The Pussyhat Women's March Foto: Reuters/Shannon Stapleton
Sejarah feminisme sering dijelaskan melalui istilah "gelombang". Istilah ini dijadikan sebagai cara untuk menggambarkan perubahan fokus, tuntutan, dan strategi gerakan perempuan dari masa ke masa. Namun, perlu diingat bahwa kerangka ini terutama lahir dari konteks Barat. Di banyak negara Timur, feminisme memiliki jalur yang berbeda karena dibentuk oleh dinamika budaya, agama, kolonialisme, dan sistem sosial yang tidak sama.
Di Timur, perjuangan perempuan sering kali berkaitan dengan akses terhadap pendidikan, kebebasan berpendapat, dan ruang aman di tengah struktur patriarki yang lebih kental. Di Barat, feminisme berkembang menjadi empat hingga lima gelombang besar yang menunjukkan perubahan arah dan strategi seiring waktu. Akan tetapi, gelombang ini tidak dapat diterapkan secara seragam di seluruh dunia karena tiap budaya memiliki konteks yang berbeda. Simak selengkapnya berikut ini.
Gelombang pertama: perjuangan hak pilih dan kesetaraan hukum
Liga Nasional Pemilih Wanita memegang tanda bertuliskan, 'VOTE', 17 September 1924. Jutaan wanita memilih pada tahun 1920 dan 1924, tetapi dalam proporsi yang lebih rendah daripada pria. Foto: Everett Collection/Shutterstock
Gelombang pertama feminisme bermula sekitar pertengahan abad ke-19. Titik pentingnya adalah Konvensi Seneca Falls tahun 1848 di Amerika Serikat, yang diorganisir oleh Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott. Acara tersebut menandai awal gerakan besar menuntut hak politik perempuan, termasuk hak memilih.
Fokus utama gerakan ini adalah memperjuangkan hak suara dan kesetaraan hukum. Amandemen ke-19 di Amerika Serikat pada tahun 1920 memberikan hak pilih kepada perempuan, meski pada praktiknya diskriminasi rasial membuat tidak semua perempuan dapat segera menggunakan hak itu.
Menurut National Women's History Museum, di Inggris dan beberapa negara Eropa gerakan serupa muncul melalui kelompok suffragist dan suffragette yang menggunakan cara-cara berbeda, dari lobi politik hingga aksi demonstratif.
Namun, gelombang pertama sering dikritik karena lebih merepresentasikan kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah. Sementara kelompok minoritas seperti perempuan kulit hitam dan kelas pekerja sering terpinggirkan dalam narasinya.
Gelombang kedua: perlawanan terhadap norma sosial dan struktur budaya
Gelombang kedua feminisme muncul pada 1960-an hingga awal 1980-an, bersamaan dengan meningkatnya kesadaran sosial di Amerika dan Eropa. Gerakan ini memperluas fokus perjuangan dari ranah politik menuju isu-isu sosial seperti kesetaraan upah, hak reproduksi, serta kekerasan berbasis gender.
Aktivis mulai mempertanyakan peran perempuan yang selama ini dianggap hanya sebatas istri dan ibu rumah tangga. Mereka mendorong perubahan dalam sistem kerja, pendidikan, dan kebijakan publik agar perempuan dapat berpartisipasi setara di semua bidang.
Namun, seperti dikemukakan Council of Europe, feminisme gelombang kedua di Barat tidak sepenuhnya dapat diterapkan di luar konteksnya. Di beberapa negara Asia, misalnya China, feminisme berkembang dalam bentuk "state feminism", yakni ketika negara ikut mengatur peran dan representasi perempuan dalam masyarakat. Studi di Taylor & Francis Online menunjukkan bahwa bentuk feminisme di Asia ini berbeda dari gerakan akar rumput yang umum di Barat.
Perlu dicatat bahwa tidak semua negara di Asia mengikuti pola serupa. Menurut berbagai studi kasus, ada negara yang justru menggabungkan pendekatan religius, kultural, dan lokal dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Karena itu, kerangka "gelombang" tidak selalu relevan jika diterapkan secara umum untuk wilayah non-Barat.
Gelombang ketiga: identitas, keragaman, dan ekspresi individu
Demonstrasi untuk memprotes feminisme dan kekerasan terhadap wanita di Paris, Prancis. Foto: REUTERS/Christian Hartmann
Pada masa ini, feminisme juga semakin dekat dengan budaya populer. Aktivisme muncul dalam musik, seni, dan media digital melalui gerakan seperti Riot Grrrl yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kritik terhadap standar kecantikan. Melansir dari Human Rights Careers, gelombang ini membuka ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan sendiri makna menjadi perempuan tanpa batasan ideologis dari generasi sebelumnya.
Sementara itu, di Asia dan Timur Tengah, konsep ini mulai diadaptasi dengan hati-hati. Dengan demikian, gelombang ketiga menandai era baru feminisme yang lebih beragam dan fleksibel, meski penerapannya tetap sangat bergantung pada konteks budaya.
Gelombang keempat: aktivisme digital dan jaringan global
Spanduk yang dibawa saat demonstrasi untuk memprotes feminisme dan kekerasan terhadap wanita di Brussels, Belgia. Foto: REUTERS/Francois Lenoir
Gelombang keempat feminisme berkembang pesat pada pertengahan 2010-an hingga saat ini. Melansir dari University of Wollongong, karakter utama gelombang ini adalah penggunaan media sosial sebagai sarana mobilisasi, seperti gerakan #MeToo, #TimesUp, dan kampanye kesetaraan di ruang digital.
Melalui platform daring, perempuan di berbagai negara dapat menyuarakan pengalaman mereka tentang kekerasan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan dengan jangkauan yang jauh lebih luas. Aktivisme digital menjadikan feminisme bersifat lintas batas dan lintas bahasa.
Meski demikian, istilah "gelombang" mulai kehilangan relevansinya karena pergerakan ini berlangsung terus menerus dan tidak selalu memiliki batas waktu yang jelas. Gelombang keempat lebih mirip jaringan global yang saling terhubung daripada gerakan tunggal dengan satu agenda.
Feminisme di era ini juga mulai mengakui pentingnya representasi gender yang lebih inklusif, termasuk transgender, non-biner, dan kelompok marjinal lainnya. Perjuangan kesetaraan kini tidak hanya tentang perempuan, tetapi juga tentang keadilan sosial secara keseluruhan.
Gelombang kelima: menuju inklusi menyeluruh dan perubahan sistemik
Dua perempuan berpose untuk foto dalam aksi unjuk rasa Justice or Else! di National Mall, Washington, DC, pada 10 Oktober 2015. Foto: ANDREW CABALLERO-REYNOLDS / AFP
Beberapa peneliti mulai menyebut adanya gelombang kelima feminisme yang muncul setelah 2015. Gelombang ini menekankan kolaborasi lintas gender dan upaya membangun sistem sosial yang benar-benar setara, bukan sekadar memperjuangkan representasi perempuan.
Beberapa analisis menyebut bahwa tren ini mencerminkan evolusi alami dari feminisme digital menuju pendekatan yang lebih holistik, di mana kesetaraan gender dianggap bagian dari keadilan universal.
Walau begitu, istilah "gelombang kelima" masih bersifat konseptual dan belum diakui secara formal dalam literatur akademis. Saat ini, istilah itu lebih berfungsi sebagai cara untuk menggambarkan arah baru gerakan feminisme yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman.