Ilustrasi anak di Lampung Dirantai Ayah Tiri karena Terlalu Aktif, Ini Dampaknya!. Foto: Shutterstock
Seorang anak perempuan berinisial S di Mesuji, Lampung, dirantai oleh ayah tirinya karena terlalu aktif. Ia mengaku terpaksa melakukannya lantaran perlu membawa adik korban berobat ke rumah sakit bersama sang ibu.
Anak itu dikenal sangat aktif, sehingga pelaku mengaku khawatir meninggalkannya sendirian di rumah. Menurut keterangan polisi, peristiwa ini telah dilakukan sebanyak dua kali. Polisi sudah meminta keterangan dari kedua orang tua tersebut dan kini statusnya sebagai terlapor, sementara anak tersebut akan didampingi oleh psikolog.
"Alasan TS (ayah tiri korban) merantai kaki S agar korban diam dan tidak ke mana-mana, karena korban merupakan anak yang aktif, dan pelaku sedang memomong adiknya," ujar Kasatreskrim Polres Mesuji, AKP M Prenata Al Ghazali, dikutip dari Lampung Geh.
Tanggapan Psikolog soal Tindakan Merantai Kaki Anak
Menanggapi hal itu, Psikolog Klinis, Raden Mutiara Puspa Wijaya, M.Psi, Psikolog menegaskan bahwa apa pun alasannya, tindakan merantai anak tidak dapat dibenarkan.
"Tindakan merantai anak tentu tidak bisa dibenarkan, karena itu merupakan bentuk kekerasan fisik yang dapat melukai, baik secara fisik maupun psikologis," ucapnya kepada kumparanMOM, Kamis (23/10).
Mutiara menambahkan, anak usia enam tahun berada pada masa perkembangan di mana mereka sedang belajar tentang kepercayaan, rasa aman, dan dunia di sekitarnya. Ketika anak mengalami tindakan seperti dirantai, hal itu bisa menjadi trauma mendalam.
"Ia mungkin merasa tidak dipahami, tidak dicintai, atau bahkan takut terhadap orang yang seharusnya melindunginya," imbuhnya.
Ilustrasi anak sedih, murung, trauma. Foto: FAMILY STOCK/Shutterstock
Dalam jangka pendek, anak bisa mengalami stres, ketakutan berlebihan, sulit tidur, atau mimpi buruk. Sedangkan dalam jangka panjang, efeknya bisa menjalar menjadi rasa rendah diri, sulit percaya pada orang lain, hingga kesulitan menjalin hubungan emosional yang sehat.
Mengasuh Anak Aktif Tanpa Kekerasan
Moms, kasus ini menjadi cermin betapa masih banyak orang tua yang kewalahan menghadapi anak aktif tanpa dukungan lingkungan yang memadai.
"Banyak orang tua yang tidak tahu bagaimana menghadapi perilaku anak aktif, tidak punya akses ke layanan pengasuhan anak, atau bahkan tidak punya keluarga besar yang bisa membantu," tutur Mutiara.
Ilustrasi anak bermain bersama. Foto: A3pfamily/Shutterstock
Padahal, anak aktif bukan berarti nakal. Mereka hanya memiliki energi besar dan rasa ingin tahu tinggi. Tantangan sebenarnya ada pada bagaimana orang tua bisa mengatur lingkungan yang aman dan menyalurkan energi anak secara positif.
"Ketika kebutuhan gerak ini tidak difasilitasi, anak dilarang bergerak, disuruh diam terlalu lama, atau tidak punya ruang bermain yang aman. Akibatnya, energi yang seharusnya tersalurkan dengan positif bisa berubah menjadi perilaku yang tampak "mengganggu" seperti sulit fokus, mudah gelisah, atau menentang perintah," tegas Mutiara.