Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
Australia resmi menjadi negara pertama di dunia yang melarang penggunaan akun media sosial bagi anak berusia di bawah 16 tahun. Kebijakan ini mulai berlaku sejak Rabu, 10 Desember 2025, dan berdampak pada jutaan anak serta remaja yang harus kehilangan akses ke akun media sosial mereka.
Sejumlah platform besar seperti Facebook, Instagram, Threads, YouTube, Snapchat, Reddit, Kick, Twitch, hingga TikTok, telah mengonfirmasi kepatuhan terhadap regulasi tersebut. Platform-platform ini mengambil langkah aktif dengan menghapus akun milik pengguna di bawah usia 16 tahun di Australia serta mencegah pendaftaran akun baru oleh kelompok usia tersebut.
Menariknya, regulasi ini tidak memberikan sanksi kepada orang tua maupun anak-anak yang melanggar. Sebaliknya, denda akan dikenakan kepada platform media sosial yang terbukti mengizinkan anak di bawah usia 16 tahun untuk membuat atau memiliki akun.
Ilustrasi anak bermain media sosial. Foto: charnsitr/Shutterstock
Tanggapan Psikolog soal Australia Larang Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun
Psikolog Pendidikan, Madeline Jessica, M.Psi, Psikolog, menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada usia yang benar-benar ideal dan berlaku universal bagi semua anak untuk mulai menggunakan media sosial.
"Karena setiap anak berbeda dalam kematangan emosional, sosial, dan kognitif, maka 'waktu yang tepat' sangat tergantung individu, konteks keluarga, supervisi orang tua, dan cara penggunaan," ucap Madeline kepada kumparanMOM, Kamis (11/12).
Ia juga menambahkan bahwa anak usia sekitar 13–18 tahun merupakan periode penting dalam perkembangan identitas, interaksi dengan teman sebaya, dan eksplorasi sosial. Media sosial bisa memfasilitasi proses tersebut, tetapi juga dapat mengompromikannya bila tidak digunakan dengan tepat.
Dampak Media Sosial Jika Digunakan Terlalu Dini
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
Berbagai penelitian menunjukkan adanya potensi dampak negatif ketika anak memiliki media sosial sebelum matang secara emosional dan sosial, terutama bila penggunaannya intens dan minim pengawasan. Beberapa risiko yang dapat muncul antara lain:
1. Risiko kesehatan mental, seperti meningkatnya gejala depresi, kecemasan, dan stres.
2. Gangguan tidur, termasuk penurunan kualitas tidur dan gangguan ritme biologis akibat paparan layar sebelum tidur.
3. Risiko sosial dan keamanan, seperti cyberbullying, pelanggaran privasi, serta paparan konten yang tidak sesuai usia (seksual, kekerasan, atau konten negatif lainnya).
4. Penurunan fokus dan prestasi akademik, serta berkurangnya kualitas interaksi sosial tatap muka jika media sosial menggantikan waktu belajar, tidur, dan aktivitas fisik.
"Namun di sisi lain, media sosial juga bisa memberi manfaat (komunikasi, informasi, kreativitas, koneksi sosial), jika digunakan secara bijak dan dengan pendampingan," tuturnya.
Apakah Aturan Serupa Bisa Diterapkan di Indonesia?
Ilustrasi kaum millenial bermain sosial media. Foto: Shutter Stock
Terkait kemungkinan penerapan kebijakan serupa di Indonesia, Madeline menilai hal tersebut secara teori memungkinkan. Mengingat berbagai risiko yang dihadapi anak dan remaja ketika terpapar media sosial terlalu dini, isu pembatasan usia dan regulasi platform digital memang sudah mulai banyak dibicarakan di Indonesia.
Namun, penerapannya tidak sederhana. Diperlukan sistem verifikasi usia yang kuat, komitmen platform, serta dukungan literasi digital yang melibatkan orang tua, sekolah, dan masyarakat. Regulasi saja tidak cukup tanpa edukasi dan pendampingan yang berkelanjutan.
"Di Indonesia hingga saat ini belum ada regulasi nasional yang melarang secara tegas anak di bawah umur tertentu untuk memiliki akun media sosial. Jadi perubahan seperti di Australia memerlukan upaya kebijakan, kesadaran bersama, dan implementasi hati-hati agar tidak berdampak negatif (misalnya membuat anak beralih ke platform alternatif tanpa regulasi)," imbuh Madeline.