Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak wacana penerapan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty. Ia menilai langkah tersebut justru bisa menimbulkan kebiasaan buruk bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban mereka.
Sebelumnya, Pemerintah bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
"Kalau amnesty berkali-kali, bagaimana jadinya? Rebutan amnesty itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan-ke depan ada amnesty lagi," kata Purbaya dalam sesi diskusi bersama wartawan di Kantor Kemenkeu, dikutip Sabtu (20/9).
Ia menegaskan, kebijakan tax amnesty yang sudah dua kali dilaksanakan tidak seharusnya diulang kembali. Menurutnya, hal itu akan memberi pesan keliru kepada para wajib pajak.
"Kita mengeluarkan tax amnesty sudah berapa? Dua, nanti tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Yaudah semuanya message-nya adalah kibulin aja pajaknya. Nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya di situ. Itu yang enggak boleh," ujarnya.
Cukai Rokok Ketinggian
Selain tax amnesty, Purbaya juga menyoroti tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang saat ini mencapai rata-rata 57 persen. "Saya tanya kan, cukai rokok bagaimana? Sekarang berapa rata-rata? 57 persen, wah tinggi amat, Firaun lu," kata Purbaya.
Pekerja perempuan menata rokok sigaret kretek tangan (SKT) untuk dikemas di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Dari keterangan jajarannya, ia mengetahui bahwa penerimaan negara justru lebih besar saat tarif cukai ditetapkan lebih rendah. Hal ini membuatnya mempertanyakan alasan kenaikan tarif secara terus-menerus. Menurutnya, pemerintah selama ini memang tidak hanya mengejar penerimaan, tetapi juga menekan konsumsi rokok.
"Kebijakan itu bukan hanya income saja di belakangnya. Ada policy memang untuk mengecilkan konsumsi rokok. Jadi kecil lah, otomatis industrinya kecil, kan? Tenaga kerja di sana juga kecil. Oke, bagus, ada WHO di belakangnya," ucapnya.
Namun, ia menilai desain kebijakan tersebut belum sepenuhnya bijak. Purbaya menyoroti absennya program mitigasi bagi pekerja yang terdampak pemangkasan industri rokok.
"Kalau kamu desain untuk memperkecil industri kan pasti sudah dihitung dong berapa pengangguran yang terjadi. Bisa dihitung kan? Makanya banyak yang dipecat kemarin kan di sana. Terus, mitigasinya apa? Apakah kita sudah buat program untuk memitigasi tenaga kerja yang menjadi nganggur? Programnya apa dari pemerintah? Enggak ada. Kok enak? Kenapa buat kebijakan seperti itu?" jelas Purbaya.