Potret masyrakat Ainu di Hokkaido, di depan sebuah gubuk yang mereka persembahkan kepada dewa-dewa yang melindungi desa. Foto diambil dari Journal des Voyages, tahun 1909.
Lebih dari seabad setelah pendudukan Jepang, bahasa Ainu hampir punah. Kini kecerdasan buatan (AI) yang ditopang insiatif orang-orang keturunan Ainu, memberi harapan baru untuk eksistensi bahasa ini.
Pemutar kaset menyentuh gulungan pita, lalu bagian magnetnya terangkat dan memutarnya. Awalnya, yang terdengar hanya desisan kecil, kemudian suara para leluhur memenuhi ruangan.
Cerita pengantar tidur yang didapatkan Maya Sekine terasa istimewa. Dipilih oleh ayahnya, kisah-kisah penuh warna itu didengarnya melalui berbagai kaset lama yang menampilkan cerita rakyat dalam bahasa Ainu—bahasa yang digunakan para leluhurnya.
Orang-orang Ainu tinggal di kepulauan di wilayah yang sekarang disebut Jepang sejak abad ke-12. Mereka mendiami daerah tanah itu sebelum Jepang datang menjajah mereka.
Sewaktu kecil, cerita favorit Maya adalah tentang serigala Hokkaido yang bernyanyi. Kisah itu disampaikan dengan melodi, korus yang berayun-ayun antara frasa Ainu yang dinyanyikan dan vokalisasi gonggongan.
Namun saat duduk di bangku sekolah, tidak ada satupun teman Maya yang mengerti bahasa Ainu. Meskipun ibu dan kakek-neneknya tahu beberapa frasa dalam bahasa tersebut, mereka sebagian besar berbicara bahasa Jepang.
Orang dewasa lainnya di sekitar Maya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Ainu. Perlahan dia menyadari, bahasa dan budaya keluarganya tengah menuju kematian.
Foto berwarna orang-orang Ainu mengenakan pakaian tradisional di Pulau Hokkaido tahun 1892.
Sekarang hanya segelintir penutur asli Ainu yang tersisa. Bahasa ini ada di dalam daftar UNESCO dengan predikat "sangat terancam punah".
Merujuk sejumlah arsip, pada tahun 1870—satu tahun setelah Ezo atau Ezochi (sekarang disebut Hokkaido) dinyatakan sebagai bagian dari Jepang—masih terdapat sekitar 15.000 orang berbicara dalam ragam bahasa Ainu lokal. Mayoritas dari mereka tidak berbicara dalam bahasa lain.
Namun berbagai kebijakan pemerintah Jepang, termasuk pelarangan bahasa Ainu di sekolah, hampir memusnahkan bahasa dan budaya tersebut. Pada 1917, jumlah penutur bahasa ini tersisa hanya 350 orang, dan angka itu terus menurun drastis sampai saat ini.
Belakangan, Ainu meniti kebangkitannya. Pada 2019, pemerintah Jepang secara resmi mengakui Ainu sebagai penduduk asli negara tersebut. Mereka mengesahkan berbagai regulasi untuk mendorong inklusi dan visibilitas Ainu di tengah masyarakat Jepang.
Berbagai proyek bertujuan melestarikan dan merevitalisasi bahasa Ainu juga tengah berlangsung, satu di antaranya menggunakan AI. Ainu menatap harapannya untuk terus bertahan bersama generasi mendatang.
Sekelompok perempuan Ainu, di Hokkaido tahun1902.
Maya Sekine lahir dan besar di Nibutani, Hokkaido—tempat sekitar 80% penduduknya dilaporkan memiliki garis keturunan Ainu. Namun pengetahuan tentang bahasa Ainu di wilayah tersebut masih langka.
"Saya rasa keluarga saya unik," kata Maya.
"Dari pihak ibu, saya adalah Ainu dan keluarganya terkenal dengan kerajinan tangan mereka. Ayah saya [orang Jepang] juga seorang guru bahasa Ainu," ujar Maya, yang kini berusia 20-an tahun dan aktif sebagai pembuat video di YouTube.
"Saya tahu saya istimewa dan beruntung," tambahnya.
Meskipun banyak ciri khas Ainu telah hilang seiring waktu, pengetahuan asli masyarakat ini tetap bertahan, termasuk lebih dari 80 cara berbeda untuk mendeskripsikan beruang, menurut ayah Maya, Kenji Sekine.
Bahasa Ainu mencerminkan hubungan masyarakat dengan alam dan penghormatan mereka terhadap makhluk hidup lainnya.
"Dalam cara berpikir Ainu, segala sesuatu selain manusia adalah 'kamuy' (dewa atau dewa spiritual). Beberapa hewan sering disebut 'kamuy', seperti 'kimunkamuy' (beruang) dan horkewkamuy (serigala)," ujar Kenji.
Meskipun Ainu diakui sebagai bahasa nasional kedua, bahasa ini tidak termasuk dalam kurikulum sekolah di Hokkaido.
"Siswa tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari budaya dan bahasa Ainu," kata Hirofumi Kato, arkeolog sekaligus Direktur Stasiun Global untuk Studi Indigenitas dan Keragaman Budaya di Universitas Hokkaido.
"Hanya ada satu gambaran stereotip tentang budaya dan sejarah Jepang. Sistem pendidikan memperkuat perspektif monokultural ini," kata Hirofumi.
Seorang perempuan dari kelompok adat Ainu memegang seutas benang ke mulutnya, sekitar tahun 1955.
Penghapusan sejarah ini menyulitkan masyarakat Ainu untuk terhubung dengan akar mereka atau menavigasi identitas mereka dalam masyarakat Jepang modern.
Meskipun minat baru terhadap budaya Ainu telah mendorong lebih banyak representasi orang Ainu di media arus utama, misalnya dalam manga, selama ini terjadi berbagai kasus apropriasi budaya.
Semasa kecil, Maya merasa terbebani oleh tekanan melestarikan budaya Ainu. Dia pernah menyembunyikan identitas leluhurnya ketika pindah untuk sekolah menengah.
Baru setelah masuk universitas, Maya percaya diri untuk merangkul identitas aslinya dan secara aktif mempromosikan budaya Ainu.
Kini, Maya menjadi bagian dari generasi muda yang berusaha mendefinisikan ulang arti menjadi orang-orang berdarah Ainu.
"Bahasa adalah hal terpenting bagi kami. Bahasa adalah hubungan antara budaya dan nilai-nilai kami," kata Maya.
"Keluarga juga. Kami memiliki keluarga besar; kami berkumpul setiap malam dan makan malam. Ini adalah nilai-nilai Ainu," ujarnya.
Meskipun saat ini hanya ada sedikit penutur bahasa Ainu, terdapat banyak sekali kisah lisan yang tersimpan. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti memanfaatkan arsip audio untuk menghidupkan kembali bahasa Ainu.
"Dengan menggunakan teknologi, proses ini sebagian besar telah terotomatisasi. Mereka sekarang memiliki 300 hingga 400 jam data tentang bahasa Ainu," kata Tatsuya Kawahara, pakar informatika di Universitas Kyoto, yang memimpin proyek pelestarian rekaman Ainu.
"Kualitas suaranya kurang bagus karena banyak yang direkam menggunakan perangkat analog di rumah-rumah, yang terkadang berisik. Pekerjaan ini sangat menantang," ujarnya.
Dengan dukungan dana pemerintah, Kawahara dan rekan-rekannya menggunakan sekitar 40 jam rekaman yang menampilkan uwepeker—istilah untuk prosa naratif Ainu. Rekaman itu berisi delapan penutur, selama ini disimpan Museum Nasional Ainu Upopoy dan Museum Kebudayaan Ainu Nibutani.
Kumpulan rekaman itu merupakan sebagian dari berbagai arsip yang secara total berisi sekitar 700 jam data vokal, yang dikumpulkan sejak tahun 1970-an. Sebagian besar rekaman itu berbentuk kaset, seperti cerita rakyat yang didengar Maya semasa kecil.
Pada tahun 2015, Badan Urusan Kebudayaan Jepang mulai mendigitalkan berbagai rekaman itu untuk penelitian dan pendidikan. Inisiatif menggunakan AI muncul tiga tahun setelahnya.
Secara konvensional, teknologi pengenalan suara otomatis dibangun dengan kumpulan data besar untuk memahami tata bahasa tertentu, sebelum memulai transkripsi.
Namun bahasa yang terancam punah seperti Ainu tidak memiliki data tersebut. Solusinya, para peneliti harus mengandalkan model "end-to-end" – sebuah pendekatan yang memungkinkan sistem mempelajari cara memproses suara menjadi teks tanpa pengetahuan tata bahasa.
Tiga anak Ainu di Piratori, tahun 1908.
Tim yang digawangi Kawahara kini sedang mengembangkan sistem sintesis bahasa Ainu berbasis AI. Sejauh ini mereka dapat membuat AI tersebut untuk meniru penutur yang telah memberikan lebih dari 10 jam rekaman.
Sistem ini bahkan telah menghasilkan versi audiovisual dari teks dua cerita prosa, berjudul Kisah Beruang, yang ditranskripsi antara 1950-1960, dan Saudari Raijin yang ditranskripsi pada tahun 1958.
Versi audio AI dari Saudari Raijin telah dibagikan kepada Museum Nasional Ainu Upopoy. Data itu kini digunakan untuk melatih para aktor teater.
Bagi telinga yang kurang terlatih, rekaman dengan suara mirip seorang perempuan tua, terdengar sangat alami, dengan jeda yang jelas dan sejumlah infleksi nada yang biasa terdengar dari penutur asli. Walau begitu, rekaman itu terdengar agak cepat.
"Saya berharap AI semacam ini dapat membantu orang-orang di Hokkaido, baik leluhur Ainu maupun kaum muda, untuk mempelajari bahasa Ainu," kata Kawahara.
Kawahara berkata, AI juga memungkinkan terciptanya avatar virtual, yaitu asisten pengajar Ainu yang dapat membimbing para pembelajar. Timnya juga berharap dapat menangkap lebih banyak dialek Ainu dengan AI serta menyertakan konten dari generasi muda, bukan hanya rekaman lama.
Seberapa Akurat Sistem AI Tersebut?
Saat ini, kemampuan penerjemahan AI itu sebanding dengan kemampuan mahasiswa pascasarjana bahasa Ainu, klaim para peneliti.
Saat melakukan transkripsi beberapa penutur, akurasi pengenalan kata AI mencapai 85%. Akurasi AI dalam mengenali fonem (unit bunyi individual dalam suatu bahasa) bisa mencapai 95%, meski angka ini turun menjadi 93% untuk penutur asing yang menggunakan dialek yang sama, dan menjadi 85% untuk penutur dengan dialek yang berbeda.
Namun Maya Sekine meragukan kemampuan AI untuk berbicara bahasa Ainu secara autentik. Dia khawatir teknologi ini akan menyebarkan pengucapan yang keliru dan berbagai kesalahan lainnya.
Awalnya, banyak keturunan Ainu yang dihubungi Kawahara, dan timnya juga waspada terhadap proyek ini. Mereka cemas teknologi ini dapat menciptakan ujaran palsu atau menyebarkan misinformasi.
Namun mereka yang mendukung proyek ini telah membantu memeriksa kualitas transkrip dan ujaran yang dihasilkan komputer serta data sumbernya.
"Sulit untuk mengatakan apa yang saya pikirkan tentang proyek ini," kata Maya.
Meskipun AI dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap bahasa tersebut, Maya menilai orang Ainu harus memiliki pengetahuan tentang bahasa tersebut, agar mereka dapat memahami mana yang palsu.
"Yang lebih penting adalah mendapatkan dan memverifikasi data langsung," kata Maya.
Maya telah membuat rekamannya sendiri yang berbasis cerita-cerita Ainu yang dituturkan neneknya dan penduduk lanjut usia lainnya di Nibutani.
Ayah Maya, Kenji Sekine, ikut serta dalam inisiatif AI. Dia membantu tim itu mencari rekaman masa lalu.
Meskipun bukan orang Ainu, Kenji mulai mempelajari dialek Saru dari bahasa tersebut, saat membantu istrinya menjalankan kelas bahasa Ainu untuk anak-anak di Nibutani pada 1999. Kenji akhirnya mengambil alih kursus tersebut dan telah mengajar bahasa Ainu sejak saat itu.
"Ini adalah pekerjaan hidup saya. Saya ingin lebih banyak orang belajar. Saya pikir proyek AI ini adalah hal yang baik," ujar Kenji.
Seorang tabib Ainu dari Desa Agnevo, dipotret sekitar tahun 1880-1899.
Selama kunjungan para peneliti ke Nibutani, mereka membuat pangsit beras bersama sekelompok penduduk. Mereka menghadiri salah satu kelas reguler yang diampu Kenji Sekine, yang diikuti lebih dari selusin siswa berusia tujuh hingga 15 tahun.
Diajarkan secara berkelompok, kelas Kenji berlangsung penuh semangat dan menggabungkan unsur-unsur Te Ataarangi, sebuah metode pengajaran bahasa yang menekankan berbicara dan visualisasi, yang dikembangkan oleh masyarakat Maori, sebuah kelompok Pribumi di Selandia Baru.
"Yang kami perjuangkan saat ini adalah persoalan kurangnya rekaman percakapan. Orang terakhir yang kami sebut sebagai penutur asli meninggal dunia 20 tahun yang lalu," kata Kenji.
Menjaga keberlangsungan Ainu jelas penting bagi komunitas ini. Tapi apa konsekuensinya? Maya Sekine bertanya-tanya apakah data yang digunakan untuk melatih sistem AI akan sepenuhnya dapat diakses publik.
David Ifeoluwa Adelani, dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas McGill di Kanada, berkata bahwa para peneliti Ainu perlu membangun kepercayaan dan transparansi dengan komunitas.
"Dalam beberapa kasus revitalisasi bahasa, ada aspek, 'Anda datang dan mengumpulkan data, lalu menjualnya kembali kepada kami'," kata Adelani.
"Para peneliti perlu mendapatkan persetujuan dan kemudian menyepakati bagaimana data tersebut akan digunakan," tuturnya.
Menurut David, cara itu sangat sensitif bagi para keturunan Ainu karena, selama bertahun-tahun, budaya Ainu telah dikomersialkan dan diapropriasi untuk keuntungan di Jepang—melalui pariwisata, media, dan perdagangan.
Ancaman eksploitasi lebih lanjut merupakan ancaman nyata bagi orang Ainu, yang tanahnya dikuasai otoritas Jepang. Dilarang menangkap ikan dan berburu selama berabad-abad, banyak orang Ainu terpaksa mencari nafkah melalui pertanian dan pekerjaan kasar.
Seorang warga Ainu di Pemukiman Penzenskoye, sekitar tahun 1880-1899.
Tidak ada statistik resmi mengenai jumlah orang Ainu yang masih tinggal di Jepang saat ini. Sebuah survei 2023 yang dikerjakan Pemerintah Prefektur Hokkaido menemukan bahwa 29% orang Ainu telah mengalami diskriminasi, meningkat 6% dari jajak pendapat sebelumnya pada 2017.
Laporan media massa lokal juga menunjukkan, orang Ainu memiliki penghasilan lebih rendah daripada rata-rata nasional dan juga lebih mungkin mengalami pekerjaan yang tidak stabil.
David Adelani berkata, lebih etis untuk melatih anggota komunitas tentang cara menggunakan perangkat AI untuk merevitalisasi bahasa mereka, daripada para periset turun tangan dan mengumpulkan data.
"Kami mempelajari bahasa dengan sumber daya yang sangat rendah dengan penutur asli di Kamerun karena mereka ingin mempelajarinya. Itulah mengapa penting untuk melatih anggota komunitas. Jika Anda mengajari mereka, mereka dapat memprioritaskannya," ujarnya.
Meskipun beberapa keturunan Ainu menyambut baik minat pemerintah dalam pelestarian budaya asli, para kritikus menilai Jepang belum mengatasi ketidakadilan historis dan memberikan hak-hak fundamental.
Beberapa pihak berpendapat bahwa Museum Nasional Ainu Upopoy merupakan kelanjutan lain dari kebijakan asimilasi Jepang. Museum ini menyimpan tulang-belulang manusia Ainu yang ingin diambil kembali oleh masyarakat Ainu.
"Upopoy tampak seperti contoh lain bagaimana Jepang menggunakan kekuasaan mereka atas Ainu," ujar aktivis Ainu, Shikada Kawami.
"Saya tidak tahu berapa banyak Ainu yang menyadari sejauh mana mereka masih dieksploitasi," ujarnya.
Menurut Kawahara, Museum Nasional Ainu memegang hak cipta atas data asli yang digunakan untuk mengembangkan sistem tersebut, dengan persetujuan dari keluarga para penutur.
Laboratorium tersebut memiliki hak atas sistem AI itu sendiri. "Namun, sistem ini tidak akan berfungsi tanpa data," ujarnya.
Sekelompok perempuan Ainu menampilkan tarian tradisional, sekitar tahun 1950. Orang-orang Ainu tidak memiliki bahasa tertulis, sedangkan bahasa lisan mereka diyakini tidak berhubungan dengan bahasa lain yang dikenal luas.
Di masa mendatang, verifikasi kinerja AI akan sulit dilakukan mengingat minimnya penutur Ainu, kata Sara Hooker, kepala Cohere for AI, sebuah lembaga nirlaba yang bertindak sebagai divisi riset untuk perusahaan teknologi Cohere.
"Ketika kami memikirkan sistem multibahasa dan jangkauan global, yang penting bukan hanya memastikan bahasa-bahasa tersebut tercakup, tapi memastikan nuansa dan cara orang menggunakan model-model ini setiap hari cukup kaya untuk melayani masyarakat," tuturnya.
Walau begitu, kecerdasan buatan untuk pengenalan dan pembangkitan suara telah berkembang pesat, kata Francis Tyers, penasihat linguistik komputasional di Common Voice. Saat ini, para pengembang merilis sistem AI yang mencakup ratusan bahasa—sesuatu yang mustahil lima tahun yang lalu.
"Dalam dunia yang ideal, teknologi bahasa dibuat oleh penutur, untuk penutur," kata Tyers.
Dia mencontohkan Spanyol, negara dengan banyak sistem penerjemahan mesin yang menargetkan bahasa-bahasa yang kurang terlayani seperti Katalan atau Basque dipelopori oleh anggota komunitas tersebut sendiri.
Dalam kasus lain, ketika penutur asli langka atau bahkan tidak ada, para pemimpin dapat memastikan, masyarakat adat memiliki wewenang atas bagaimana dana publik dibelanjakan untuk melestarikan atau mengembangkan perangkat pembelajaran bahasa.
Tyers mencontohkan proyek bahasa Sámi. Masyarakat Sámi tinggal di wilayah Sápmi, yang membentang di wilayah utara Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Semenanjung Kola di Rusia.
"Masyarakat Sámi yang terlibat dalam proyek tersebut adalah mereka yang membuat keputusan keuangan politik," kata Tyers.
Upaya untuk meningkatkan representasi Ainu terus berlanjut. Maya dan ayahnya, Kenji, berharapan lebih banyak orang Ainu akan fasih berbahasa di masa depan. Sebaliknya, mereka ingin masyarakat Jepang lebih memahami dan merangkul aspek unik dari warisan adat daerah ini.
Generasi muda terus menciptakan kata dan frasa baru dalam bahasa Ainu, termasuk "imeru kampi". Imeru berarti sambaran petir, sementara kampi berarti surat— keduanya telah menjadi istilah Ainu untuk "surel".
"Bahasanya sendiri tidak akan sama seperti di zaman kuno, tapi tidak apa-apa," kata Kenji.
Setiap bahasa itu hidup, dinamis, dan terus berubah."