TEMPO Interaktif, Jakarta - Kehadiran protokol krisis di tengah ancaman krisis global saat ini disebut sangat mendesak. Ekonom dan bankir berharap, parlemen segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan. "Yang dikhawatirkan kalau terjadi nervous, di mana pasarnya menjadi irasional, maka semua orang akan melepas portofolionya," ujar ekonom Chatib Basri saat dihubungi Tempo menanggapi dampak krisis Amerika pada Indonesia, Senin 8 Agustus 2011.
Apabila investor-investor tersebut melakukan aksi lepas portofolio, maka pasar domestik akan kekurangan likuiditas. Yang akan terpukul adalah dunia perbankan. Jika perbankan kolaps, maka tidak ada jaring pengaman keuangan yang pasti. Karena belum ada payung hukum yang jelas untuk protokol krisis penyelamatan bank.
Sementara itu, saat ini, hampir tidak ada pihak yang berwenang secara hukum untuk menyelamatkan bank yang kolaps. "Semua orang takut mengambil tindak menyelamatkan bank," katanya. Karena takut dituding melakukan tindakan kriminal, seperti yang pernah dituduhkan pada mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani karena telah menyelamatkan Bank Century saat itu.
Maka dari itu, kata Chatib, ini saat yang tepat untuk mematangkan rancangan undang-undang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan. "Karena kalau terjadi apa-apa, kalau menurut saya, enggak ada yang mau nanggung," kata Chatib.
Chatib melanjutkan, jika RUU JPSK molor lagi, akan berdampak serius pada penanganan krisis dalam negeri. "Dan kalau terjadi krisis, itu jadi tanggung jawab parlemen," katanya lagi.
Direktur Utama Bank CIMB Niaga Arwin Rasyid menyatakan, pembentukan protokol krisis dan penuntasan RUU JPSK memang sangat mendesak. "Sementara ini protokol krisis ini pasti masih di BI dan Menteri Keuangan, hanya saja cepat dong tuntaskan RUU JPSK ini," kata Arwin saat ditemui Tempo di Graha CIMB Niaga usai konferensi pers kinerja semester I-2011 hari ini.
Apalagi, pembicaraan mengenai protokol krisis dalam RUU JPSK ini sudah sejak tahun 2000 silam, dan rencananya akan direalisasi pada 2004. Arwin melanjutkan, pemerintah jangan bertele-tele lagi. "Kalau iya-iya, kalau enggak-enggak," katanya.
Sementara itu Bank Indonesia melalui Direktur Riset dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo lewat pesan pendek kepada Tempo menyatakan, dampak krisis saat ini masih bisa diatasi dengan prosedur yang ada. Ia tak menjelaskan secara detail prosedur yang dimaksud.
Tapi, Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti berpendapat lain. Menurut Destry, prosedur penyelamatan krisis tak bisa menunggu RUU JPSK. Pemerintah harus membentuk pos-pos penyelamatan sendiri.
Misal seperti yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan di instrumen bonds atau surat utang. "Kalau turun berapa persen, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan," terang Destry saat dihubungi Tempo hari ini. Termasuk pos-pos penyelamatan di pasar saham. Seperti kondisi saat ini.
Manajemen Protokol Krisis ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyiapkan aturan tentang tata cara atau protokol penanganan krisis ekonomi ini sebagai payung hukum bagi pejabat dalam menggunakan dana negara untuk penanganan krisis secara cepat. Tapi hingga saat ini, pembahasannya masih molor di gedung Dewan.
FEBRIANA FIRDAUS