(Seri 1) Mengurai Mitos: Kediri Bukan Kota Lengser - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
(Seri 1) Mengurai Mitos: Kediri Bukan Kota Lengser
Oct 23rd 2025, 16:00 by chevy n suyudi

Jembatan Brawijaya membentang di atas Sungai Brantas. Menjadi simbol keterhubungan masa lalu dan masa depan Kota Kediri. Foto: Dokumentasi pribadi. (2023).
Jembatan Brawijaya membentang di atas Sungai Brantas. Menjadi simbol keterhubungan masa lalu dan masa depan Kota Kediri. Foto: Dokumentasi pribadi. (2023).

Setiap kota memiliki kisahnya sendiri. Ada kota yang dikenal karena sejarah perjuangan, ada yang disanjung karena keindahan alamnya, dan ada pula yang hidup di antara mitos dan kenangan. Kediri termasuk yang terakhir.

Di balik tenangnya Sungai Brantas dan hijaunya perbukitan Kelud, hidup sebuah mitos yang telah diwariskan turun-temurun, "pemimpin besar akan kehilangan jabatan jika datang ke Kediri."

Mitos Kediri kota lengser begitu populer hingga melampaui batas nalar. Dan menjadi semacam "cerita bisik" dalam ruang politik. Bahkan kadang menjadi alasan diam-diam mengapa sebagian tokoh enggan hadir ke Kediri. Tidak sedikit pemimpin nasional yang dikabarkan enggan datang ke Kediri karena khawatir akan tertimpa nasib serupa. Padahal, bila ditelusuri secara historis, tidak ada satu pun bukti sejarah yang menguatkan anggapan itu. Yang ada justru sebaliknya. Kediri adalah kota perenungan, bukan kota pelengseran.

Akar Sejarah yang Dipahami Keliru

Untuk memahami mitos kota yang melengserkan, kita perlu menengok kembali akar sejarah Kediri. Kota ini memiliki garis keturunan panjang dari masa kerajaan Kahuripan di bawah Raja Airlangga (abad ke-11). Ketika Airlangga mengundurkan diri dari takhta dan membagi wilayahnya menjadi Panjalu (Kadiri) dan Jenggala, terjadilah peristiwa simbolik yang sangat penting.

Pembagian itu tidak dimaksudkan sebagai perpecahan, melainkan strategi menjaga keseimbangan kekuasaan. Garis pemisahnya adalah Sungai Brantas. Tetapi sebagaimana ditulis oleh sejarawan Drs. Boechari, Brantas bukanlah tembok pembatas. Ia justru merupakan urat nadi peradaban, jalur air yang menyatukan berbagai pusat ekonomi, pertanian, dan kebudayaan di Jawa Timur.

Sejak masa itulah, peradaban tumbuh di sepanjang Sungai Brantas. Dari hulu hingga hilir, sungai ini menjadi penghubung antara pesisir dan pedalaman. Ia menyatukan kehidupan masyarakat dari berbagai latar, menjadi ruang pertemuan ide, keyakinan, dan gagasan.

Dengan demikian, Kediri tidak pernah berdiri di atas garis pemisah, melainkan di simpul pertemuan. Itulah sebabnya kota ini selalu menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Jawa Timur. Baik dalam konteks politik, kebudayaan, maupun spiritualitas.

Jayabaya dan Aura Kebijaksanaannya

Beberapa generasi setelah Airlangga, Kediri mencapai masa puncaknya di bawah pemerintahan Prabu jayabaya (abad ke-12). Pada masa inilah, lahir karya sastra besar seperti Kakawin Bharatayudha, Smaradhahana, dan Kresnayana. Masa Jayabaya dikenal sebagai zaman keemasan sastra dan kebijaksanaan Jawa Kuno.

Nama Jayabaya sendiri kemudian menjadi legenda. Ramalannya yang termuat dalam Jangka Jayabaya, tentang datangnya masa kegelapan dan lahirnya Ratu Adil, membuat namanya terus hidup dalam imajinasi masyarakat Jawa.

Dari sinilah muncul kepercayaan bahwa Kediri adalah tanah para raja dan resi. Tempat bersemayamnya kebijaksanaan dan kearifan. Dalam pandangan masyarakat tradisional, tempat yang menyimpan wibawa besar seperti Kediri dianggap memiliki daya spiritual tinggi. Dalam istilah Jawa disebut tanah wingit.

Ketika seorang pemimpin datang ke Kediri, seolah ia diuji oleh sejarah dan energi kebijaksanaan masa lalu. Bukan soal kutukan, melainkan refleksi batin. Kota ini menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, seberapa siap ia menanggung wibawa sejarah yang lahir dari tanah tempat ia berpijak.

Mitos yang Tumbuh dari Kebetulan

Mitos "Kediri kota lengser" mungkin lahir dari serangkaian kebetulan sejarah. Beberapa tokoh nasional atau pejabat tinggi kebetulan kehilangan jabatan tidak lama setelah berkunjung ke Kediri. Kebetulan itu kemudian diulang-ulang, disampaikan dalam bisik, hingga menjadi keyakinan kolektif.

Padahal, dari kacamata logika, ini hanyalah post hoc fallacy. Kesalahan berpikir yang menganggap dua peristiwa beruntun sebagai sebab-akibat. Kediri tidak memiliki kuasa melengserkan siapa pun. Kota ini menjadi saksi waktu, bukan sumber perubahan takhta.

Namun yang menarik, mitos ini terus bertahan karena ia memberi ruang bagi tafsir simbolik. Dalam kebudayaan Jawa, kehilangan jabatan bukan selalu berarti kehancuran. Itu bisa berarti turunnya beban duniawi untuk menemukan makna yang lebih dalam. Dengan kata lain, lengser tidak selalu bermakna jatuh. Bisa juga berarti menyadari batas diri.

Sungai Brantas Sebagai Penghubung, Bukan Pemisah

Sungai Brantas adalah inti dari narasi ini. Menurut Drs. Boechari, Brantas adalah jalur air yang telah menghidupi masyarakat Jawa Timur sejak ribuan tahun lalu. Di sepanjang alirannya, tumbuh permukiman, pasar, dan tempat suci. Brantas menjadi penghubung antara dua kerajaan besar, Panjalu dan Jenggala. Brantas sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya.

Dalam filosofi Jawa, air melambangkan penyatu dan pembersih. Ia mengalir lembut, tapi mampu menembus batu. Maka, ketika kita memandang Kediri dari perspektif Brantas, kita melihat keterhubungan sebagai makna terdalamnya.

Ironis rasanya bila kota yang tumbuh di jantung sungai pemersatu justru dianggap "memisahkan" pemimpin dari kekuasaannya. Mungkin sudah waktunya kita memulihkan makna Brantas, dari mitos pemisah menuju simbol penyatu.

Kediri Sebagai Kota Perenungan

Bagi mereka yang datang ke Kediri, suasana kotanya sering dianggap "tenang tapi menggetarkan." Ada kedamaian yang tak mudah dijelaskan. Mungkin karena di sinilah, sejarah Jawa Kuno dan kehidupan modern bertemu dalam harmoni yang halus.

Kediri bukan kota yang berisik dengan ambisi. Ia kota yang memberi ruang untuk merenung. Kota yang mengingatkan bahwa segala sesuatu memiliki masa, termasuk kekuasaan. Hal ini bukan tanpa alasan, banyak pemimpin yang merasa "berubah" setelah berkunjung ke Kediri. Bukan karena kutukan, melainkan karena kesadaran bahwa jabatan hanyalah titipan, bukan takdir kekal. Kesadaran bahwa yang abadi bukan kekuasaan, melainkan makna.

Mitos "Kediri kota lengser" sesungguhnya mengandung pesan moral yang indah. Bahwa kekuasaan tidak kekal, dan siapa pun yang memegangnya harus siap menyerahkan saat waktunya tiba. Namun pesan itu perlu kita baca dengan paradigma baru. Bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai cermin kebijaksanaan leluhur.

Model mengenakan busana tenun ikat Kediri dalam peragaan Dhoho Street Fashion 2020 di kawasan Goa Selomangleng. Simbol pertemuan antara warisan budaya dan semangat modernitas Kota Kediri. (Foto: Dokumentasi Dhoho Street Fashion/Pemkot Kediri)
Model mengenakan busana tenun ikat Kediri dalam peragaan Dhoho Street Fashion 2020 di kawasan Goa Selomangleng. Simbol pertemuan antara warisan budaya dan semangat modernitas Kota Kediri. (Foto: Dokumentasi Dhoho Street Fashion/Pemkot Kediri)

Menulis Ulang Narasi Kediri

Hari ini, Kota Kediri menatap masa depan dengan semangat baru. Kota ini bukan sekadar tempat bersejarah, tapi juga ruang bagi gagasan modern, inovasi, dan gerakan budaya. Sudah saatnya kita menulis ulang narasi yang lama.

Kota ini tidak lagi relevan bila terus dipandang sebagai tanah "wingit" yang menakutkan. Kediri bukan kota yang melengserkan, melainkan kota yang menyadarkan. Kediri harus dilihat sebagai kota yang bijak. Tempat di mana sejarah dan modernitas bertemu secara damai.

Narasi baru tersebut dapat dimulai dari filosofi Sungai Brantas. Air yang mengalir, menghubungkan, dan menghidupkan. Kediri dapat tampil sebagai kota yang menyatukan gagasan, budaya, dan inovasi.

"Kediri bukan kota yang melengserkan, melainkan kota yang menyadarkan. Di sini, pemimpin tidak kehilangan jabatan. Mereka menemukan jati dirinya."

Kediri punya modal kuat untuk meneguhkan identitas baru sebagai kota perenungan, dengan sejarah panjang, budaya luhur, masyarakat yang ramah, dan alam yang menenangkan.

Jenama yang berangkat dari nilai "keterhubungan" akan memperkuat jati diri kota ini di masa depan. Dengan menempatkan Sungai Brantas sebagai simbol utama, kita menegaskan bahwa Kediri bukan batas, tapi jembatan. Bukan kutukan, tapi kesadaran. Bukan masa lalu yang membebani, tapi warisan yang mencerahkan.

Mitos akan selalu hidup di tengah masyarakat, tapi maknanya bisa kita ubah. Kediri tidak perlu menolak mitosnya. Cukup menafsirkan ulang. Sebab dibalik kisah tentang "pemimpin yang lengser", tersembunyi pesan leluhur yang dalam. "Tidak ada kekuasaan yang abadi, hanya kebijaksanaan yang dikenang."

Maka, biarkan Sungai Brantas terus mengalir, menghubungkan masa lalu dan masa depan. Sebagaimana Kediri terus mengajarkan bahwa setiap pemimpin, setiap manusia, hanyalah bagian dari arus waktu.

---------------------

Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari seri edukatif "Menelusuri Kediri, Menyulam Peradaban". Upaya untuk meluruskan mitos dan menegaskan identitas budaya Kota Kediri sebagai kota yang menghubungkan sejarah, spiritualitas, dan masa depan.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url