Ekonomi Pulih, OJK Umumkan Restrukturisasi Kredit Dampak COVID-19 Berakhir
31 Mar, 2024
Halaman ini telah diakses:
Views
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan kebijakan restrukturisasi kredit dampak COVID-19 berakhir hari ini, 31 Maret 2024. OJK memastikan industri perbankan sudah siap mengikuti kebijakan tersebut.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengatakan berakhirnya kebijakan itu seiring dengan pencabutan status pandemi COVID-19 oleh pemerintah pada Juni 2023, serta mempertimbangkan perekonomian Indonesia yang telah pulih dari dampak pandemi, termasuk kondisi sektor riil.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2023 mencapai 5,05 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dan tumbuh 5,04 persen secara kuartalan (quarter to quarter/qtq).
"Stimulus restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dan merupakan kebijakan yang sangat penting (landmark policy) dalam menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi," ujar Mahendra melalui keterangan tertulis, Minggu (31/3).
OJK menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi dinamika perekonomian dengan didukung oleh tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan manajemen risiko yang baik.
Hal ini tercermin dari tercermin dari rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) di level 27,54 persen. Sementara kondisi likuiditas yang ditunjukkan oleh Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 231,14 persen.
Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 123,42 persen serta tingkat rentabilitas yang memadai. Mahendra berharap hal itu dapat menjadi bantalan mitigasi risiko yang solid di tengah kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu.
"Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga di bawah threshold 5 persen yaitu NPL Gross sebesar 2,35 persen dan NPL Nett sebesar 0,79 persen," ujar Mahendra.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan pihaknya telah mempertimbangkan seluruh aspek secara mendalam, yaitu dengan melihat kesiapan industri perbankan, kondisi ekonomi secara makro dan sektoral, serta menjaga kepatuhan terhadap standar internasional.
"Berdasarkan evaluasi dan laporan uji ketahanan perbankan menjelang berakhirnya stimulus, potensi kenaikan risiko kredit atau non performing loan (NPL) dan ketahanan perbankan diproyeksikan masih terjaga dengan sangat baik," ungkap Dian.
Dian menilai outstanding kredit restrukturisasi COVID-19 perbankan terus mengalami penurunan, namun tingkat pencadangan (CKPN) yang dibentuk bank terus meningkat melebihi periode sebelum pandemi.
"Kondisi ini merupakan cerminan kesiapan perbankan yang dinilai telah kembali pada kondisi normal secara terkendali (soft landing) mengakhiri periode stimulus," terang Dian.
Untuk memastikan kelancaran normalisasi kebijakan tersebut, Dian menegaskan bank tetap dapat melanjutkan restrukturisasi kredit COVID-19 yang sudah berjalan. Sedangkan permintaan restrukturisasi kredit baru dapat dilakukan dengan mengacu pada kebijakan normal yang berlaku yaitu POJK No. 40/2019 tentang Kualitas Aset.
Dengan begitu, kata Dian, integritas laporan keuangan perbankan akan semakin baik dan dapat sepenuhnya mengacu pada praktik terbaik yang berlaku sesuai standar keuangan.
"Seiring dengan hal tersebut, OJK senantiasa melakukan langkah pengawasan (supervisory action) untuk memastikan kesiapan setiap bank secara individu," tutur Dian.
Restrukturisasi kredit yang diterbitkan sejak awal 2020 telah banyak dimanfaatkan oleh para debitur, terutama pelaku UMKM.
Sebanyak 75 persen dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM atau sebanyak 4,96 juta debitur dengan total outstanding Rp 348,8 triliun.
Selama empat tahun implementasi, pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit ini telah mencapai Rp 830,2 triliun, yang diberikan kepada 6,68 juta debitur pada Oktober 2020. Nilai tersebut merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Pada Januari 2024, outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 telah menurun signifikan menjadi Rp 251,2 triliun yang diberikan kepada 977 ribu debitur.