Momen Deki mendokumentasi Rafflesia Hassellti usai menemukannya di hutan Sumatra. Foto: Septian Andriki/@bujangpalala44
Langkah kaki yang lelah terhenti saat Septian Andriki menemukan Rafflesia Hasseltii merah yang belum mekar sempurna di tengah hutan Sumatra yang mulai gelap ditinggal cahaya Matahari. Ketika ia memastikan bahwa itu benar Rafflesia Hasseltii, Deki, sapaan akrabnya, seketika menangis bahagia. Itu menandai penemuan kembali spesies langka yang terakhir kali tercatat 13 tahun silam.
Deki adalah mantan guru olahraga asal Bengkulu yang banting setir menjadi penggiat konservasi. Ia tidak sendirian dalam misi tersebut. Ia ditemani oleh Chris Thorogood, seorang ilustrator botanis dan peneliti dari Oxford University, Inggris, serta dipandu oleh Iswandi dari Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN).
Misi mereka pada 19 November 2025 kala itu adalah satu, menemukan Rafflesia Hasseltii, spesies langka yang data publikasi terakhirnya tercatat pada tahun 2011.
Deki mendokumentasi Rafflesia Hassellti dengan rombongan timnya, meliputi Iswandi dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari (kiri) dan Chris Thorogood peneliti dari Universitas Oxford (kanan) di hutan Sumatra. Foto: Septian Andriki/@bujangpalala44
Berawal dari pesan Instagram
Cerita penemuan ini berawal dari hubungan Deki dan Chris yang bermula dari pesan Instagram pada 2019. Chris, yang membutuhkan referensi warna realistis untuk ilustrasinya, tidak bisa hanya mengandalkan kamera yang kerap mendistorsi warna asli bunga. Ia harus melihatnya langsung sehingga mengontak Deki yang sudah aktif di medsos perihal tumbuhan Rafflesia.
"Chris sudah tiga kali bolak-balik ke Indonesia dalam lima tahun terakhir. 2021 gagal karena pandemi dan salah spesies. 2022 datang lagi, tapi kami hanya menemukan Rhizanthes Deceptor dan Rafflesia kelopak tujuh, bukan Hasseltii," cerita Deki kepada kumparanSAINS saat dihubungi dengan telepon.
Setelah tiga tahun tanpa kontak intens, kabar baik datang pada Mei 2025. Sebuah informasi menyebut adanya Rafflesia unik di Sumatra. Namun, saat itu bunga sudah menghitam sebelum sempat diidentifikasi sempurna.
Barulah pada November 2025, Iswandi, warga lokal sekaligus Ketua LPHN setempat, mengabarkan adanya bonggol yang siap mekar. Dari sana ekspedisi pun dimulai.
Momen Deki mendokumentasi Rafflesia Hassellti usai menemukannya di hutan Sumatra. Foto: Septian Andriki/@bujangpalala44
Medan ekstrem dan berbahaya
Perjalanan menuju lokasi bukanlah rekreasi. Deki dan tim harus menempuh perjalanan darat dari yang diperkirakan 15 jam, namun molor menjadi 20 jam. Setibanya di kabupaten terdekat dari lokasi bunga, tantangan sesungguhnya baru dimulai, menanjaki "jalur yang menanjak 90 derajat."
Medan yang begitu ekstrem membuat Pak Joko Wintono, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang awalnya ikut serta, terpaksa menyerah dan kembali ke bawah karena kelelahan. Deki pun mengantar Pak Joko turun sebelum kembali menyusul Chris dan Iswandi ke atas.
"Pas saya susul ke atas, saya kehabisan napas. Waktu sudah jam 6 sore, sudah gelap. Dan Bapak Iswandi cerita, ini habitat Harimau Sumatra. Predator nokturnal yang aktif malam hari," ungkap Deki.
Di tengah hutan tanpa sinyal, dengan baterai ponsel yang menipis, mental Deki diuji.
Terutama saat mereka tiba di titik lokasi. Iswandi, sang pemandu, sempat memberikan informasi yang salah bahwa bunga itu tidak mekar. Hal itu sempat membuat Deki kecewa.
"Kata Bapak Iswandi; 'Bang, bunganya enggak mekar'. Lutut saya langsung lemas, mau berdiri saja enggak sanggup," kenang Deki.
Ternyata, Pak Iswandi tidak menyadari bahwa Rafflesia memiliki fase mekar yang bertahap. Saat Deki memeriksa bunga itu secara langsung, ia melihat satu kelopak bunga tersebut baru saja terangkat membuka. Bunga itu mekar!
Seketika, tangis Deki pecah. Ia menangis bahagia. Itu adalah pelepasan emosi.
"Chris mengira saya berhalusinasi karena efek perjalanan jauh. Pak Iswandi malah mengira saya kesurupan karena sudah waktu Maghrib di tengah hutan," ujar Deki sambil tertawa mengenang momen tersebut.
Bayangkan, 13 tahun saya menanti. Chris terbang jauh dari Inggris, kami jalan 20 jam, lalu sempat mengira ini gagal. Bagaimana tidak emosional?- Septian Andriki (Deki)
Akibat kondisi peralatan yang tidak memadai dengan kondisi yang semakin gelap serta bahaya hewan liar. Mereka hanya mengabiskan waktu selama 1 jam di lokasi penemuan sebelum akhirnya meninggalkan lokasi.
"Pak Iwan (Iswandi) tetap memantau kami dari jauh. Dia harus lihat ke sana ke mari, ada harimau atau enggak?'," kata Deki.
Momen Deki mendokumentasi Rafflesia Hassellti dengan rombongan timnya Iswandi dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari dengan Chris Thorogood peneliti dari Universitas Oxford di hutan Sumatra. Foto: Septian Andriki/@bujangpalala44
Penemuan ini menjadi kabar gembira bagi dunia konservasi global, tetap di saat yang sama memunculkan kekhawatiran baru bagi Deki. Momen ia menangis saat melihat tumbuhan itu direkam oleh Chris dan video itu viral, menarik perhatian banyak pihak.
Deki berharap viralitas ini dapat memberikan dampak positif bagi aktivitas konservasi setempat. "Harapan kami, daerah ini tetap terjaga. Biarlah viral, tapi habitat jangan sampai rusak," tutup Deki.
Catatan: Redaksi kumparan tidak menyebut daerah dan/atau lokasi penemuan Rafflesia Hasseltii guna melindungi ekosistem dari segala bentuk gangguan dan eksploitasi.