Buku-buku Sejarah https://pixabay.com/id/photos/buku-buku-lama-buku-tua-436498/
Selama bertahun-tahun, sejarah kerap dipersepsikan sebagai mata pelajaran hapalan yang dipenuhi tanggal, nama tokoh, dan urutan peristiwa. Pola ini masih dominan dalam sistem pendidikan formal Indonesia, terutama pada jenjang sekolah dasar dan menengah. Akibatnya, sejarah sering dianggap membosankan dan tidak relevan dengan kehidupan masa kini. Padahal, secara ilmiah, sejarah justru merupakan disiplin analitis yang menuntut penalaran kritis, pemahaman konteks, serta kemampuan menafsirkan sumber.
Pendekatan hapalan membuat sejarah kehilangan fungsi utamanya sebagai alat memahami perubahan sosial. Dalam kajian historiografi modern, sejarah tidak sekadar menjawab pertanyaan apa yang terjadi, melainkan mengapa dan bagaimana suatu peristiwa berlangsung. Tanpa pendekatan kritis, peserta didik hanya menjadi konsumen narasi tunggal, bukan penafsir aktif masa lalu. Hal ini berisiko melahirkan pemahaman sejarah yang dangkal dan mudah dipengaruhi distorsi informasi.
Pendekatan kritis dalam pembelajaran sejarah menempatkan siswa sebagai subjek yang diajak menganalisis sumber primer dan sekunder, membandingkan berbagai perspektif serta memahami keterkaitan antara masa lalu dan kondisi kekinian. Misalnya ketika mempelajari periode revolusi kemerdekaan, siswa tidak hanya menghafal kronologi peristiwa tetapi juga diajak memahami dinamika sosial, politik, dan peran masyarakat lokal yang sering terpinggirkan dalam narasi besar nasional.
Selain itu, pendekatan kritis membantu membangun kesadaran sejarah (historical consciousness). Kesadaran ini penting agar generasi muda mampu melihat bahwa kebijakan, konflik, dan perubahan sosial hari ini memiliki akar historis. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pemahaman sejarah secara kritis juga berperan mencegah polarisasi identitas dan klaim kebenaran tunggal yang sering muncul dalam ruang publik.
Tantangan penerapan pendekatan kritis memang tidak kecil. Kurikulum yang padat, keterbatasan waktu, serta minimnya pelatihan guru menjadi kendala nyata. Namun, berbagai penelitian pendidikan menunjukkan bahwa metode diskusi berbasis sumber, studi kasus sejarah lokal, dan pemanfaatan arsip digital dapat meningkatkan minat sekaligus kemampuan berpikir secara kritis siswa tanpa mengorbankan capaian kurikulum.
Pada akhirnya, pembelajaran sejarah yang bermakna tidak diukur dari seberapa banyak fakta yang dihapal melainkan dari kemampuan peserta didik memahami proses, menarik pelajaran, dan bersikap reflektif terhadap realitas sosial. Dengan menjadikan sejarah sebagai ruang dialog kritis antara masa lalu dan masa kini pendidikan sejarah dapat kembali pada perannya yang esensial: membentuk warga negara yang sadar, rasional, dan bertanggung jawab.