Desainer Vivienne Westwood. Foto: Patrick KOVARIK / AFP
Industri luxury fashionkerap kali disebut sebagai ranah yang dibangun di atas kebutuhan dan keinginan perempuan. Namun, kenyataan di balik panggung berkata lain. Realitanya, ada gender gap di posisi kepemimpinan industri ini. Data mengatakan posisi prestisius creative director atau direktur kreatif yang menjadi nakhoda dari arah berlayarnya suatu rumah mode jarang diisi oleh perempuan.
Pergantian direktur kreatif di rumah mode besar dan jumlah perempuan di posisi puncak semakin mengecil
Maria Grazia Chiuri Foto: Christophe Archambault/ AFP
Di awal tahun 2025, terjadi perubahan besar dalam kepemimpinan sejumlah rumah mode besar di dunia. Dior dan Chanel, dua label ikonis yang sangat lekat dengan sejarah perempuan, baru saja mengganti direktur kreatif mereka. Maria Grazia Chiuri yang memimpin Dior sejak 2016 digantikan oleh Jonathan Anderson, sementara Virginie Viard yang meneruskan warisan Gabrielle Bonheur "Coco" Chanel digantikan oleh Matthieu Blazy.
Memang pergantian ini juga memunculkan beberapa nama perempuan yang mengisi posisi strategis, seperti Rachel Scott yang memimpin Proenza Schouler dan Meryll Rogge yang ditunjuk sebagai direktur kreatif Marni. Namun, secara keseluruhan jumlahnya masih sedikit.
Dilansir Marie Claire, saat ini dari 33 rumah mode besar yang mendesain fashion untuk perempuan, hanya sepuluh yang dipimpin oleh direktur kreatif perempuan. Selain itu, hanya dua di antaranya yang berasal dari kelompok perempuan dengan kulit berwarna. Hal ini mengkhawatirkan karena representasi perempuan dengan kulit berwarna memang sudah minim di berbagai industri.
Apa penyebab minimnya representasi perempuan di posisi strategis industri luxury fashion?
Donatella Versace. Foto: AFP/PIERRE VERDY
Dikutip dari Marie Claire, kesenjangan ini selaras dengan temuan laporan Women in the Workplace yang diterbitkan oleh McKinsey pada 2024. Studi tersebut menunjukkan bahwa perempuan lebih jarang mendapatkan promosi meskipun performa mereka setara atau bahkan lebih tinggi dibanding rekan laki-laki.
Hambatan ini digambarkan sebagai fenomena "broken rung in the corporate ladder" yang membuat karier banyak perempuan terhenti atau stagnan bahkan sebelum mencapai puncak. Kondisi ini pun semakin menekan karena di industri yang penuh kompetisi seperti fashion, satu promosi yang tertunda bisa berarti kehilangan momentum karier secara permanen.
Melansir Fierce, Louis Vuitton Moët Hennessy (LVMH), perusahaan multinasional asal Prancis yang menaungi lebih dari 75 merek termasuk 16 rumah mode, hanya memiliki empat perempuan di posisi direktur kreatif divisi fashion dan leather goods. Kemudian, Kering, konglomerat mode terbesar kedua di dunia setelah LVMH, bahkan tidak memiliki satu pun perempuan yang memimpin rumah mode utamanya.
Angka-angka ini kontras dengan kenyataan bahwa lebih dari 85 persen lulusan sekolah mode ternama adalah perempuan.
Dari perempuan, untuk perempuan
Grace Wales Bonner. Foto: Niklas HALLE'N/AFP
Angka representasi perempuan di posisi strategis yang kecil ini bukan berarti disebabkan oleh ketidakcakapan perempuan dalam mengisi posisi tersebut. Sejumlah desainer perempuan nyatanya mampu menghasilkan karya yang diakui oleh pasar dan industri.
Nama seperti Grace Wales Bonner, Martine Rose, dan Simone Rocha, telah memenangkan penghargaan bergengsi di bidang fesyen seperti LVMH Prize dan Council of Fashion Designers of America (CFDA) Fashion Fund. Secara popularitas, karya Grace Wales Bonner bersama Adidas Samba bahkan menjadi tren global yang dicintai kalangan muda dan terus terjual habis di setiap peluncuran.
Secara komersial pun, menempatkan perempuan sebagai pemimpin kreatif terbukti menguntungkan. Menurut laporan Global Apparel Industry Statistics: Market Size and Trends dari Uniform Market, pasar busana perempuan diproyeksikan akan mencapai nilai USD 1 triliun atau sekitar Rp 15.500 triliun pada 2027, jauh lebih besar dibanding pasar busana laki-laki yang diperkirakan sekitar USD 639,12 miliar atau setara Rp 9.906 triliun.
Dengan menempatkan perempuan di posisi kreatif, merek mampu lebih dekat dengan konsumen yang mayoritas juga perempuan. Hal ini terlihat dari kepemimpinan Maria Grazia Chiuri di Dior. Saat ia mengangkat tema pemberdayaan perempuan melalui koleksi busananya mulai dari kaus ikonis bertuliskan "We should all be feminists" di tahun 2016 sampai instalasi seni berbentuk seperti rahim untuk peragaan busana, dilansir WWD, laporan HSBC memperkirakan penjualan Dior melonjak dari 2,7 miliar euro (sekitar Rp 45,9 triliun) pada 2018 menjadi lebih dari 9 miliar euro (sekitar Rp 153 triliun) pada 2023.
Deretan rumah mode yang dipimpin oleh perempuan
Leena Nair. Foto: Aaron Chown/Pool via AFP
Dilansir CNA Luxury, Chloé sejak lama dikenal sebagai rumah mode yang memberi ruang bagi perempuan untuk memimpin arah desain label mereka, termasuk ketika Karl Lagerfeld meninggalkan posisi direktur kreatif pada 1997.
Hermès pun menempatkan perempuan seperti Nadège Vanhee-Cybulski dan Véronique Nichanian sebagai pemimpin lini busana perempuan maupun laki-laki. Lalu, ada Chanel yang masih mempertahankan Leena Nair sebagai global chief executive mereka, menjadikannya perempuan kulit berwarna pertama yang memimpin merek besar Eropa di posisi tertinggi.
Kehadiran figur-figur ini menjadi bukti bahwa perubahan bisa terjadi ketika perusahaan memang berkomitmen untuk membuka kesempatan yang setara bagi perempuan.