Jun 14th 2024, 11:51, by Hutri Dirga Harmonis, kumparanWOMAN
5 Mitos KDRT yang Sering Dipercaya, Perempuan Wajib Tahu. Foto: Shutterstock
Fenomena KDRT masih terus menjadi sorotan hingga beberapa waktu terakhir. Apalagi, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dengan korbannya yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Namun sayangnya fenomena KDRT masih diwarnai mispersepsi alias mitos yang dipercaya banyak orang. Ragam mitos yang beredar ini juga membuat rantai KDRT sulit diputuskan.
Lantas, apa saja mitos yang beredar soal KDRT? Simak rangkumannya dari kumparanWOMAN berikut ini, Ladies.
Mitos: KDRT hanya berbentuk kekerasan fisik
Ilustrasi KDRT. Foto: Africa Studio/Shutterstock
KDRT sering kali diasosiasikan sebagai bentuk kekerasan fisik terhadap korban. Padahal, faktanya ada banyak tindakan yang juga termasuk KDRT, seperti kekerasan psikis, penelantaran ekonomi, hingga kekerasan verbal.
Hal ini juga tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yaitu "...perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."
Mitos: KDRT itu aib pribadi
KDRT bukan aib pribadi. Foto: Prostock-studio/Shutterstock
Korban KDRT sering merasa tindakan negatif yang mereka alami adalah aib keluarga. Pandangan ini membuat banyak korban tidak berani mengungkapkan kebenaran ke publik atau bahkan melaporkan pelaku ke pihak berwajib. Menurut Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti, faktanya, KDRT bukan lah aib dan bukan urusan privat, melainkan sudah menjadi urusan hukum negara sehingga sangat perlu untuk dilaporkan.
"Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan urusan pribadi, tapi sudah menjadi urusan negara dan bukan aib. Jadi yang seharusnya merasa itu aib adalah pelaku dan dia harus malu. Tapi yang namanya korban itu tidak pernah bersalah," tutur Eni saat hadir dalam acara kumparan Hangout bertajuk "Lawan KDRT Jemput Indonesia Emas 2045" di kantor kumparan beberapa waktu lalu.
Mitos: KDRT terjadi karena adanya provokasi dari korban
Ilustrasi KDRT. Foto: sdecoret/Shutterstock
Istilah provokasi kerap digunakan untuk mengalihkan kesalahan dari pihak pelaku ke korban. Pandangan ini pada akhirnya hanya membuat pelaku lepas tanggung jawab dari tindakannya. Tapi faktanya, KDRT juga bisa saja terjadi meski pelaku tidak dalam keadaan lepas kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga Federasi Bantuan Wanita Inggris, Women's Aid, mencatat bahwa pelaku sering kali sadar dan memiliki kemampuan untuk memilih waktu kapan akan melakukan tindak kekerasan.
Mitos: korban KDRT bertahan karena cinta
Ilustrasi KDRT. Foto: polkadot_photo/Shutterstock
Tidak sedikit korban KDRT yang memilih untuk tetap bertahan dengan pasangan meski kerap mendapatkan tindakan kekerasan. Namun cinta sering kali hanya menjadi alasan belaka, Ladies. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah korban KDRT –yang kebanyakan perempuan– memilih untuk bertahan dengan pasangannya karena ketergantungan finansial.
Banyak perempuan korban KDRT merasa tidak mampu untuk hidup dan berdiri sendiri jika memilih berpisah dari pasangannya, sehingga mereka memilih untuk tetap diam dan bertahan. Karenanya, Ladies, menjadi perempuan yang mandiri secara finansial sebelum menikah adalah hal yang penting. Dengan begitu, kamu akan memiliki kemampuan untuk mencegah dan melawan tindak KDRT.
Mitos: hanya perempuan yang jadi korban KDRT
Ilustrasi laki-laki jadi korban KDRT. Foto: Q88/Shutterstock
Menurut Komnas Perempuan, korban KDRT memang lebih banyak perempuan. CATAHU 2024 juga mencatat ada 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023. Meski begitu, fakta yang perlu dicatat adalah KDRT juga bisa saja terjadi pada kelompok laki-laki ya, Ladies.
Dikutip dari antaranews, Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, menegaskan bahwa laki-laki juga berisiko menjadi korban KDRT meski angkanya tidak setinggi kasus perempuan. Berdasarkan data yang dihimpun Komnas Perempuan tahun 2020, 90 persen korban KDRT adalah perempuan dan 10 persennya adalah laki-laki.