi yang bertujuan memperkuat BUMN justru bisa berubah menjadi ancaman halus bagi kedaulatan ekonomi bangsa.