Eunike Megawati (32), guru Bimbingan Konseling (BK) asal Semarang, Jawa Tengah yang Mengajar di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 23 Makssar. Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
Eunike Megawati (32) memilih meninggalkan keluarganya di Semarang, Jawa Tengah, demi mengabdi sebagai guru Bimbingan Konseling (BK) di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 23 Makassar.
Dengan semangat pengabdian, Eunike sudah tiga bulan mengajar di Makassar. Ia tak pernah berencana menjadi guru di Sekolah Rakyat.
Awalnya, ia ingin mendaftar ASN melalui jalur PPPK umum. Namun, saat pertama kali melihat informasi penerimaan guru Sekolah Rakyat, ia merasa terpanggil.
"Nama saya Eunike, asal saya dari Jawa Tengah. Mengajar di sini sejak 14 Juli," kata Eunike membuka perbincangan di SRMP 23 Makassar, Kamis (23/10).
"Saya lihat programnya bagus karena melayani orang-orang dari kalangan marjinal. Jadi saya terpanggil, lalu saya ikut daftar. Kemudian ternyata saya ditempatkan di sini. Ya berarti memang takdirnya saya ada di sini," lanjutnya sambil tersenyum.
Eunike masih sangat asing dengan Makassar. Bahkan dalam kegiatan belajar, ia kerap mendapat tantangan dalam hal berkomunikasi.
Namun, Eunike tak ingin menyerah. Ia pelan-pelan beradaptasi dan mulai mencuri perhatian murid-muridnya.
"Ada siswa yang menangis, dia bicara ke saya dengan bahasa Makassar. Saya tidak tahu, saya hanya diam saja. Saya minta dia bicara dengan bahasa Indonesia, tapi anak-anak di sini rupanya belum mengerti juga," cerita Eunike.
Suasana makan bersama di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 23 Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/10/2025). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
"Selama tiga bulan ini, yang saya fokuskan adalah belajar memahami bahasa. Kalau berbicara saya belum bisa, tapi kalau mendengar saya sudah paham," tambahnya.
SRMP 23 Makassar menampung 137 siswa dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu, bahkan ada yang yatim piatu atau dititipkan kepada kerabat.
"Kebanyakan mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu, bahkan miskin ekstrem," tutur Eunike.
Karena latar belakang itu, pendidikan karakter menjadi pondasi utama di awal masa belajar.
"Selama tiga bulan ini kami lebih menekankan pada pendidikan karakter dulu. Jadi kami pupuk anak-anak supaya berani dulu, Kak. Setelah itu baru mulai dengan kurikulum nasionalnya," jelasnya.
Semakin Dekat dengan Murid
Ilham Alkadri (13) dan Muh Zaki Sutikno (13), siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 23 Makassar. Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
Perubahan mulai terlihat. Anak-anak yang dulu pemalu kini mulai berani tampil.
Eunike kini kerap menjadi tempat curahan hati para murid. Ia pun dengan senang hati mendengarkan cerita mereka.
"Misalnya, anak yang dulunya tidak berani tampil di depan kelas sekarang sudah berani. Anak-anak yang dulu kalau ada masalah diam saja, sekarang datang ke saya. 'Ibu, saya mau cerita,' begitu. Jadi mereka sudah berani terbuka," katanya dengan mata berbinar.
"Kalau secara umum, permasalahan terbesar anak-anak itu tentang keluarganya. Terutama mereka rindu orang tuanya," ucapnya pelan.
Ia mengingat satu momen kecil yang membuatnya terharu — ketika seorang siswa mulai bisa melipat bajunya sendiri.
"Karena pertama kali saya lihat di sini, mereka susun baju itu asal masuk saja, tidak terlipat. Kami ajarkan cara melipat baju, lalu kemarin saya lihat sudah tertata rapi. Saya tanya, siapa yang melipat? 'Saya sendiri, Bu,' katanya. Itu saya sudah paham sekali. Setidaknya sudah ada skill-nya di sini," ujarnya tersenyum haru.
Eunike sadar murid yang dihadapinya punya latar belakang yang berbeda. Bahkan ada yang memiliki perjalanan hidup berat.
"Kami berikan reward. Karena buat anak-anak, makanan kecil saja itu berharga sekali. Ibaratnya biskuit kecil saja mereka sudah bahagia," ujarnya.
Murid Tak Boleh Pakai Ponsel
Suasana makan bersama di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 23 Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (23/10/2025). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
Di SRMP 23, penggunaan gawai tidak diperbolehkan. Anak-anak hanya boleh memakai ponsel wali asrama untuk menghubungi keluarga.
Namun, setiap Minggu para murid boleh melakukan video call dengan orang tua atau kerabat.
"Hari Minggu itu family time. Jadi orang tuanya berkunjung. Anak-anak senang sekali hari itu," tambahnya.
Harapan Lima Tahun ke Depan
Tiga bulan mengajar membuat Eunike percaya, Sekolah Rakyat bukan sekadar tempat belajar, tapi juga tempat memulihkan semangat hidup.
"Saya bilang ini pengalaman yang luar biasa sekali, karena baru kali ini saya membangun karakter dari nol," ujarnya.
Ia melihat keinginan kuat anak-anak untuk berubah.
"Dari hasil asesmen yang saya lakukan, 70 persen siswa kami ingin bercita-cita jadi TNI. Ada juga yang mau jadi dokter, guru, dan dua anak ingin jadi pilot," katanya penuh harap.
"Lima tahun ke depan, saya berharap mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dan semoga program Sekolah Rakyat ini masih tetap berlanjut," tutupnya.
Tantangan dan Harapan dari Sekolah
Azharika Isnarani, Pelaksana Harian Kepala Sekolah SRMP 23, mengakui perjalanan sekolah ini masih panjang.
"Bangunan ini sementara digunakan untuk Sekolah Rakyat, karena gedung permanennya masih dalam pembangunan," ujarnya.
Ia menyebut fasilitas masih terbatas, terutama di asrama.
"Kondisi di sini panas sekali, apalagi di asrama. Jadi yang paling urgent itu kipas angin," katanya sambil tersenyum.
Namun di balik segala keterbatasan, semangat para guru tak pernah surut.
"Kami bukan hanya mengajar, tapi sekaligus memperbaiki arah hidup anak-anak ini," ucap Azharika.