Nov 18th 2024, 11:15, by Habib Allbi Ferdian, kumparanTECH
Sekelompok ilmuwan di Harvard University berhasil mengembangkan model artificial intelligence (AI) yang berfungsi untuk menemukan obat baru dan berpotensi digunakan dalam perawatan penyakit langka. Model AI ini bahkan bisa digunakan oleh para peneliti di seluruh dunia secara gratis.
Laboratorium Zitnik di Harvard memperkenalkan sebuah model AI yang diberi nama TxGNN. Model AI ini memanfaatkan teknologi zero-shot learning untuk mengidentifikasi obat-obatan baru yang sudah ada dan berpotensi bisa digunakan untuk penyakit langka yang belum ada obatnya.
Sementara untuk basisnya, TxGNN mengggunakan pendekatan berbasis Graph Neural Network (GNN) yang memungkinkan analisis hubungan kompleks dalam data medis. TxGNN dilatih menggunakan sejumlah besar data komprehensif mencakup 17.800 penyakit yang dikenali secara klinis dan 7.957 kandidat obat.
Jaringan saraf grafik ini memungkinkan TxGNN untuk memproses berbagai data dan informasi seputar pengobatan, seperti memprediksi indikasi (penggunaan obat yang sesuai) dan kontra-indikasi (situasi di mana obat tidak boleh digunakan) sehingga bisa merekomendasikan obat mana yang paling digunakan dalam suatu penyakit, bahkan untuk kondisi medis yang belum ditangani dengan baik oleh pengobatan konvensional.
Marinka Zitnik, asisten profesor informatika biomedis di Blavatnik Institute di Harvard Medical School (HMS) yang merupakan pemimpin studi, mengatakan saat ini banyak model kecerdasan buatan yang memiliki keterbatasan, terutama ketika berhadapan dengan penyakit langka. Ini disebabkan karena minimnya data yang tersedia untuk kondisi medis langka tersebut.
Selain itu, proses pembuatan obat baru yang banyak dilakukan para peneliti saat ini memang terkesan lama, di mana mereka harus melakukan riset dan uji coba terlebih dahulu sebelum obat benar-benar diberikan kepada manusia. Proses riset ini bisa berlangsung selama 15 tahun dengan biaya mencapai miliaran rupiah.
TxGNN setidaknya mampu menutupi atau mempersempit kesenjangan tersebut dengan memprediksi cara penggunaan obat tanpa pelatihan sebelumnya pada penyakit tertentu. Bahkan, model ini mampu meningkatkan akurasi prediksi hingga 9 persen.
"Di sinilah kita melihat janji AI dalam mengurangi beban penyakit global, dalam menemukan penggunaan baru untuk obat-obatan yang sudah ada, yang juga merupakan cara yang lebih cepat dan hemat biaya untuk mengembangkan terapi daripada merancang obat-obatan baru dari awal," papar Zitnik yang juga merupakan anggota fakultas asosiasi di Kempner Institute for the Study of Natural and Artificial Intelligence di Harvard University.
Dibandingkan dengan model AI lain, alat baru ini 50 persen lebih baik dalam mengidentifikasi kandidat obat. TxGNN juga 35 persen lebih akurat dalam memprediksi obat apa yang memiliki kontraindikasi.
Hadirnya TxGNN diharapkan bisa mengubah arah studi pengobatan dan perawatan penyakit. Alat ini juga bisa mempercepat para ilmuwan dalam mengidentifikasi penyakit langka dan perawatan yang paling cocok serta memiliki efek samping atau kontraindikasi paling rendah. Model AI ini menawarkan solusi menjanjikan dalam mengidentifikasi peluang terapi baru untuk penyakit dengan opsi pengobatan paling efektif.