Selama dua dekade terakhir, perusahaan telekomunikasi di Indonesia hidup nyaman sebagai penyedia infrastruktur konektivitas. Suara, SMS, lalu data menjadi mesin uang yang stabil. Namun era itu berakhir. Artificial Intelligence (AI) bukan lagi sekadar teknologi pendukung—ia adalah game changer yang memaksa telco memilih: bertransformasi atau terpinggirkan.
Di tengah penetrasi internet yang masif dan adopsi digital yang semakin matang, nilai konektivitas semata terus tergerus. Over-the-top (OTT) player, platform digital, hingga startup AI kini berdiri di atas jaringan telco tanpa berbagi nilai secara proporsional. Ironisnya, telco justru terjebak dalam kompetisi harga dan perang kuota, sementara nilai ekonomi terbesar berpindah ke lapisan aplikasi dan data.
AI: Dari Infrastruktur ke Intelligence
Beberapa telco Indonesia sebenarnya sudah mulai melangkah. Telkomsel, misalnya, mengembangkan kapabilitas AI berbasis data jaringan untuk customer insight, fraud detection, dan verifikasi identitas digital.
Indosat Ooredoo Hutchison mengambil pendekatan berbeda dengan memposisikan diri sebagai AI-native telco. Melalui kolaborasi dengan pemain global dan pembangunan AI experience center, Indosat secara terbuka menyatakan ambisinya menjadikan AI sebagai fondasi efisiensi operasional dan pengembangan layanan enterprise.
XL Axiata juga tidak tinggal diam. Fokus XL pada analitik data dan AI untuk optimalisasi jaringan, predictive maintenance, serta pemanfaatan data pelanggan di segmen B2B menunjukkan arah yang jelas. AI bukan lagi eksperimen, tetapi alat untuk menjaga margin di tengah tekanan ARPU.
Namun contoh-contoh ini masih bersifat parsial. AI belum sepenuhnya menjadi mesin pertumbuhan utama, melainkan lebih sering diposisikan sebagai cost optimizer ketimbang revenue generator.
Masalah Utama Telco Indonesia: Mindset, Bukan Teknologi
Di sinilah problem mendasarnya. Banyak telco Indonesia memandang AI sebagai proyek teknologi, bukan sebagai strategi bisnis. AI dikelola oleh unit IT atau data lab, terpisah dari unit komersial yang bertanggung jawab pada P&L. Akibatnya, muncul paradoks: kapabilitas AI ada, data melimpah, tetapi produk AI yang benar-benar laku di pasar sangat terbatas.
Bandingkan dengan pemain non-telco. Fintech menggunakan AI untuk real-time credit scoring. E-commerce mengandalkan AI untuk dynamic pricing dan rekomendasi. Bahkan startup logistik memanfaatkan AI untuk optimasi rute. Mereka tidak sibuk membangun platform megah—mereka fokus pada satu masalah, satu solusi, dan satu sumber pendapatan.
Sementara itu, telco masih sibuk membenarkan eksistensinya sebagai "enabler ekosistem", tanpa kejelasan siapa yang membayar dan untuk nilai apa.
AI Harus Masuk ke Pusat Model Bisnis
Jika telco Indonesia ingin tetap relevan, AI harus dipaksa masuk ke inti bisnis. Bukan hanya untuk menurunkan OPEX, tetapi untuk menciptakan lini pendapatan baru. Tanpa keberanian memonetisasi data dan AI secara serius, telco akan terus kalah cepat dari startup yang lebih lincah dan fokus.
Penutup
AI tidak akan menyelamatkan perusahaan telekomunikasi Indonesia secara otomatis. Justru sebaliknya, AI akan mempercepat seleksi alam. Telco yang berani menjadikan AI sebagai mesin pertumbuhan akan naik kelas. Yang tetap nyaman menjual kuota dan bandwidth akan terjebak sebagai perusahaan utilitas—penting, tetapi bernilai rendah.
Di era AI, telco tidak lagi bersaing soal siapa paling luas jaringannya. Mereka bersaing soal siapa yang paling cerdas mengubah data menjadi uang.