Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah agenda monumental yang sayangnya kini terperangkap dalam krisis legitimasi. Janji mulia tentang Investasi Gizi dan Penguatan Ekonomi Rakyat secara konsisten dibayangi oleh insiden keracunan massal dan lemahnya tata kelola.
Narasi awal pemerintah yang didominasi oleh angka, target, dan kuantitas—misalnya, jumlah penerima manfaat, besaran anggaran, atau potensi multiplier effect ekonomi—terbukti rapuh. Sebab, keracunan massal yang berulang telah menciptakan Darurat Narasi: setiap klaim keberhasilan makro langsung dipertanyakan oleh kegagalan mikro yang mematikan.
Jika pemerintah ingin menyelamatkan program ini dari jurang krisis kepercayaan, strategi komunikasi politik harus segera bergeser dari Narasi Kuantitas menjadi Narasi Verifikasi. Artinya, fokus komunikasi tidak lagi pada seberapa banyak makanan yang dibagikan, tetapi seberapa aman dan transparan prosesnya dijamin.
Pilar Pertama: Menjadikan SLHS (Sertifikat Laik Higiene Sanitasi) sebagai Pahlawan Narasi
Saat ini, ketiadaan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) di banyak dapur MBG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi/SPPG) adalah simbol kegagalan teknis dan kelalaian birokrasi. Dalam komunikasi politik yang baru, SLHS harus dijadikan tolak ukur ketaatan dan keselamatan publik yang absolut.
Pemerintah harus secara eksplisit mengkomunikasikan bahwa:
MBG Dihentikan Sementara di Titik Tanpa SLHS: Komunikasi harus tegas bahwa tidak ada kompromi. Program ini tidak akan berjalan di SPPG manapun yang belum mengantongi sertifikat. Ini mengirim pesan kuat bahwa keselamatan anak berada di atas target politik.
Transparansi SLHS: Pemerintah (melalui Badan Gizi Nasional/BGN) wajib memublikasikan peta digital (dashboard) yang menunjukkan secara real-time daftar SPPG yang sudah bersertifikat dan yang sedang dalam proses. Dashboard ini harus dapat diakses publik. Transparansi ini secara langsung melawan narasi kritis tentang ketertutupan dan akuntabilitas.
Memperkuat Figur Ahli Sanitasi: Dalam setiap jumpa pers terkait MBG, figur ahli sanitasi, ahli gizi, atau perwakilan BPOM harus lebih ditonjolkan daripada pejabat politik. Narasi harus dipimpin oleh otoritas teknis, bukan sekadar oleh political will. Ini adalah langkah taktis untuk membangun kembali kredibilitas teknis.
Pilar Kedua: Digitalisasi Rantai Pasok sebagai Alat Akuntabilitas
Narasi ekonomi kerakyatan (melibatkan UMKM lokal) sering menjadi bumerang ketika terjadi keracunan karena sulit melacak sumber kontaminasi. Untuk itu yang harus menjadi fokus utama advokasi media adalah sebagai berikut:
Narasi Traceability: Pemerintah harus secara konsisten mempromosikan inisiatif Digitalisasi Rantai Pasok (Supply Chain). Narasi ini harus menjelaskan bahwa sistem digital mampu melacak asal-usul setiap bahan pangan, waktu olah di dapur bersertifikat, hingga waktu distribusi. Ketika ada insiden, sistem ini dapat dengan cepat mengisolasi sumber masalah.
Menarik Investasi IT: Komunikasi harus menekankan bahwa dana MBG juga dialokasikan untuk investasi teknologi IT Logistik (WMS, IoT Sensor), bukan hanya untuk pembelian beras. Investasi ini harus ditampilkan sebagai bukti komitmen jangka panjang terhadap efisiensi dan keamanan, yang merupakan bahasa yang dipahami oleh media ekonomi dan teknokrat.
Narrative of Zero Tolerance: Membangun narasi bahwa digitalisasi adalah instrumen utama untuk menegakkan sanksi tegas dan daftar hitam (blacklist) bagi pengelola yang lalai. Tanpa digital trail yang jelas, sanksi akan mudah dipolitisasi atau digagalkan.
Pilar Ketiga: Depolitisasi dan Komunikasi Konsisten Lintas Sektor
Krisis narasi MBG diperparah oleh tumpang tindih pesan dan politisasi. Strategi komunikasi harus terpusat dan berdisiplin:
Satu Suara di Saat Krisis (Single Source of Truth): Pemerintah harus menunjuk Satu Juru Bicara Teknis (misalnya, Kepala BGN atau Task Force MBG) yang menjadi sumber tunggal informasi saat terjadi insiden keracunan. Juru bicara ini harus fokus pada tindakan korektif dan sanksi, bukan pada pembelaan terhadap program secara keseluruhan.
Kolaborasi Media dengan LSM dan Pakar Gizi: Secara proaktif, pemerintah harus membuka ruang dialog dan kolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kritis dan pakar gizi. Menggandeng kritik konstruktif dan memberikan akses data menunjukkan keterbukaan otentik, yang merupakan aset komunikasi politik yang sangat langka.
Kesimpulan: Kembali ke Tujuan Utama Menyehatkan Anak Bangsa
Program MBG memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi investasi Sumber Daya Manusia terbaik bangsa. Namun, tanpa strategi komunikasi yang berani bergeser dari kuantitas yang cacat menjadi kualitas yang terverifikasi, narasi positif MBG akan terus tergerus.
Pemerintah perlu mengambil langkah drastis: mengubah SLHS dari sekadar prosedur administratif menjadi wajah utama program. Melalui Narasi Verifikasi yang didukung oleh transparansi digital dan ketegasan sanksi, kepercayaan publik dapat dipulihkan. Hanya dengan demikian, MBG dapat kembali ke esensi awalnya: sebuah program yang aman, terpercaya, dan benar-benar menyehatkan anak-anak Indonesia.