Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian saat ditemui usai pelantikan pengurus pusat Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) masa bakti 2024-2029 di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Senin (21/4/2025). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
Koalisi sipil Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang terdiri dari sejarawan, aktivis, hingga arkeolog mendesak Komisi X menolak penulisan ulang sejarah Indonesia.
"Dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan sejarah resmi Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia," kata Ketua AKSI Marzuki Darusman saat membacakan pembukaan Manifesto Aksi di rapat dengar pendapat umum di Komisi X DPR RI, Senin (19/5).
Berikut Manifesto AKSI yang dibacakan secara bergiliran.
Kami dari AKSI (Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia) dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan 'sejarah resmi' Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Sikap kami menolak berdasarkan pada pemikiran sebagai berikut
Kesatu, pernyataan Kementerian Kebudayaan tentang rencana penulisan sejarah Indonesia secara nyata merupakan kehendak sadar untuk melaksanakan suatu proyek masif berupa rekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal.
Dalam lingkup proses rekayasa itu tampak tertanam tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan suatu bangunan atau rekonstruksi suatu sejarah monumental tertentu. Sejalan upaya mewujudkan visi serupa itu, lahirlah ilusi bahwa pemerintah seolah telah mendapat mandat bangsa untuk menegakkan sejarah yang dirancangnya itu.
Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa.
Kedua, atas dasar fiksi politik tersebut, pemerintah menggunakan mandat sejarah untuk menegakkan suatu tatanan politik atau orde tertentu, menjadi imperatif dan absah bagi pemerintah untuk meletakkan dan menetapkan secara definitif keseluruhan batasan normatif tentang perilaku, pemikiran, dan pernyataan pendapat masyarakat yang harus berkesesuaian dengan akseptabilitas pemerintah, seperti yang dibentuk dalam citra kesejarahan itu.
Ketiga, spektrum politik seluruh kekuasaan pemerintah digelar dan dilaksanakan, dalam suatu jangkauan politik yang batas-batas terluarnya dibingkai paham otoriterianisme di satu sisi, dan totaliterianisme di sisi lain. Totaliterianisme bukanlah akumulasi otoriterisme; sebaliknya otoriterianisme bukanlah totaliterianisme moderat yang bisa ditangkal dan dicegah melalui pengingkaran, dan serangkaian narasi verbal oleh pemerintah
Pengunjung melihat instalasi tulisan sejarah Republik Indonesia (RI) dalam pameran Arsip Kepresidenan bertajuk Mari Ke Nusantara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (11/8/2024). Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
Keempat, seluruh proyek penulisan Sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan adalah sebuah sejarah buatan, yang telah jauh melebihi interpretasi tentang sejarah, yang adalah sumber daya ilham politik dan identitas kebangsaan. Tindakan ini merupakan suatu tindak pengkhianatan terhadap paham dasar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia, dan menghancurkan memori kolektif tentang kapasitas alamiah dan kekuatan bangsa, untuk mengatasi tantangan eksistensialnya.
Sesungguhnya kerakyatanlah yang telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari kungkungan kolonialisme, pertarungan ideologisme, dan dominasi otoriterianisme. Pemerintah bukanlah satu-satunya penafsir tunggal atas sejarah bangsa. Suara rakyat, sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya.
Kelima, pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia telah menjadi rujukan sejarah dunia, bagaimana pengalaman pahit bangsa Indonesia, sebagai instrumen sejarah yang bertujuan memuliakan kekuasaan; menunjukkan bahwa penggelapan sejarah akan membawa petaka bagi bangsa Indonesia. Maka, penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan perlu dihentikan dan ditolak!
Demikian Manifesto AKSI sebagai warga negara yang peduli terhadap keterbukaan penulisan Sejarah Indonesia, yang egaliter dan demokratis.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati. Foto: Instagram/ @my.estiwijayati
Adapun penulisan sejarah yang menjadi salah satu program kerja Kementerian Kebudayaan ini ditargetkan rampung Agustus tahun ini.
Meski begitu, Ketua Komisi X Hetifah Sjaifuddian mengaku belum mengetahui secara rinci program kerja penulisan ulang sejarah yang menjadi program kementerian yang diawasi komisinya.
"Terus terang kami pun belum pernah bertemu secara langsung dan membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya dan sebagainya," kata Hetifah dalam yang sama.
Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PDIP My Esti Wijayanti pun berharap komisinya bisa memanggil memanggil Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai program ini.
"Untuk kemudian semuanya bisa bicara secara terbuka karena ini bicara soal sejarah sejarah yang memang harus sesuai dengan fakta yang ada," kata My Esti.
"Tidak ada muatan-muatan yang kemudian justru membuat kegaduhan di republik ini saya kira itu," tuturnya.