Acana Selayar yang sedang hamil besar harus menempuh perjalanan hidup dan mati. Selama 7 jam, dengan kondisi tangan masih diinfus, Acana berjuang di atas perahu yang diombang-ambing gelombang Laut Seram, Maluku, pada Selasa (26/8).
Perjalanan berbahayanya dari Pulau Kesui itu ia tempuh demi menjalani operasi caesar di RSUD Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur.
"Saat di perjalanan kami diguyur hujan, cuaca sedang tidak bagus," kata Husni Samiun, Kepala Puskesmas Tamher Timur, Kecamatan Kesui Watubela, yang ikut mendampingi Acana di perahu, kepada kumparan akhir Agustus lalu.
Acana, ibu muda dari Desa Kildor, mulanya datang ke puskesmas pada Minggu (24/8). Usia kandungannya ketika itu sudah 9 bulan. Acana diputuskan dirawat karena kondisi kesehatannya lemah dan petugas puskesmas memprediksi proses melahirkannya tak lama lagi.
Evakuasi Acana Selayar (berkursi roda), ibu hamil di Pulau Kesui, Maluku, dari Puskesmas Tamher Timur ke Pulau Seram menggunakan longboat. Foto: Puskesmas Tamher Timur
Benar saja, sekitar Senin (25/8) siang, Acana pecah ketuban. Proses persalinannya seakan tinggal menunggu waktu. Dokter umum dan bidan puskesmas pun terus memantau kondisi Acana. Namun sampai keesokan harinya, Acana tak kunjung melahirkan.
Kondisi kesehatan yang lemah membuat Acana tak bisa mengejan dan sulit bersalin dengan proses normal. Mirisnya, puskesmas yang terletak di daerah terpencil itu tidak memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) yang sangat dibutuhkan untuk kondisi persalinan seperti itu. Begitu pula alat kesehatan (alkes) persalinan yang tidak memadai.
Akhirnya, demi keselamatan sang ibu dan calon bayinya, Acana harus dirujuk ke RSUD yang terletak di Pulau Seram pada hari itu juga, Selasa (26/8), sebab dikhawatirkan bayi dalam kandungan terlilit tali pusat.
"Kalau tidak diambil tindakan rujukan, maka bisa terjadi kematian ibu atau kematian anak, atau bisa terjadi dua-duanya. [Apalagi] kami tidak punya dokter kandungan, kami juga tidak punya alat untuk melakukan tindakan operasi sesar di puskesmas," ucap Husni.
Evakuasi Acana Selayar (baju putih), ibu hamil di Pulau Kesui, Maluku, menuju Pulau Seram menggunakan longboat. Foto: Puskesmas Tamher Timur
Husni menyatakan, selama proses kehamilan, Acana sedianya sudah dianjurkan untuk bersalin di RSUD Bula mengingat kondisi kesehatannya. Namun hingga hamil besar, ia memilih bersalin di puskesmas. Menurut Husni, keterbatasan ekonomi menjadi penyebabnya.
Namun, karena kondisi darurat, Acana mau tidak mau harus dirujuk ke RSUD dengan menggunakan perahu longboat tanpa atap milik warga. Puskesmas sebenarnya mempunyai kapal 'puskesmas keliling' (pusling), tetapi spesifikasi armada yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi alam di sana yang ekstrem dan ukurannya kecil. Alhasil setiap kondisi darurat, pasien harus dirujuk dengan perahu warga.
Perahu yang dipakai merujuk ketika itu ditumpangi sekitar 10 orang, termasuk Husni dan dua petugas puskesmas. Sedangkan Acana berada di tengah, ditutupi terpal untuk menghindari cipratan air laut. Saat berada di tengah laut, kondisi kesehatan Acana sempat menurun.
"Dua jam mau sampai itu pasien sudah kejang-kejang," ujar Husni.
Evakuasi Acana Selayar, ibu hamil di Pulau Kesui, Maluku, menuju Pulau Seram menggunakan longboat.. Foto: Puskesmas Tamher Timur
Syukurnya, keselamatan masih menaungi Acana hingga tiba di RSUD dan melahirkan bayinya dengan operasi caesar.
Menurut Husni, merujuk pasien dengan longboat membutuhkan biaya yang besar, sekitar Rp 8 juta. Sementara jika menggunakan kapal feri biasa, jadwalnya tidak pasti dan memakan waktu sehari semalam. Walaupun jika menumpang kapal feri biayanya jauh lebih murah, yakni Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu per penumpang.
Durasi yang lama bagi warga menuju ke RS itu jauh dari kata ideal. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, waktu tempuh dari puskesmas ke RS seharusnya maksimal dua jam.
Tak cuma itu, Husni menyatakan puskesmasnya yang melayani sekitar 9.000 penduduk itu hanya memiliki dua dokter: dokter umum dan dokter gigi.
Acana Selayar, ibu hamil di Pulai Kesui, Maluku, saat tiba di Pulau Seram untuk dibawa ke RSUD Bula. Foto: RSUD Bula
Dengan kondisi itu, mereka kewalahan jika menerima pasien yang kondisinya gawat darurat. Sehingga tak ada jalan lain selain merujuknya ke RSUD Bula atau RSUD Tual, sekalipun dengan risiko yang besar.
"Merujuk pasien itu di antara dua [kemungkinan]. Kalau Allah panjangkan umur, [pasien] selamat sampai tujuan. Tapi kalau memang waktunya ajal, di perjalanan pasien bisa meninggal. Risiko kami di situ," ucap Husni.
Mencegah kejadian serupa terulang lagi, Husni berharap ada dokter kandungan yang ditugaskan di tempatnya, disertai alkes yang memadai. Juga perahu khusus yang sesuai dengan spesifikasi dan kondisi alam di Seram.
"Karena speed (perahu) warga itu [atapnya] terbuka. Sehingga pasien bisa kedinginan di perjalanan yang juga mengakibatkan fatal," kata Husni.
Kondisi yang dialami Acana hanyalah gambaran dari sekian banyak kejadian yang menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bagi warga di daerah terpencil masih sangat memprihatinkan.
Tidak ada dokter spesialis yang begitu dibutuhkan, tiadanya alkes yang memadai, hingga minimnya infrastruktur transportasi bagi warga yang masih dianggap bagian NKRI.
Kurangnya dokter spesialis di Indonesia bukan isapan jempol semata. Kemenkes mencatat jumlah dokter spesialis saat ini mencapai sekitar 53 ribu orang, sedangkan kebutuhan tahun ini sebesar 81 ribu atau masih kekurangan 28 ribu dokter spesialis. Kebutuhan itu di antaranya mengacu pada rasio ideal yang ditetapkan Bappenas yakni 0,28 per 1.000 penduduk, atau 28 dokter spesialis untuk 100 ribu penduduk.
Mempertimbangkan beban penyakit dan pertambahan penduduk, kekurangan dokter spesialis diproyeksi terus meningkat menjadi sekitar 70 ribu pada 2032. Jika mengacu situasi normal, produksi dokter spesialis akan mencapai 73 ribu orang pada 2032, sedangkan kebutuhannya mencapai 140 ribu. Ada gap sebesar 47%.
Data Kemenkes soal jumlah kebutuhan dan ketersediaan dokter spesialis. Foto: YouTube/ Kemendiktisaintek
"Produksi kita kapasitasnya cuma 2.700 [lulusan dokter spesialis] per tahun. Jadi kalau [kebutuhan] 70 ribu dibagi 2.700 itu [baru tercapai] sekitar 26-27 tahun. Sampai kita (Indonesia) usia 100 tahun, belum bisa terpenuhi jumlah dokter spesialisnya. Maka kita harus melakukan akselerasi pendidikan dokter spesialis dan memastikan terdistribusinya merata," ucap Menkes Budi pada kumparan di Gedung Adhyatma Kemenkes, Jakarta, Kamis (11/9).
Budi menyebut, produksi dokter spesialis di Indonesia masih jauh dibanding Korea Selatan, Inggris Raya, dan Amerika Serikat. Contoh Korsel dengan penduduk sekitar 50 juta jiwa atau hanya 1/5 dibanding Indonesia, dokter spesialis yang diproduksi per tahun mencapai 3 ribu orang.
Sementara di Inggris dengan penduduk sekitar 60-an juta orang, dokter spesialis yang dihasilkan per tahunnya mencapai 12 ribu. Adapun di AS dengan jumlah penduduk sekitar 340 juta, produksinya sekitar 41 ribu dokter spesialis per tahun.
"Artinya kita minimal harusnya dekat-dekat angka itu, enggak mungkin 2.700. Kita harus naikin 4-5 kali lipat dari sekarang," kata Budi.
Proyeksi penambahan kuota mahasiswa dan lulusan dokter spesialis dengan pembukaan 148 prodi baru. Foto: YouTube/ Kemendiktisaintek
Imbas kurangnya produksi itu, hanya sedikit RSUD tipe C yang dilengkapi 4 dokter spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obgin) dan 4 dokter spesialis penunjang medik (anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik).
Padahal, menurut Budi, idealnya sekarang rumah sakit setidaknya membutuhkan 9 dokter spesialis, yakni spesialis penyakit dalam, anak, obgin, bedah, anestesi, patologi klinik, radiologi, jantung, dan saraf.
"RSUD yang sudah punya sembilan [dokter spesialis] hanya 20-30%," ucap Budi.
Namun Ketum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto berpandangan lain. Menurutnya, jumlah dokter saat ini, termasuk dokter umum yang berjumlah 159 ribu orang, sebetulnya sudah mencukupi.
Sejumlah dokter melakukan operasi penyakit katarak di RSUD Tamansari, Jakarta, Sabtu (25/1/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Jika dibandingkan dengan populasi Indonesia sebesar 280 juta jiwa, rasionya mencapai 1:1.300 atau 1 dokter melayani 1.300 penduduk. Menurut Slamet, rasio itu sudah cukup walaupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar ideal 1:1.000.
Sebab rasio yang ditetapkan WHO ditujukan bagi negara maju dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi atau 30 besar dunia dan anggaran kesehatan 20% dari APBN. Sedangkan IPM Indonesia di peringkat 112 dari 190-an negara dengan anggaran kesehatan baru di kisaran 6% dari APBN.
"Jadi [jumlah dokter] tidak kurang, cukup. Tapi faktanya di lapangan kurang. Ada apa kurang? Ternyata hasil kajian analisis IDI, dari 100% lulusan dokter, dokter spesialis, yang diserap [sebagai ASN atau dikontrak] oleh pemerintah sedikit, hanya sekitar 18%-20%" ucap Slamet di Kantor PB IDI, Jakarta, Kamis (28/8).
Presiden Prabowo Subianto meresmikan Ngoerah Sun Wellness and Aesthetic Center di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, Bali, Rabu (25/6/2025). Foto: Instagram/@presidenrepublikindonesia
Buka Seratusan Prodi Spesialis
Tak imbangnya kebutuhan dan ketersediaan dokter spesialis membuat Presiden Prabowo Subianto menargetkan pembukaan 148 program studi (prodi) baru spesialis dan subspesialis di 57 fakultas kedokteran (FK), selama 4 tahun ke depan. Adapun selama ini, hanya 24 FK yang punya prodi dokter spesialis.
"Kita harus berupaya dengan langkah-langkah yang tidak bisa normatif," kata Prabowo saat meresmikan RS Pusat Otak Nasional (RSPON) Mahar Mardjono di Jakarta, Selasa (26/8).
Upaya membuka ratusan prodi telah dimulai Kemendiktisaintek bersama Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) saat peluncuran program pada 22 Juli. Tujuannya untuk meningkatkan jumlah kuota mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Ketua AIPKI Wisnu Barlianto menyatakan, sekitar 80 prodi PPDS baru -baik di universitas negeri maupun swasta- siap diluncurkan pada bulan ini. Sehingga para calon mahasiswa bisa mulai studi pada Januari 2026. Sementara pada tahun depan, AIPKI berharap 90% dari target 148 prodi baru bisa terpenuhi.
Detail pembukaan 148 prodi dokter spesialis baru di berbagai universitas. Foto: YouTube/ Kemendiktisaintek
Kemendiktisaintek memproyeksikan, pembukaan ratusan prodi PPDS pada 2025-2030 bisa meningkatkan kuota mahasiswa menjadi total 47 ribu. Sementara itu lulusan PPDS ditargetkan mencapai 25 ribu orang dalam kurun 2025-2030. Jika berjalan mulus, lulusan PPDS per tahun bisa mencapai 5 ribu orang atau hampir 2 kali lipat dibanding saat ini (2.700/tahun).
Wisnu menyebut, pembukaan prodi baru tentu diikuti dengan bertambahnya RS pendidikan sebagai tempat magang mahasiswa PPDS.
Ia mencontohkan FK Universitas Brawijaya (UB) yang selama ini bekerja sama dengan RSUD Saiful Anwar Malang, bakal juga menggandeng RSUD Sosodoro Bojonegoro dan RSUD Soedono Madiun. Adapun secara keseluruhan, Kemendiktisaintek bakal menggandeng 355 RS sebagai mitra PPDS pada 2025-2026.
"RS jejaringnya tambah banyak, dosennya juga tambah banyak. Sehingga nanti tidak masalah dengan menambah kuota," ucap Wisnu yang juga Dekan FK UB itu pada kumparan, Jumat (29/8).
Proyeksi penambahan kuota mahasiswa dan lulusan dokter spesialis dengan pembukaan 148 prodi baru. Foto: YouTube/ Kemendiktisaintek
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Negeri Indonesia (AFKNI) Ari Fahrial Syam menilai, penambahan kuota mahasiswa harus seiring dengan jumlah dosennya. Sebab PPDS bukanlah kuliah umum di mana seorang dosen memberi materi ke ratusan atau ribuan mahasiswa. Dosen PPDS rata-rata hanya bisa membimbing maksimal 1-2 mahasiswa saat magang di RS.
Sehingga Ari berpendapat perlu juga meningkatkan minat para dokter spesialis senior sebagai dosen PPDS. Caranya dengan memperhatikan kesejahteraannya.
"Harus ada insentif buat dosen-dosen yang mau bekerja di Indonesia timur, misalnya tambahan Rp 20-30 juta," ucap Ari pada kumparan di RS Islam Jakarta, Kamis (28/8).
Di samping itu, Ari berpandangan untuk menarik minat mahasiswa PPDS, penempatan di RS jejaring seharusnya gratis. Bukan seperti selama ini di mana mahasiswa yang akan magang harus membayar ke RS dengan biaya besar.
Pendidikan dokter. Ilustrasi: Stock Photograph 3645/Shutterstock
Kondisi ini mengakibatkan mahasiswa PPDS didominasi oleh kalangan menengah ke atas. Jika tidak bisa gratis, Ari mengusulkan mekanisme beasiswa dari Pemda yang membutuhkan dokter spesialis tertentu di daerahnya. Skema ini telah dijalankan FK UI bersama Pemprov Papua.
"Nanti ketika dokter ini lulus, dia akan kembali ke daerah tersebut," kata Ari.
Pandangan serupa disampaikan Wisnu. Ia mengusulkan kuota beasiswa LPDP bisa lebih difokuskan untuk studi PPDS. "Sehingga nanti yang mendapat beasiswa wajib turun mengabdi di daerah," jelas Wisnu.
Sedangkan mengenai ketersediaan dosen, Wisnu menyebut FK yang membuka prodi baru tidak akan dilepas sendirian dan bakal didampingi FK pembina.
Ia kembali mencontohkan FK UB yang membina FK Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan FK Universitas Jember (Unej). Nantinya mahasiswa prodi baru di FK UMM dan Unej bakal berkuliah di FK UB untuk semester awal hingga menunggu magang di RS.
"Kalau sudah siap baru mereka menerima [mahasiswa] secara mandiri," ucap Wisnu.
Prabowo memasang target ambisius untuk meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan. Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan
Wujudkan 500 RS Pendidikan
Upaya menutup kekurangan dokter spesialis juga ditempuh dengan menciptakan 500 RS pendidikan untuk program PPDS berbasis RS (hospital based). Program ini telah diluncurkan sejak Mei 2024. Sehingga kini terdapat 2 jalur PPDS: universitas dan RS.
PPDS berbasis RS telah dicanangkan sejak 2022 dengan target 420 RS pendidikan. Dalam perjalanan, Budi menyodorkan angka realistis 300 RS yang bisa dijadikan RS pendidikan kepada Prabowo. Namun Prabowo meminta ditingkatkan menjadi 500 RS.
Budi menegaskan 500 RS tersebut bukan membangun RS baru. Melainkan menetapkan 500 RS yang sudah ada, khususnya di daerah luar Jawa yang kekurangan dokter spesialis, sebagai RS untuk PPDS hospital based.
Sejauh ini, sudah 6 RS milik Kemenkes yang dijadikan RS pendidikan yakni RSAB Harapan Kita, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RS Ortopedi Soeharso, RS Mata Cicendo, RS PON, dan RS Kanker Dharmais. Total kuota peserta PPDS di 6 RS tersebut mencapai 38 orang di tiap tahap penerimaan (batch).
"Sekarang sudah batch kedua. Rencananya saya akan naikkan ke 26 [RS pendidikan] segera. Kemudian tahun depan bisa naik 100 dan tiap tahun coba 100 [RS], jadi tidak langsung 500. Tapi janjinya sampai 2029 sudah 500 RS pendidikan," jelas Budi.
Budi meyakini penetapan 500 RS untuk PPDS hospital based bisa tercapai. Mengingat dari total 3.000 RS di Indonesia, sekitar seribu di antaranya milik pemerintah pusat dan daerah.
Ia pun memastikan kualitas 500 RS pendidikan akan terjaga karena Kemenkes telah menggandeng Accreditation Council for Graduate Medical Education International (ACGME-I), sebuah lembaga sertifikasi yang mengelola 900 RS pendidikan di AS.
"Diharapkan dengan penambahan [prodi baru dan 500 RS pendidikan) ini, yang tadinya produksi [dokter spesialis] hanya 2.700 per tahun, bisa naik jadi 15 ribu," kata Budi.
Ilustrasi dokter. Foto: Shutterstock
Menurut Budi, PPDS hospital based tidak akan membebani peserta dari segi biaya. Pemerintah bakal mengganti biaya alkes maupun obat-obatan yang dipakai peserta saat praktek kepada RS. Ia pun heran jika selama ini calon dokter spesialis justru membayar ke RS untuk magang. Praktik itu, kata Budi, hanya terjadi di Indonesia dan Lithuania.
"Itu sebabnya kami bikin [PPDS] hospital based ini. Nanti ke depan dengan adanya 500 RS pendidikan ini, kaya, miskin, anaknya siapa pun dia, pasti akan bisa menjadi dokter spesialis di manapun dia berada," tegas Budi.
Sementara itu Ketum IDI Slamet Budiarto berpendapat, produksi dokter spesialis yang masif tanpa diimbangi penyerapan oleh pemerintah justru bisa jadi masalah baru. Menurut Slamet, yang terjadi saat ini adalah rendahnya penyerapan lulusan dokter spesialis oleh pemerintah untuk ditempatkan di daerah.
Alhasil, mereka berupaya mencari kerja sendiri dan menumpuk di kota-kota besar. Data Kemenkes mencatat mayoritas dokter spesialis terkonsentrasi di Jawa-Bali (66,2%) dan Sumatera (18%). Sedangkan 15,8% sisanya tersebar di Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Ia mendorong lulusan baru minimal 70% harus diserap pemerintah.
Ketum PB IDI Slamet Budiarto. Foto: kumparan
"[Produksi meningkat] kalau tidak diikuti dengan penempatan akan terjadi pengangguran dokter di kemudian hari karena [stoknya] terlalu berlebih dan tetap akan mengumpul di kota-kota besar," ucap Slamet.
Menurut Slamet, pendidikan dokter spesialis butuh waktu minimal 4-5 tahun, sedangkan kebutuhan di daerah sangat mendesak. Ia mengusulkan lebih baik pemerintah menganggarkan dana untuk penempatan dokter spesialis dan dokter umum ke daerah. Hitungan Slamet, dibutuhkan dana sekitar Rp 1,2 triliun per tahun untuk menempatkan 1.000 dokter spesialis ke daerah terpencil.
"Dokter spesialis digaji Rp 100 juta per bulan, dokter umum Rp 30-35 juta per bulan untuk ngisi puskesmas di daerah terpencil. Setelah dianggarkan, pasang pengumuman., pasti akan rebutan," ucap Slamet.
Simulasi besaran gaji tersebut, kata Slamet, bersifat take home pay dan supaya menarik minat dokter spesialis bertugas di daerah terpencil. Jika besaran insentif yang ditawarkan hanya Rp 30 juta sesuai Perpres 81/2025, ia menilai para dokter spesialis lebih memilih bekerja di kota besar.
Dokter dan bidan dari Puskesmas Sarereiket memeriksa kondisi warga yang sakit di dusun Matektek, Desa Matotonan, Siberut Selatan, Mentawai, Sumatera Barat, Senin (7/7/2025). Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA
Slamet menganggap usulan dana penempatan itu tak seberapa jika dibanding anggaran Kemenkes di 2025 yang mencapai Rp 105 triliun. Hanya saja, ia menganggap belum ada niat pemerintah untuk segera mengatasi tidak meratanya distribusi dokter spesialis.
Ketua AFKNI Ari Fahrial sepakat lulusan dokter spesialis mayoritas harus diserap pemerintah, setidaknya sebagai pegawai kontrak. Apalagi nanti jumlah lulusannya membludak. Ia pun mengusulkan izin pembangunan RS di kota besar diperketat agar selaras dengan distribusi dokter spesialis ke daerah.
Adapun Ketua AIPKI Wisnu berpendapat perlunya Inpres untuk mengangkat langsung lulusan dokter spesialis sebagai PNS dan ditempatkan di daerah.
Sementara itu, Menkes Budi menyatakan insentif Rp 30 juta di Perpres 81/2025 bukan berarti pendapatan yang diterima dokter spesialis di daerah terpencil hanya sejumlah itu. Ia menyatakan, insentif tersebut hanya untuk mengganti pendapatan praktik dokter—yang di kota besar bisa didapat di 3 RS berbeda—yang hilang karena bertugas di daerah yang rumah sakitnya hanya satu.
Dokter dan bidan dari Puskesmas Sarereiket memberikan imunisasi pada bayi di balai adat Desa Matotonan, Siberut Selatan, Mentawai, Sumatera Barat, Senin (7/7/2025). Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO
Budi menghitung, pendapatan dokter spesialis berstatus PNS, sebelum insentif, bisa mencapai Rp 40-50 juta per bulan. Jumlah itu terdiri dari gaji PNS Rp 5 juta, tunjangan kinerja Rp 15 juta, jasa pelayanan Rp 15 juta, dan fasilitas lain dari pemda seperti rumah atau mobil dinas, atau uang Rp 10-30 juta. Jika ditambah insentif sesuai Perpres 81/2025, kata Budi, pendapatan yang didapat bisa mencapai Rp 60-80 juta per bulan.
"Saya rasa sih mau Rp 60-80 juta sebulan [tugas] ke Anambas (Riau), kan lumayan," ujar Budi.
Terkait kekhawatiran lulusan tak terserap, Budi mengeklaim hal itu tak akan terjadi di program PPDS hospital based. Sebab program ini dikhususkan bagi putra-putri daerah yang ingin menempuh PPDS di RS pendidikan terdekat. Sehingga begitu lulus, peserta tersebut bakal langsung bertugas di sana.
"Orang yang berasal dari daerah yang rumah sakitnya belum ada dokter spesialis justru mendapatkan prioritas untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis. Sehingga masalah pemerataan dokter spesialis ini bisa terselesaikan," tutup Budi.