Managing Director Investment Danantara, Stefanus Ade Hadiwidjaja (kiri). Foto: Nur Pangesti/kumparan
Pemerintah tengah mendorong proyek pengolahan sampah menjadi energi atau Waste-to-Energy (WtE) untuk mengatasi permasalahan sampah yang kian menumpuk di berbagai wilayah Indonesia.
Managing Director Investment Danantara, Stefanus Ade Hadiwidjaja, optimistis proyek ini bisa menjadi solusi jangka panjang bagi Indonesia. Ia menilai melalui proyek ini, Indonesia bisa terbebas dari masalah sampah dalam satu hingga dua dekade ke depan.
"Ya, kita bermimpi 5, 10, 15 tahun lagi isu ini di Indonesia makin lama makin hilang dan kita bisa menikmati kota yang lebih bersih dan lebih sehat," kata Stefanus di Wisma Danantara, Senin (3/11).
Stefanus mencontohkan, salah satu negara yang pernah menghadapi permasalahan sampah adalah China. Meski negara tersebut kini terlihat bersih, dua dekade lalu sampah menjadi persoalan besar bagi negara dengan populasi mencapai 1,5 miliar jiwa itu.
"Kita minum, kotaknya dibuang, makan ada yang nggak habis, dibuang. Tiap hari itu kita menghasilkan satu kilogram sampah. Jadi kalau 1,5 miliar orang, berarti 1,5 miliar kilogram per hari," ujarnya.
Namun sejak pemerintah China mulai serius mengatasi masalah itu, mereka berinvestasi besar pada teknologi incinerator untuk mengubah sampah menjadi energi.
Petugas menggunakan alat berat di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang mengubah sampah menjadi bahan bakar usai dilakukan proses pencacahan dan pengeringan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Dalam prosesnya, 90 persen volume sampah berkurang setelah dibakar, menghasilkan energi listrik dan residu yang bisa dimanfaatkan kembali.
Stefanus menjelaskan, dengan teknologi tersebut, sisa hasil pembakarannya (fly ash) sangat kecil. Selain itu, bottom ash-nya dapat didaur ulang menjadi bata dan material lainnya. Sementara air lindi (air dari sampah) juga dapat diolah menjadi air bersih.
"Lindi yang warna coklat itu katanya kalau kita kena siram bisa seminggu nggak hilang baunya. Itu diproses jadi air bersih yang bisa diminum," ujarnya.
Managing Director Investment Danantara, Stefanus Ade Hadiwidjaja. Foto: Nur Pangesti/kumparan
Kini, China memiliki lebih dari 1.100 fasilitas incinerator, masing-masing membakar lebih dari 1.000 ton sampah per hari. Hasilnya, sebagian besar tempat pembuangan akhir (TPA) di negara itu sudah ditutup atau dibersihkan.
"Orang jadi rebutan karena sampahnya sudah habis kebakar semua. Nggak ada lagi isu sampah ditaruh di TPA, di TPAnya pun sudah dibersihkan," ungkapnya.
Stefanus menekankan bahwa teknologi waste-to-energy bukanlah teknologi rumit, melainkan teknologi sederhana berupa incinerator yang mengubah sampah menjadi energi. Bahkan, dengan teknologi ini tempat pengolahan sampah dapat didesain tidak terlihat seperti fasilitas pembakaran.
"Tempat pembakarannya nggak kelihatan kayak tempat pembakaran sampah. Kadang-kadang ada taman bermain, ada perpustakaan, tapi orang nggak sadar di belakangnya itu ada mesin pembakaran canggih. Truk masuk dari belakang, dituang, keluar jadi energi tanpa sisa," jelasnya.
Menurutnya, Indonesia kini berada di posisi yang sama seperti China dua dekade lalu, negara berkembang yang sedang tumbuh pesat. Ia optimistis, dengan menerapkan teknologi serupa, permasalahan sampah di Indonesia dapat diatasi.
"Kalau mereka bisa, kenapa kita nggak bisa? Dulu mereka punya isu yang sama, akhirnya beres, kita juga bisa. Yang lebih penting, melalui investasi dan teknologi ini, kita bisa bersama-sama membereskan isu sampah yang sudah sangat berat," ungkapnya.