TEMPO Interaktif, Jakarta - Vice President Indonesia Petrolium Association , Sammy Hamzah, mempertanyakan, dasar dari pertimbangan Direktorat Jenderal Pajak soal perselisihan dalam perhitungan pajak minyak dan gas yang belakangan ramai dibicarakan.
Para pengusaha migas berkukuh bahwa tidak ada kekeliruan dalam perhitungan mereka selama ini. Sammy juga membantah pernyataan yang menyatakan bahwa pajak kemudian mengakibatkan porsi pembagian hasil produksi migas untuk negara berkurang."Itu tidak ada, perubahan pajak tidak mengubah split bagi hasil. Tetap sesuai kontrak," ujarnya, Senin 1 Agustus 2011.
Hitungan pajak juga dilakukan sangat rinci, para kontraktor memilih sistem pajak sesuai dengan kontrak yang dijalin. Dia menjelaskan, sebelum kontrak terjalin para kontraktor biasanya diberikan pilihan oleh pemerintah apakah memilih sistem pajak sesuai dengan yang saat itu berlaku atau pajak yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan waktu."Karena investasi migas jangka panjang, maka kami pilih sistem yang tetap yang saat itu berlaku," kata Sammy.
Mengenai ribut-ribut soal traktat pajak atau tax treaty , dia memaparkan bahwa traktat itu adalah ketentuan umum. Tidak hanya berlaku di sektor migas , tapi juga di sektor lainnya. Traktat itu adalah kesepakatan yang dicapai oleh dua negara , mengenai wacana mau dicabutnya tax treaty dari kontrak migas, Sammy mengaku tidak mengerti pertimbangan pemerintah atas kebijakan tersebut."Apakah artinya tidak mengakui hak negara lain, saya juga tidak paham maksud ditjen pajak."
Dia menegaskan, kontrak juga merupakan suatu bentuk hukum yang harus dihormati oleh kedua belah pihak. Perihal rencana penerbitan SKP oleh Ditjen Pajak untuk menagih kekurangan bayar sebesar Rp 1,6 triliun kepada belasan kontraktor migas, Sammy menyerahkan hal tersebut kepada masing-masing kontraktor."Prinsipnya kalau kita tidak ada kewajiban kita tidak harus bayar pajak," tegasnya.
GUSTIDHA BUDIARTIE