Ilustrasi museum dengan berbagai koleksi sejarah Foto: Shutter Stock
Sejarah sering kali tidak hadir kepada kita dalam bentuk arsip atau dokumen resmi, melainkan dalam wujud cerita. Cerita itu bisa berupa hikayat, babad, atau legenda yang diwariskan turun-temurun. Salah satu yang paling populer ialah Hikayat Hang Tuah. Hingga kini, banyak orang di dunia Melayu meyakini Hang Tuah sebagai tokoh nyata yang hidup di Malaka pada abad ke-15. Padahal, sebagian besar catatan tentang dirinya hadir dalam bentuk sastra, penuh dengan simbol, kisah heroik, bahkan unsur mistis.
Fenomena ini menunjukkan satu hal: masyarakat mudah percaya pada mitos sejarah. Kisah-kisah semacam itu memberi makna dan kebanggaan kolektif. Dalam Hikayat Hang Tuah, misalnya, keberanian dan kesetiaan sang laksamana dianggap teladan yang melekat dalam imajinasi orang Melayu. Vladimir Braginsky (2004) menegaskan bahwa hikayat ini lebih tepat dibaca sebagai karya sastra dengan simbolisme moral daripada catatan faktual sejarah. Artinya, Hang Tuah hidup lebih kuat dalam ranah imajinasi budaya ketimbang dalam dokumen sejarah.
Mitos dalam hikayat bertujuan sebagai alat pembenar tertib sosial. Pengarang mitos (yang selalu anonim) mempunyai maksud politik, yaitu usaha memperkuat kedudukan sang patron. Dalam Hikayat Hang Tuah dikatakan, "Inilah Hikayat Hang Tuah yang sangat setia pada rajanya dan berperilaku dengan kepatuhan yang luar biasa melayani rajanya. Suatu kali turunlah seorang raja dari Surga." (Kuntowijoyo, 2004).
Kondisi yang sama juga berlaku dalam Babad Tanah Jawi. Ada klaim silsilah sampai ke Nabi Adam. Menurut Kuntowijoyo, kerajaan-kerajaan besar Melayu dan Mataram dengan tradisi sastra tulis menciptakan mitos-mitos politik untuk memberikan legitimasi atas hegemoni politiknya. Di Indonesia, sejarah dan sastra menjadi satu dalam mitos sampai awal abad ke-20.
Ilustrasi museum dengan berbagai koleksi sejarah Foto: Shutter Stock
Mitos Sejarah
Mengapa mitos sejarah bisa begitu kuat? Pertama, karena tradisi penulisan sejarah di nusantara lebih banyak hadir dalam bentuk sastra ketimbang dokumen resmi. Babad Tanah Jawi atau kisah ramalan Jayabaya lebih dikenal daripada arsip kolonial yang kaku. Kedua, mitos menyediakan narasi sederhana yang mudah dipahami. Dibanding membaca laporan kolonial yang tebal, masyarakat lebih memilih kisah keris Mpu Gandring yang diyakini membawa kutukan berabad-abad. Ketiga, faktor psikologis. Manusia cenderung membutuhkan cerita besar untuk memahami dirinya dan lingkungannya.
Contoh lain ialah ramalan Jayabaya tentang datangnya "Ratu Adil". Ramalan ini terus muncul kembali di setiap krisis politik, dari masa kolonial hingga reformasi. Di tengah keresahan sosial, masyarakat selalu menaruh harapan pada tokoh penyelamat yang diyakini akan datang.
Denys Lombard (1996) mencatat bahwa ramalan Jayabaya telah berulang kali dipakai sebagai legitimasi politik untuk menumbuhkan harapan kolektif, meski sulit diverifikasi secara historis. Begitu pula dengan mitos keris Mpu Gandring yang dipercaya membawa kutukan hingga tujuh keturunan, padahal lebih tepat dibaca sebagai simbol tentang perebutan kekuasaan yang berdarah-darah.
Sejarawan Anthony Reid (1988) pernah menyinggung bagaimana mitos menjadi alat legitimasi yang efektif karena mampu menyatukan identitas, bahkan ketika fakta sejarahnya samar. Tidak mengherankan jika kisah-kisah heroik seperti Hang Tuah atau Jayabaya selalu dihidupkan kembali ketika masyarakat menghadapi ketidakpastian. Mitos memberi kepastian simbolik yang tidak selalu bisa diberikan oleh fakta.
Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua kisah yang diwariskan melalui hikayat atau legenda adalah fakta sejarah, termasuk kisah Hang Tuah. Hikayat Hang Tuah ditulis sebagai karya sastra sejarah yang memadukan unsur imajinasi, mitos, dan latar peristiwa nyata, sehingga tokoh Hang Tuah lebih tepat dipandang sebagai simbol identitas dan teladan moral orang Melayu, bukan figur sejarah yang pernah benar-benar hidup.
Ketiadaan bukti dokumen sezaman yang menyebut nama Hang Tuah membuktikan bahwa kisah itu lebih merupakan hasil kreasi budaya daripada catatan sejarah. Penting menempatkan Hang Tuah sebagai warisan sastra dan budaya, bukan kebenaran sejarah yang harus diyakini begitu saja (Mu'jizah & Nurmujingsih, 2023).
Ilustrasi hoaks. Foto: Shutter Stock
Hoaks Sejarah
Dalam kenyataannya, sampai sekarang, mitos dalam karya sastra, seperti hikayat, babad, dan lainnya, dipercayai sebagai fakta sejarah. Fenomena terbaru adalah booming-nya konten sejarah di media sosial dalam platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, Twitter (X); menghadirkan dilema antara edukasi dan distorsi. Sejarah lebih populer dan mudah diakses dengan narasi singkat, visual menarik, dan bahasa yang mudah paham. Namun, di sisi lain, konten sejarah tidak jelas sumber sejarahnya. Konten cepat viral kalau menampilkan sesuatu yang bombastis, termasuk merujuk mitos dalam karya sastra.
Di era digital, pola lama berulang dengan wajah baru, yaitu hoaks sejarah. Media sosial sering dipenuhi klaim-klaim sejarah yang dipelintir untuk kepentingan politik. Fakta bercampur dengan opini; opini bercampur dengan mitos. Ketika masyarakat tidak terbiasa membedakan antara sejarah akademis dan cerita populer, ruang publik menjadi rentan terhadap manipulasi.
Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap? Penting untuk menempatkan mitos pada posisi yang tepat. Ia bisa menjadi bagian dari identitas budaya, sumber inspirasi moral, dan refleksi nilai. Namun, ia tidak boleh menggantikan kerja sejarah yang faktual. Di sinilah peran pendidikan menjadi krusial. Sekolah seharusnya tidak sekadar mengulang kisah heroik, tetapi juga mengajarkan keterampilan berpikir kritis: bagaimana menimbang sumber, membandingkan catatan, dan membedakan fakta dari simbol.
Sejarah yang sehat bukanlah sejarah yang steril dari mitos, melainkan sejarah yang mampu memposisikan mitos secara proporsional. Kita bisa merayakan Hang Tuah sebagai simbol kesetiaan, tetapi kita juga harus mengerti bahwa ia lebih hidup dalam dunia hikayat ketimbang dalam arsip Malaka. Kita bisa menghargai ramalan Jayabaya sebagai bagian dari sastra Jawa, tetapi kita juga harus sadar bahwa ia bukan peta jalan politik Indonesia.
Mudah percaya pada mitos sejarah adalah refleksi betapa kuatnya kebutuhan manusia akan cerita. Namun, di tengah derasnya arus informasi hari ini, kemampuan membedakan cerita dari kenyataan menjadi bekal penting. Jika tidak, kita akan terus mengulang pola lama: terjebak dalam cerita, tanpa pernah belajar sungguh-sungguh dari sejarah.