Seseorang sedang menelungkupkan tangannya sembari berdoa. Foto: pexels.com
Belajar mata kuliah Agama-Agama Dunia membuat saya sadar satu hal penting bahwa sejarah agama sejatinya adalah sejarah pencarian manusia terhadap kebenaran, bukan sejarah saling menyalahkan. Di setiap agama, saya menemukan bukan hanya perbedaan doktrin, tetapi juga kesamaan cita-cita: manusia ingin menemukan makna, kedamaian, dan kebaikan.
Namun, yang ironis, semakin panjang sejarah agama-agama, semakin banyak pula konflik yang mengatasnamakan Tuhan. Seolah-olah perbedaan iman menjadi alasan untuk membenci, bukan memahami. Dari sinilah saya belajar bahwa toleransi bukan sekadar wacana etika, melainkan kebutuhan sejarah.
Tuhan yang Sama, Jalan yang Berbeda
Jika kita menelusuri sejarah, akar tiga agama besar dunia yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam berasal dari sumber yang sama, kisah spiritual Nabi Ibrahim. Dalam Yudaisme, ia disebut Abraham sang bapa iman; dalam Kristen, simbol kesetiaan; dan dalam Islam, teladan tauhid. Satu sosok, satu Tuhan, tapi ditafsirkan dalam konteks yang berbeda.
Perbedaan tafsir itu wajar dan manusiawi. Setiap agama tumbuh dalam ruang dan waktu yang berbeda, merespons persoalan sosial yang juga berbeda. Namun, yang menyedihkan, manusia sering menjadikan perbedaan itu sebagai jurang pemisah, bukan ladang dialog.
Dari sejarah Yudaisme, saya belajar tentang keteguhan iman di tengah penderitaan. Dari Kristen, saya melihat kekuatan cinta dan pengampunan. Dari Islam, saya menemukan keseimbangan antara akal dan wahyu, antara iman dan amal. Tiga agama itu tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi dalam memperkaya pemahaman kita tentang Tuhan dan kemanusiaan.
Toleransi Bukan Sekadar Slogan
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
Kata toleransi sering terdengar indah, tapi dalam praktiknya tidak mudah. Toleransi bukan berarti menyamakan semua agama, melainkan menghargai keyakinan lain tanpa merasa terancam oleh perbedaan.
Dalam Islam, konsep ini tercermin dari firman Allah dalam Surah Al-Kafirun: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." Kalimat sederhana itu mengajarkan prinsip hidup berdampingan tanpa paksaan, bahkan di tengah perbedaan iman.
Sejarah juga mencatat, pada masa Nabi Muhammad SAW, Piagam Madinah menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat yang berbeda agama dapat hidup bersama dengan asas keadilan dan tanggung jawab sosial. Begitu pula dalam ajaran Yesus yang berkata, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Dan dalam Yudaisme, ada prinsip yang mengajarkan pentingnya memperbaiki dunia melalui kebaikan kepada sesama.
Ketika saya membaca semua itu, saya menyadari bahwa toleransi bukanlah konsep yang baru. Ia sudah menjadi bagian dari wahyu sejak ribuan tahun lalu, hanya saja manusia sering melupakannya.
Belajar dari Luka Sejarah
Kita tidak bisa bicara toleransi tanpa belajar dari luka. Perang Salib, konflik Sunni–Syiah, hingga tragedi modern seperti diskriminasi agama, semuanya menjadi pengingat betapa berbahayanya ketika iman kehilangan empati.
Belajar sejarah agama-agama dunia membuat saya lebih rendah hati. Sebab, saya menyadari bahwa setiap agama pernah mengalami masa di mana mereka menjadi korban, dan masa di mana mereka menjadi pelaku. Dari situ, saya belajar bahwa iman tanpa kesadaran sejarah hanya akan melahirkan arogansi spiritual.
Toleransi sejati lahir bukan dari keyakinan bahwa semua agama sama, tetapi dari kesadaran bahwa semua manusia sama-sama rapuh dan mencari Tuhan dengan cara masing-masing.
Dari Pengetahuan ke Penghayatan
Sebagai mahasiswa Ushuluddin, saya belajar bahwa memahami agama lain bukan ancaman bagi iman, tapi justru memperdalamnya. Karena dengan mengenal yang lain, kita memahami betapa luas kasih Tuhan yang tidak bisa dibatasi oleh sekat identitas.
Tugas kita bukan menilai mana agama yang paling benar, tetapi bagaimana iman kita menghasilkan kebaikan bagi sesama. Seperti kata Jalaluddin Rumi: "Cahaya lilin/lampu berbeda, tapi nyalanya satu."
Toleransi bukan berarti melemahkan iman, melainkan mematangkan akal dan hati. Ia adalah kemampuan untuk tetap teguh pada keyakinan sendiri, sambil menghormati keyakinan orang lain.
Belajar Agama-Agama Dunia membuat saya mengerti bahwa agama tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan, melainkan ruang belajar untuk menjadi manusia yang lebih bijak. Karena pada akhirnya, agama adalah cermin: dari cara kita memperlakukan yang berbeda, terlihat seberapa jauh kita memahami Tuhan yang kita sembah.
Mungkin, inilah makna terdalam dari belajar agama, belajar yang bukan sekadar mengenal Tuhan, tapi juga belajar mencintai ciptaan-Nya tanpa syarat.