Sejarah Kebangkitan Agama Buddha dan Toleransi Kehidupan Beragama di Kaloran - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Sejarah Kebangkitan Agama Buddha dan Toleransi Kehidupan Beragama di Kaloran
Dec 16th 2025, 12:00 by Abu Sofyan Maldini

Vihara Bodhi Dharma Loka di Dusun Kendal, Desa Gandon, Kecamatan Kaloran. Dok pribadi
Vihara Bodhi Dharma Loka di Dusun Kendal, Desa Gandon, Kecamatan Kaloran. Dok pribadi

Ada hal unik ketika berada di daerah Kaloran, sebuah kecamatan di Kabupaten Temanggung. Di sana terdapat pemandangan yang berbeda dan jarang dijumpai di tempat lain, banyak di jumpai Vihara ( tempat peribadatan umat Buddha) di sepanjang jalur alternatif Temanggung-Semarang. Hal ini karena sebagian masyarakat di Kecamatan Kaloran memeluk agama Buddha. Lantas bagaimana agama Buddha dapat ada dan berkembang di sana? Lalu seperti apa kehidupan antar umat beragama di daerah Kaloran?

Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Agama Buddha di Kaloran

Sebelum kehadiran Agama Buddha, masyarakat di daerah Kaloran mayoritas masih memeluk kepercayaan lokal (Kejawen) dan Islam abangan. Pasca peristiwa gejolak di tahun 1965, Agama Buddha mulai masuk dan berkembang di wilayah ini. Ketika awal kekuasaan Orde Baru, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur setiap warga negaranya untuk memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha). Karena tekanan sosial dan politik pada waktu itu, memaksa masyarakat di Kaloran meninggalkan kepercayaan lamanya dan memilih agama barunya yang diakui pemerintah.

Wawancara bersama Udijatno, salah satu penyebar Agama Buddha   di Kaloran. Dok pribadi
Wawancara bersama Udijatno, salah satu penyebar Agama Buddha di Kaloran. Dok pribadi

Kemudian Agama Buddha mulai berkembang berkat kehadiran tokoh-tokoh yang menyebarkan agama ini, antara lain Romo Wanoro Mangundjojo (Kepala Desa Getas), Romo Surahmat Mangun Sudarmo (Kepala Desa Kalimanggis), Romo Samsu Tjokro Wardojo (Kepala Desa Tleter), Romo Rusdi (Kepala Desa Tlogowungu), Soegito (Kepala Sekolah), Ngardjo Marto Wijono (Pensiunan Polri), Tjipto Martojo (Carik Desa Getas), Marsaat (Tetua Desa Getas), Suwarno (Carik Desa Tlogowungu). Tokoh-tokoh tersebut lebih dikenal oleh umat Buddha di sana dengan sebutan tokoh sembilan. Mereka memiliki peranan besar dalam menyiarkan Agama Buddha hingga ke pelosok desa. Berkat pengaruh tokoh sembilan tokoh ini banyak masyarakat di wilayah Kaloran, kemudian tertarik untuk memeluk Agama Buddha.

Catatan Udijatno: Sejarah Singkat Bangkitnya Agama   Buddha   Kecamatan Kaloran. Dok Pribadi
Catatan Udijatno: Sejarah Singkat Bangkitnya Agama Buddha Kecamatan Kaloran. Dok Pribadi

Semakin banyaknya masyarakat yang memeluk Agama Buddha, pada 1 Juni 1968 umat Buddha di Kaloran kemudian mendeklarasikan kebangkitan Agama Buddha di rumah seorang pendeta Katolik bernama Y. Sutrisno, dan dihadiri kurang lebih 500 orang. Setelah deklarasi tersebut, Agama Buddha menjadi agama resmi yang diakui oleh masyarakat di Kaloran (catatan Udijatno).

Toleransi dan Harmoni dalam Keberagaman Beragama

Hingga saat ini Agama Buddha menjadi salah satu agama dengan penganut terbanyak di Kaloran. Dikutip dari Buddhazine.com, pada tahun 2015 tercatat sekitar 8.000 masyarakat di Kaloran menganut Agama Buddha dan tersebar 46 Vihara yang tersebar di berbagai desa. Keberadaan Agama Buddha menunjukkan keberagaman umat beragama di sana. Walaupun hidup dalam perbedaan, umat Buddha di Kaloran tetap hidup rukun dengan penganut agama lainnya. Seperti yang ada di Dusun Porot, Desa Getas, terdapat tiga agama dalam satu lingkungan masyarakat (Islam, Kristen, dan Buddha). Terdapat Masjid, Gereja, dan Vihara yang saling berdekatan. Penduduk di sana tidak mempermasalahkan adanya perbedaan terebut. Mereka saling menghormati satu sama lain sehingga toleransi antar umat agama lain dapat terjalin dengan baik.

Selain itu, harmoni dalam keberagaman juga nampak dalam perayaan hari besar keagamaan, seperti yang ada di Dusun Geblog, Desa Tlogowungu. Terdapat dua Agama yang dianut masyarakat di sana, yaitu Islam dan Buddha. Ketika umat Buddha mengadakan acara untuk merayakan Waisak, masyarakat Islam mereka membantu dalam penyelengaraan acara tersebut. Para pria menjaga keamanan dan para wanita membantu menyiapkan konsumsi. Selain itu, ketika umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri, orang-orang Buddha melakukan sesuatu yang unik. Mereka juga membuka pintu rumah, mempersilahkan siapa saja untuk bersilaturahmi saling bermaaf-maafan di hari Lebaran.

Agama Buddha di sana lahir melalui sejarah yang panjang dan adaptasi dengan lingkungan masyarakat yang beragam sehingga dapat berkembang seperti sekarang. Keberadaan umat Buddha di Kaloran menunjukkan bagaimana keberagaman yang ada di sana. Ketika setiap orang saling menghormati perbedaan satu sama lain, toleransi antar umat agama lain dapat terjalin dengan baik.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url