TEMPO Interaktif, Yogyakarta -Dari perut seekor gajah, pisau-pisau itu menyembul keluar. Menjalar seperti akar tanaman dengan mata cungkil tertancap di masing-masing ujungnya. Telinganya yang lebar mengibas-ibas, mulutnya mengagah. Adapun belalainya terdongak ke atas dan membuat dua gading berujung runcing miliknya sangar terpamerkan.
Berjalan gagah, sebuah bayangan terbentuk dari badannya yang tambun dan tegap. Namun bukannya belalai panjang, telinga lebar dan gading runcing yang muncul dalam bayangan itu, melainkan siluet celeng atawa babi hutan.
Itulah salah satu karya Irwanto Lentho yang dipajang dalam pameran tunggal berjudul Sang Pencukil di Bentara Budaya Yogyakarta yang berlangsung dari tanggal 5-13 Agustus 2011. Berjudul Studi Banding.... WOODCUT hehe, karya itu berupa patung kayu dengan tinggi sekitar 30 sentimeter. Selain lekukan tubuh gajah yang nyaris sempurna, Irwanto terlihat detail menggurat kayu pada permukaan patung hingga bentuknya menyerupai kontur gajah sebenarnya.
"Ini karya terbaru saya," kata Irwanto, perupa berusia 32 tahun kelahiran Sukoharjo pada Tempo, Sabtu (6/8) malam kemarin. Dalam rangkaian pameran Sang Pencukil sebelumnya, Studi Banding.... WOODCUT hehe belum dia buat. "Sekarang saya tambahkan."
Yogyakarta memang menjadi kota terakhir dalam safari pameran Irwanto bertema Sang Pencukil. Dimulai Mei lalu di Jakarta, pameran berlanjut ke Bali pada Juni. Keduanya mengambil lokasi di Bentara Budaya. Pada Juli, pameran kembali berlangsung di Balai Soedjatmiko Solo dan berakhir di Bentara Budaya Yogyakarta.
Dengan karya terbarunya itu, Irwanto berusaha memperjelas batasan antara teknik mematung dan mencukil. Dalam bahasa Inggris, pencukil disebut dengan the engraver. "Pada kata itu berarti pemahat," kata dia. Secara teknik pun, memahat dan mencukil berbeda. "Mencukil itu semacam menarik keluar," kata dia mencoba memberi perbandingan dengan memahat.
Dalam berkarya, Irwanto mempertahankan teknik cukil yang telah lazim digunakan. Cara kerjanya mirip stempel. Awalnya klise dibuat dengan mencukil gambar yang akan dicetak pada hardboardcut dan kemudian dicapkan pada kanvas. Setidaknya ada 30 karya Irwanto di Bentara Budaya Yogyakarta kali ini. Jumlah itu lebih sedikit dari karya yang dipamerkan di Bali (hingga mencapai 33 karya) dan lebih banyak dari yang dipamerkan di Solo (hanya 20 karya).
Tak hanya hasil karya jadi, dalam tiap pamerannya, Irwanto sekaligus memboyong cetakan karyanya. Misalnya saja, di Bentara Budaya Yogyakarta, karya berjudul Terjebak Dalam Suatu Pemikiran, Gift Porter dan Mengantar Pesan Manis. Namun demikian, tak semua karya hadir bersama cetakannya. Karya berjudul Puteri Seni Indonesia, 3 In Dog dan What You Ought To Know misalnya, hanya berupa karya jadinya saja.
"Beberapa cetakan memang ada yang sudah rusak, jadi tak bisa ikut dipamerkan," kata dia.
Dalam mencungkil, garis-garis yang dihasilkan oleh Irwanto terlihat liar. Tak beraturan. Gift Porter misalnya, cukilan Irwanto membentuk sebuah objek berupa gambar sepeda dengan dua pengayuh untuk dua penungganya. Terinspirasi oleh bentuk sepeda wisata yang biasa ditemuinya di Alun-Alun Kidul, sepeda dalam karyanya ditunggangi dua perempuan dan ditarik sejumlah binatang, menyerupai babi dan anjing.
Dalam karya itu, terlihat objek gambar Irwanto dihasilkan dari merangkai satu bentuk lingkaran satu dan lain hingga membentuk objek yang diinginkan. Adapun garis-garis lurus –panjang dan pendek- lebih banyak mendominasi pengisi ruang dan gambar dekoratif karya. Bentuk dan gaya karya semacam itu ditemui pada karya Irwanto yang lain.
Mencukil, kata dia, memang njlimet. Perupa harus memikirkan dua hal, bentuk cetakan dan hasilnya yang kadang saling berlawanan sisinya. Gambar yang dihasilkan pun, terdiri dari ribuan –atau bahkan lebih banyak lagi- cukilan. Bagi Irwanto yang biasa menyelesaikan satu karya dalam 10 hari, dia tak ingin menambah keruwetan mencukil itu. Garis berupa lingkaran itu, dianggapnya mempermudah pekerjaan. "Saya ingin katakan, mencukil tak sesulit yang dibayangkan," kata dia.
Melalui empat pamerannya, Sang Pencukil, Irwanto mentahbiskan dirinya sebagai pencukil. Dalam dunia akademis, mencukil merupakan bagian dari seni grafis. Ini membuat mencukil berbeda dengan memahat dan mematung yang telah berdiri sendiri. Sang Pencukil, menjadi semacam upaya mencukil berdiri sendiri.
Kurator Sang Pencukil, Aminudin TH Siregar, menyebutkan Sang Pencukil sekaligus menyarankan sebuah pernyataan sikap yang menegaskan posisi di tengah medan sosial. Istilah pencukil dapat menjadi pembeda dengan istilah lain yang setara, semisal pelukis, pemahat dan pematung. Ini menarik. Pasalnya, sang pencukil memungkinkan penambahan bendahara seni rupa. Secara khusus, kata pencukil akan langsung mengarah pada perupa yang mengerjakan teknik mencukil.
ANANG ZAKARIA