Harimau Mati Meninggalkan Sejarah - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Harimau Mati Meninggalkan Sejarah
Aug 11th 2025, 11:46 by Budi Gustaman

Lukisan Raden Saleh berjudul "Koningstijger met prooi (1866)". (Sumber: wikimedia commons [public domain]).
Lukisan Raden Saleh berjudul "Koningstijger met prooi (1866)". (Sumber: wikimedia commons [public domain]).

Dalam hubungan antara manusia dan satwa liar, salah satu persoalan yang signifikan dan relevan adalah konflik antara manusia dan harimau. Pada awal tahun 2025 ini, Kompas.com menyajikan kuantitas konflik manusia-harimau di Sumatera yang mencapai 1.061 kasus selama 15 tahun terakhir. Pada periode tersebut, sebanyak 184 orang diserang harimau, sedangkan 130 ekor harimau terbunuh atau direlokasi dari habitatnya. Pada akhirnya, ada satu kata yang menjadi simpulan atas konflik tersebut: rumit!

Jika harimau Sumatra tengah mengalami berbagai keterancaman, kolega satu spesiesnya, Harimau Jawa telah dinyatakan punah sejak medio 1970-an berdasarkan data resmi yang dirilis IUCN (International Union for Conservation of Nature) Red List. Konflik dengan manusia dalam bentuk perburuan dan perambahan habitat merupakan sebab bagi punahnya spesies dengan nama latin Panthera tigris sondaica tersebut.

Berkaca pada kondisi tersebut, perbedaan perspektif sejatinya menjadi akar dari konflik satwa liar. Di satu sisi, penyerangan oleh harimau memunculkan stigma 'hama' atau 'ancaman' yang mengharuskan satwa buas tersebut untuk dibunuh karena dianggap mengancam nyawa dan merugikan dari sisi ekonomi. Di sisi lain, kacamata konservasi menganggap bahwa penyerangan satwa liar adalah dampak langsung dari perambahan habitat. Logika berpikir ini dilegalkan undang-undang, yang menghendaki perlindungan yang ketat terhadap keberlangsungan spesies-spesies yang terlibat dalam pusaran konflik. Serba salah memang, tapi tidak salah jika sedikit merefleksikan sejarah.

Sejarah Mengubah Perspektif

Hubungan antara masyarakat dan harimau pada masa lalu setidaknya bisa dirangkum dalam dua kata: berdamai dan bertikai. Untuk kosakata pertama, ruang hidup yang saling berdampingan di sepanjang Sumatra, Jawa, dan Bali, memunculkan bentuk sakralisasi harimau. Setidaknya kondisi ini bisa terlihat dalam pemaknaan dan penyebutan nenek atau opung (Aceh & Sumatra Utara), inyiak (Sumatra Barat), datuk, inyik, atau hangtuo (Jambi & Bengkulu), serta nek ngau atau setue (Sumatra Selatan). Selain itu, di Tatar Sunda, harimau lekat dengan mitos maung Prabu Siliwangi. Pun dengan mitos macan putih di Jawa Timur. Melalui mitos dan ritual, masyarakat di Jawa dan Sumatra seakan hidup 'berdamai' dengan kebuasan dan kekuatan yang dianggap lebih besar dari manusia.

Masuknya kepentingan kolonial mulai mengubah cara pandang terhadap harimau menjadi hama, yang mengharuskan untuk dilakukannya perburuan, bahkan pemusnahan. Narasi tentang harimau sebagai pemangsa melekat kuat dalam paradigma masyarakat kolonial. Untuk itu, istilah tijgerplaag atau wabah harimau kerap hadir dalam benak orang Eropa, yang secara tekstual dihadirkan dalam tajuk-tajuk berita pada koran kolonial sepanjang medio abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada posisi ini lah manusia dan harimau 'bertikai' satu sama lain dalam memperebutkan ruang hidup.

Realitas yang hadir kemudian memposisikan harimau sebagai sebuah ketakutan kolektif seiring dengan jatuhnya puluhan hingga ratusan korban akibat pemangsaan oleh harimau pada setiap tahunnya. Misalnya, 1850 misal terlapor ada 200 kasus pemangsaan di Jawa, dan 400 di Sumatera. Bahkan, di satu wilayah saja, dilaporkan ada 675 korban pada 1820 di Lampung. Kuantitas yang besar membentuk sebuah ketakutan kolektif di mata Pemerintah Kolonial. Untuk itu, kewajiban membunuh pun diberlakukan secara regional di beberapa 'zona merah' seperti di Palembang pada 1853, di Pantai Barat Sumatra pada 1854, di Bengkulu pada 1855, serta Lampung pada 1856 berdasarkan data yang dilansir Koloniaal Verslag 1854- 1857. Selanjutnya, regulasi yang sama diberlakukan secara 'nasional' melalui regulasi perburuan satwa-satwa berbahaya pada 1862, berdasarkan Staatsblad No. 84 Tahun 1862. Regulasi ini menjadi semacam aturan dengan iming-iming hadiah untuk setiap penangkapan spesies buas, yakni harimau dan buaya.

Pada aturannya, harimau berukuran besar dihargai sebesar 30 gulden, macan tutul dihargai 10 gulden, buaya yang panjangnya lebih dari 6 kaki dihargai 3 gulden, buaya yang kurang dari 6 kaki 1 gulden, serta perburuan telur buaya 10 sen. Tingginya hadiah bagi para pemburu harimau berbanding lurus dengan urgensi dan tingkat bahaya dari satwa buas tersebut di banyak daerah di Jawa dan Sumatra. Pemberlakuan regulasi tersebut kemudian memunculkan praktik-praktik perburuan yang dilakukan oleh pemburu profesional, satuan polisi lapangan, tentara dalam satuan Komando Perburuan (Jachtcommando), serta masyarakat lokal.

Untuk poin terakhir, pemberantasan harimau di beberapa daerah cenderung tidak berjalan baik seiring dengan kentalnya kepercayaan masyarakat lokal terhadap harimau. Koran de Sumatra Post edisi 17 Desember 1900 misalnya menarasikan bahwa meskipun harimau kerap menyerang, masyarakat di Airbangis (Sumatra Barat) enggan untuk berburu karena pertemuan dengan harimau dianggap nasib buruk atau kutukan.

Deforestasi sebagai Akar Konflik

Secara kausalitas, tingginya angka konflik manusia-harimau pada dasarnya berbanding lurus dengan besarnya penetrasi kolonial di pedalaman Jawa dan Sumatra melalui kebijakan perluasan perkebunan. Setidaknya, aktualisasi dari kebijakan Cultuurstelsel 1830, Agrarische Wet 1870, serta kebijakan kolonial lainnya memiliki andil dalam pembukaan lahan, yang notabene merupakan Harimau Jawa dan Harimau Sumatra.

Deforestasi besar-besaran secara kuantitas terjadi di Hindia Belanda akibat intervensi dan penetrasi kolonial. Dalam Ecology of Java & Bali (1999), Tony Whitten menarasikan bahwa pada periode 1898-1937, seluas 22.000 km2 hutan hilang di Hindia Belanda karena eksploitasi kayu untuk perluasan jaringan kereta api. Secara khusus, seluas 10,6 juta ha hutan di Jawa pada abad ke-18, turun drastis menjadi hanya 3,3 juta ha pada awal abad ke-20. Kurang lebih selama 100 tahun, Pulau Jawa telah kehilangan hutan lebih dari 70%.

Jika dipandang dari logika konservasi, satwa liar dan habitatnya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Terganggunya habitat melalui eksploitasi hutan, pembukaan hutan, dan kebakaran hutan akan membuat satwa liar berpindah mencari rumah baru. Pakar konservasi satwa liar, Hadi S. Alikodra dalam Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati (2010) menarasikan bahwa satwa-satwa liar seperti gajah, badak, orangutan, dan banteng merupakan satwa liar yang sensitif apabila habitatnya terganggu. Mereka akan keluar hutan guna mencari habitat baru. Kasus gajah yang menyerang perkebunan ataupun harimau yang masuk perkampungan merupakan konsekuensi langsung dari persoalan ekologis yang terpola.

Peter Boomgaard dalam Frontiers of Fear Tigers and People in The Malay World 1600-1950 (2001) menggambarkan logika tersebut melalui pola pertemuan antara manusia dan harimau pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menurutnya, harimau hidup pada kondisi di mana terdapat makanan yang cukup, ketersediaan air, serta tempat yang memungkinkan dibuatnya sarang agar terhindar dari terik.

Harimau mencari makan di zona ecotone (wilayah pinggiran hutan), yang menjadi habitat bagi babi, kijang, banteng, dan satwa lainnya. Seiring dengan pembukaan hutan, di zona ini pula manusia beraktivitas, seperti berladang, berkebun, dan bermukim. Secara otomatis, pertemuan antara manusia dan satwa liar pun menjadi tak terhindarkan.

Tak Tersentuh Angin Konservasi

Menjelang abad ke-20, isu kepunahan satwa liar mengemuka secara global, dan memposisikan Belanda dan Hindia Belanda pada kecaman dunia, seiring dengan banyaknya spesies yang diburu dan diperdagangkan secara masif dan eksploitatif. Meskipun keviralannya diwakili oleh spesies berbulu indah, Cenderawasih, seluruh spesies yang menjadi komoditas turut serta disorot sehingga memaksa pemerintah kolonial untuk melindungi satwa liar dari ancaman kepunahan akibat aktivitas perburuan dan perdagangan.

Namun, angin konservasi yang berhembus dari Eropa pada awal abad ke-20 tersebut tidak serta merta menjadikan harimau sebagai satwa yang dilindungi. Alih-alih dilindungi, UU Perlindungan Mamalia & Burung Liar 1909 (Ordonantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels 1909) masih menghalalkan perburuan harimau. Harimau masih berada pada posisi 'pesakitan' karena masih dianggap membahayakan.

Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pemberitaan perihal wabah harimau pada koran-koran terbitan Jawa dan Sumatra sepanjang dekade 1900-an hingga 1940-an. Bahkan, menjelang akhir masa kolonial, pemberitaan tentang bahaya harimau masih dinarasikan. Misalnya, De Indische Courant edisi 7 November 1941 memberitakan perihal penerkaman seorang penyadap karet di wilayah Riau. Untuk itu lah regulasi Peraturan Perburuan di Jawa & Madura 1940 (Jachtverordering Java en Madoera 1940) masih melegalkan perburuan harimau dengan syarat adanya lisensi berburu.

Pada hakikatnya, sejarah telah mewariskan dampak dari seluruh rantai kondisi dalam lingkup perubahan perspektif terhadap harimau di masa lalu. Suatu kondisi yang sekarang dianggap rumit bagi sebuah kesalahan jangka panjang berupa deforestasi yang merambah habitat liar. Akibatnya, terjadi kebiasan dalam menilai kebuasan harimau dan satwa liar lainnya, terutama perihal batas antara rumah manusia dan rumah satwa liar.

Batasan ini lah yang harus dipikirkan ulang, salah satunya melalui penataan (kembali) tata ruang dan penegasan izin perambahan hutan yang tidak melanggar hak asasi satwa liar. Jika pola kesalahan tersebut terus terulang, maka tidak heran jika sisa-sisa populasi Harimau Sumatera akan terus menyusut karena terus-terusan di-judge sebagai perusak yang harus dibunuh. Dan jika hal ini terjadi, cerita tentang kepunahan harimau hanya akan menambah peribahasa baru: harimau mati meninggalkan sejarah!

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url