Federasi Mikronesia (Federated States of Micronesia/FSM). Mungkin bagi sebagian orang, nama ini terdengar asing. Namun bagi saya, negara ini menjadi tempat tidak terlupakan dan paling berkesan yang pernah dikunjungi.
Pada 2016, saya ditugaskan untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pacific Islands Forum (PIF) ke-47 di Pohnpei, ibukota FSM. Sebuah negara kepulauan kecil yang terletak di jantung Samudra Pasifik, jauh dari gemerlap city lights Jakarta. Idealnya, keberangkatan dan kepulangan dalam perjalanan dinas adalah sebuah rutinitas. Tapi tidak untuk kali ini.
Kepulangan yang dijadwalkan tanggal 12 September berubah total. Topan Meranti, salah satu topan tropis terbesar tahun itu, tidak hanya merusak kota-kota yang dilaluinya di Filipina, Taiwan dan Tiongkok, namun juga membatalkan banyak penerbangan di Pasifik. Dampaknya, saya dan Pak Bos harus extend beberapa hari, dan terpaksa mengitari hampir seluruh Samudra Pasifik hanya untuk kembali ke Tanah Air. Inilah kisah bertugas menghadiri sidang yang berubah menjadi sebuah perjalanan tak terlupakan.
Jalur Topan Meranti (Credit: Sanoxel, Public domain, via Wikimedia Commons)
Drama Mencari Hotel di Tengah Malam
Setelah selesai dengan urusan visa, tiket pesawat dan reservasi hotel, kami berangkat dari Jakarta malam hari tanggal 9 September. Perjalanan menuju Pohnpei kami lalui dengan rute Jakarta-Brisbane-Port Moresby-Chuuk-Pohnpei selama sekitar 20 jam. Karena menggunakan berbagai maskapai, kami harus mencetak ulang boarding pass di setiap bandara.
Bandara Pohnei (dok. pribadi)
Setibanya di Pohnpei tanggal 10 September 2016 pukul 23.00, petugas protokol setempat sudah menjemput. Namun masalah pertama menyambut, hotel yang kami minta melalui panitia ternyata belum direservasi. Sedangkan semua kamar penuh karena pertemuan KTT.
Terpaksa kami, dibantu oleh petugas protokol, keliling mencari kamar hotel di tengah malam. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan negosiasi, akhirnya pukul 01.00 subuh kami berhasil mendapatkan kamar di Ocean View Plaza Hotel. Lucunya, kamar ini berhasil didapat setelah petugas hotel harus membangunkan manajer yang sudah terlelap di rumahnya.
Karena lelah dan mengantuk, kami langsung masuk kamar dan tidur. Pagi harinya, barulah kami sadar hotel ini berada di atas bukit dan disertai balkon, menyajikan ocean view yang indah, dan dilengkapi fasilitas berharga bagi diplomat saat sedang bertugas ke luar negeri yaitu mesin cuci. Alhamdulillah.
Pemandangan dari balkon hotel (dok. pribadi)
Jakarta, We Have a Problem
Tanggal 11 September, kami menghadiri KTT PIF yang diselenggarakan di FSM-China Friendship Sports Center, sebuah fasilitas olahraga yang dibangun oleh Tiongkok. Indonesia, bersama negara Mitra Dialog lainnya bertukar pandang dengan 17 negara anggota PIF tentang isu-isu yang dihadapi bersama di kawasan Pasifik.
Di sela-sela pertemuan, kami mendengar desas-desus banyak delegasi yang memajukan kepulangan mereka. Alasannya, ada peringatan Topan Meranti. Tidak lama kemudian, kami terima kabar penerbangan pulang kami tanggal 12 September dibatalkan.
"Ya, mau bagaimana lagi" pikir kami, yang langsung melapor kepada pusat tentang situasi force majeure ini dan bergegas mengontak agen travel. Ketidakpastian mulai terasa. Kami tahu bahwa di Pohnpei tidak banyak pilihan penerbangan. Kami pun was-was kapan penerbangan dapat kembali dibuka. Ini artinya, kami harus bersiap untuk ticket war bersama delegasi negara lain yang bernasib serupa.
Kemiripan Budaya dan Misteri Nan Madol
Karena belum ada kepastian tiket, kami putuskan untuk berkeliling Pohnpei tanggal 12 September. Untungnya, kami disediakan hospitality mobil dan seorang Liaison Officer (LO) dari pemerintah FSM.
LO kami bernama Robert. Wajahnya sangat mirip dengan orang-orang dari Indonesia Timur. Ia sangat ramah dan murah senyum. Setiap berjalan melewati warga, ia selalu menyapa seakan mengenali semua orang di Pohnpei. Setelah berbincang dengan Robert, kami cukup terkejut. Ternyata ia kerabat salah satu figur penting di pemerintahan FSM.
Tapi ada satu hal yang menarik perhatian, ia menenteng plastik kecil berisi pinang kering, kapur, dan daun sirih. Ya, orang FSM juga masih memiliki tradisi mengunyah pinang, meskipun dengan cara yang sedikit berbeda dengan budaya saya di Papua. Masyarakat FSM juga memiliki bahasa lokal yang unik, terdengar sangat mirip dengan bahasa Tagalog Filipina.
Robert lantas mengajak kami ke Nan Madol, sebuah situs arkeologi di pinggiran laut yang merupakan Warisan Dunia UNESCO. Sebelum berangkat, Robert mengimbau kami untuk memakai sandal, karena sudah pasti akan basah.
Robert (kanan), LO kami selama di Pohnpei (dok. pribadi)
Setibanya di sana, kami melihat sebuah struktur yang sangat unik, dan memaksa otak untuk berpikir. Nan Madol sering dijuluki "Venice of the Pacific". Bukan tanpa alasan. Situs kota purba ini dibangun di atas lebih dari 90 pulau buatan yang terbuat dari batu basal, yang dipisahkan dengan kanal-kanal air. Nama Nan Madol sendiri memiliki arti "ruang antara", merujuk pada kanal-kanal air yang berfungsi seperti jalur air di Venesia, Italia.
Struktur bebatuan di situs Nan Madol (dok. pribadi)
Batuan hexagonal yang ditumpuk secara masif, mengingatkan saya pada situs Gunung Padang di Jawa Barat. Lebih herannya lagi, berat balok-balok batu itu ada yang mencapai 25 ton. Bagaimana bisa, ada situs arkeolog kuno di tengah lautan Pasifik, tanpa bantuan teknologi canggih yang dibangun pada abad belasan? Konon, cerita rakyat mengisahkan situs ini dibangun oleh dua bersaudara dari luar Pohnpei dengan kekuatan gaib untuk mengangkat batu-batu besar itu. Beberapa teori konspirasi pun bermunculan, termasuk asal muasal kedua sosok bersaudara itu dari luar angkasa. Semua masih menjadi misteri hingga saat ini.
Ukuran batu hexagonal di Nan Madol (dok. pribadi)
Di pusat situs ini, terdapat semacam ruangan dengan lubang gelap di dasar. Robert bercerita, tempat itu adalah lokasi ritual pengorbanan, di mana akan datang seekor ular raksasa yang diyakini sebagai dewa pada jaman itu, yang muncul untuk mengambil sosok manusia yang ditumbalkan.
Lokasi ritual tumbal (dok. pribadi)
Jejak Indonesia dan Segarnya Tuna Pasifik
Setelah berkeringat mengelilingi Nan Madol dibawah sinar matahari, kami pun bergegas mencari minuman dingin. Kami tiba di supermarket terbesar di Pohnpei. Diantara jajaran produk yang dipajang, saya menemukan jejak-jejak Indonesia, apa lagi kalau bukan kebanggaan kita: Indomie dan sandal Swallow. Ternyata kedua produk ini best seller di FSM. Kami pun membeli beberapa bungkus Indomie menggunakan dolar AS, sebagai mata uang resmi yang digunakan di sana.
Kami lanjut bergerak mencari tempat makan, karena perut sudah keroncongan. Robert mengajak kami ke Joy Restaurant yang menyajikan makanan Jepang dan Barat. Ia lalu merekomendasikan sashimi. Ternyata tidak salah, daging tuna fresh from the Pacific ocean menjadi menu favorit di restoran ini. Sedikit mengobati kekhawatiran kami akan tiket yang belum kunjung pasti.
Sashimi ala Pasifik (dok. pribadi)
Rute Island Hopper
Setelah seharian menunggu kabar dari agen travel dan bolak-balik bandara untuk mengecek ketersediaan flight, akhirnya muncul secercah harapan. Agen travel memberikan opsi kepulangan tanggal 14 September. Tidak mau kalah ticket war dengan delegasi lain, kami langsung putuskan untuk issue.
Rute penerbangan itu di luar dugaan. Bukan melewati Papua Nugini dan Australia seperti rute keberangkatan kami. Rute ini dijuluki "Island Hopper" yang dioperasikan United Airlines, menghubungkan pulau-pulau kecil dan atoll di Pasifik.
Rute penerbangan Island Hopper (Credit: Redgeographic, CC BY-SA 4.0, Wikipedia)
Kami pun berangkat dari Pohnpei di siang hari, melewati Kosrae (FSM), Kwajalein (Kep. Marshall, Majuro (Kep. Marshall), dan tiba di Honolulu (Hawai'i, AS). Di bandara Kwajalein, penumpang tidak diperbolehkan untuk turun pesawat, bahkan sekedar mengambil foto atau video. Maklum, bandara ini bagian dari pangkalan militer AS.
Bandara di Majuro, Kepulauan Marshall (dok. pribadi)
Setelah penerbangan yang cukup panjang, kami transit di Honolulu selama 10 jam. Kesempatan ini kami manfaatkan untuk menginjakkan kaki sebentar di Pantai Waikiki yang terkenal, meskipun cuaca mendung sedikit mengurangi sisi artistik saat sesi foto.
Pantai Waikiki, Honolulu (dok.pribadi)
Kami pun kembali ke bandara karena telah mendekati waktu check-in. Kami sekali lagi menyeberangi Samudra Pasifik, melalui penerbangan panjang dari Honolulu, transit di Narita (Jepang), dan akhirnya tiba kembali di Tanah Air pada 16 September.
Pengalaman Once in a Lifetime
Perjalanan ke Pohnpei ini benar-benar seru dan tidak terlupakan. Dari menghadapi situasi force majeure, hingga bolak-balik menyeberangi Samudra Pasifik, apalagi menempuh rute Island Hopper yang sudah pasti menjadi pengalaman sekali seumur hidup.
Di balik itu semua, pengalaman ini terasa semakin berkesan dengan kemiripan budaya, keramahan masyarakat Pasifik, dan kesegaran daging tuna yang tiada duanya. Meskipun hingga saat ini, Nan Madol masih menjadi misteri yang terus memancing rasa penasaran saya. Mungkin memang benar, the best journeys are the ones we never planned.