Patung Jugun Ianfu di Korsel Foto: Reuters/Jason Reed
Hubungan Korea Selatan dan Jepang mengalami ketegangan dalam beberapa tahun terakhir karena faktor sejarah yang panjang.
Tensi yang kerap memanas ini didasarkan pada luka masa lalu oleh Jepang ke Korea semasa perang, salah satunya adalah perbudakan seks yang dilakukan para tentara Jepang terhadap perempuan Korea. Sampai saat ini, korban "perempuan penghibur" atau disebut juga "jugun ianfu" masih berjuang atas keadilan mereka.
Hal ini pun juga mendapat perhatian dari PBB. Baru-baru ini Tim penyelidik dari Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) mengirim surat kepada negara-negara yang menjadi korban perbudakan seks Jepang seperti Korea Selatan, Cina, Filipina, Indonesia, Belanda, dan Timor Timur.
Melansir AP, di dalam surat yang dikirimkan pada Juli tersebut OHCHR menyorot kegagalan negara-negara yang disebutkan dalam menjamin akses terhadap kebenaran, keadilan, ganti rugi, dan kompensasi bagi para korban. Untuk itu, pemerintah diberi waktu 60 hari untuk memberikan tanggapan.
Dalam surat tersebut OHCHR menyebutkan jumlah penyintas yang masih hidup di Korea Selatan, Cina, Filipina, Timor-Leste, Indonesia, dan Belanda sangat sedikit dibandingkan dengan 1.160 penyintas yang tercatat pada tahun 1990-an.
Para korban menghadapi penyiksaan tidak manusiawi berupa perdagangan manusia, pemerkosaan, dan perbudakan seks oleh Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Para sejarawan mencatat terdapat sekitar 200 ribu perempuan, sebagian besar adalah perempuan Korea, yang menjadi budak seks untuk tentara Jepang.
Para pengunjuk rasa melakukan aksi demonstrasi anti-Jepang mingguan yang mendukung "wanita penghibur" di dekat kedutaan besar Jepang di Seoul (5/1/2022). Foto: Jung Yeon-je/AFP
Dilansir The Korea Times, merespons surat OHCHR, Korea memperbarui desakannya kepada Jepang agar secara tegas mengakui perbudakan seksual terhadap perempuan Korea selama Perang Dunia II.
Sementara itu, Jepang menanggapi surat OHCHR dengan menegaskan bahwa masalah perempuan penghibur telah "diselesaikan secara final dan tidak dapat diubah" dengan kesepakatan yang dicapai dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri Jepang-Korea Selatan pada Desember 2015.
Namun, dikutip dari The Korea Times, perjanjian yang disepakati selama masa pemerintahan mantan Presiden Park Geun-Hye itu, telah dibatalkan pada tahun 2018 di pemerintahan Presiden Moon Jae-In.
Patung Perdamaian yang melambangkan korban perbudakan seksual militer Jepang ("wanita penghibur") selama Perang Dunia II di dekat Kedutaan Besar Jepang di Seoul (19/3/2025). Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP
Di dalam surat tersebut juga, Jepang menyayangkan dan menyesalkan pendirian patung atau monumen perempuan penghibur. Pemerintah Jepang juga menyorot patung perempuan penghibur yang terletak di seberang Kedutaan Besar Jepang.
Menanggapi Jepang yang menyorot permasalahan monumen perempuan penghibur, Korea memandang dalam suratnya, bahwa isu ini adalah persoalan hak asasi manusia universal bagi perempuan.
"Pemerintah Korea Selatan sangat memahami bahwa patung-patung 'perempuan penghibur' adalah bagian dari upaya meningkatkan kesadaran mengenai hakikat sebenarnya dari isu hak asasi manusia universal ini, sekaligus merupakan inisiatif sukarela dari masyarakat sipil untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan dengan merangkum pelajaran sejarah dari isu 'perempuan penghibur' tersebut ke dalam bentuk patung," tulis Korea dalam suratnya.
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah Korea tahun ini adalah memberikan subsidi bulanan sebesar 1,8 juta won atau Rp21,5 juta per orang untuk korban perbudakan seks. Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi dukungan emosional dan dukungan lainnya yang dibutuhkan oleh korban.
Mantan "wanita penghibur" Korea Selatan Lee Yong-soo (tengah), yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang selama Perang Dunia II, berbicara kepada media setelah putusan pengadilan di Pengadilan Distrik Pusat Seoul (21/4/2021). Foto: Jung Yeon-je/AFP
Perempuan korban perbudakan seks dan masyarakat Korea telah lama memperjuangkan isu ini agar diperhatikan pemerintah. Mereka telah melakukan aksi unjuk rasa selama lebih dari tiga dekade lamanya sejak 1992 di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul setiap hari Rabu. Dilansir Al Jazeera, per 2017, aksi unjuk rasa telah dilaksanakan sebanyak lebih dari 1.300 kali, menjadikannya aksi unjuk rasa terlama di dunia.
Mengutip AP, sejak perjanjian antara Korea Selatan dengan Jepang di tahun 2015, ada 46 dari 239 perempuan yang terdata sebagai korban di pemerintah Seoul yang masih hidup. Namun, saat ini hanya tersisa 6 orang.