Lokasi temuan endapan jejak tsunami purba oleh BRIN di Kulon Progo. Foto: BRIN
Tim dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menemukan jejak endapan tsunami purba di wilayah pesisir selatan Jawa, termasuk di dekat Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) Kulon Progo.
Survei dilakukan pada Mei 2025 di sejumlah titik di Kabupaten Kulon Progo, Bantul, dan Gunungkidul. Riset ini merupakan kelanjutan dari studi sebelumnya yang menemukan endapan tsunami purba berusia sekitar 1.800 tahun.
"Menariknya, kami juga menemukan lapisan-lapisan yang lebih muda di Kulon Progo ini. Lapisan-lapisan yang lebih muda ini sebelumnya sudah kami temukan di lokasi lain seperti di Lebak dan Pangandaran, yang menunjukkan bahwa kejadian tsunami besar kemungkinan telah berulang lebih dari sekali di wilayah ini," ujar Purna Sulastya Putra, periset bidang sedimentologi BRIN, dikutip dari laman resmi BRIN, Selasa (15/7).
Purna menyebut, lokasi temuan terbaru berada sekitar dua kilometer di sebelah timur Bandara YIA. Bandara tersebut terletak hanya sekitar 300 meter dari garis pantai dan belum dilengkapi infrastruktur penahan tsunami.
Bandara YIA Kulon Progo Foto: Dok. Kemenparekraf
Ia membandingkan dengan Bandara Sendai di Jepang yang berjarak satu kilometer dari garis pantai dan telah memiliki tanggul serta hutan buatan sebagai pelindung. Namun, bandara itu tetap terdampak berat saat tsunami Tohoku terjadi pada 2011.
"Dengan pesatnya pembangunan di wilayah ini, riset kebencanaan geologi menjadi semakin penting untuk memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan dan mitigasi risiko. Salah satunya adalah melalui kajian paleotsunami," tambahnya.
Menurut Purna, keberadaan YIA turut mendorong pertumbuhan kawasan sekitarnya, termasuk pembangunan hotel, restoran, dan destinasi wisata. Namun, pertumbuhan tersebut juga meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana alam seperti tsunami.
BRIN menekankan pentingnya menjadikan hasil riset sebagai dasar perencanaan pembangunan, terutama di wilayah yang memiliki potensi bahaya geologi.
"Dengan kolaborasi antarpemangku kepentingan, hasil riset seperti ini diharapkan tidak berhenti sebagai dokumen ilmiah, melainkan menjadi pijakan nyata dalam mewujudkan pembangunan yang adaptif, aman, dan berkelanjutan," ujar Purna.
Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia berada di jalur pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, sehingga memiliki risiko tinggi terhadap gempa bumi dan tsunami. Kajian paleotsunami dinilai krusial untuk mempelajari pola bencana masa lalu sebagai bahan mitigasi di masa depan.