Sep 30th 2024, 10:33, by Selfy Momongan, kumparanWOMAN
Praktik sunat perempuan di Indonesia masih menjadi masalah serius hingga saat ini. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 menyebutkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun, menjalani sunat perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan).
Alasan di balik masih suburnya praktik ini pun beragam, mulai dari kepercayaan agama, tradisi turun-temurun, hingga norma sosial. Padahal, secara medis, sunat perempuan tidak memiliki manfaat dan justru berpotensi menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Di sisi lain, pelarangan sunat perempuan juga baru diatur oleh pemerintah belum lama ini.
United Nations Population Fund (UNFPA) segara tegas mendorong terwujudnya penghapusan praktik sunat perempuan. UNFPA bahkan menyebut praktik sunat perempuan dapat menghambat kesetaraan gender dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"UNFPA mendorong penghapusan P2GP. Karena kami melihat bahwa praktik ini termasuk dalam harmful practice, aksi yang dapat menghambat kesetaraan gender," ujar Assistant Representative UNFPA Indonesia Verania Andria dalam Pertemuan Nasional ke-IV Kementerian PPPA, Kamis (26/9).
"P2GP seolah-olah satu kegiatan kecil. Tapi penghapusan P2GP adalah kunci yang bisa mendorong kita mencapai masa depan yang bebas diskriminasi dan stereotyping," sambungnya.
Verania menjelaskan UNFPA memiliki komitmen yang dituangkan dalam visi Tiga Tujuan Transformatif (Three Zeros), yaitu nol kematian ibu yang bisa dicegah, nol kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi, dan nol kekerasan berbasis gender, termasuk di dalamnya yaitu menghapus sunat perempuan.
Untuk itu, sejak 2018, UNFPA telah berfokus pada penyediaan akses kontrasepsi bagi perempuan dan kaum muda, memastikan perempuan menjalani kehamilan yang sehat dan melahirkan dengan aman, serta melindungi perempuan dan anak perempuan dari bahaya.
Namun, Verani mengatakan, keberhasilan untuk mencapai tujuan ini bergantung pada kesuksesan semua pihak dalam memberdayakan perempuan dan anak perempuan sehingga mereka bisa mendapatkan hak-haknya dan memiliki pilihan dalam semua aspek kehidupan.
Untuk itu Verania menegaskan, upaya ini juga harus didasarkan pada survei untuk mendapatkan data yang berkualitas. Tersedianya data-data yang valid akan membantu pemerintah merumuskan kebijakan atau rencana aksi yang tepat sasaran dalam menghapus praktik sunat perempuan.
"Penting menggali data lewat survei-survei sehingga kita bisa mendesain action plan untuk menghapuskan P2GP di Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain, Verania pun merasa bangga karena UNFPA sejauh ini telah ikut menjadi bagian dari penyelenggaraan SPHPN 2021 dalam rangka memahami serta menggali data yang akan menjadi dasar tindakan penghapusan P2GP di Indonesia.
UNFPA juga mengapresiasi keputusan pemerintah untuk menghapus praktik sunat perempuan di Indonesia yang tertuang dalam Pasal 102 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). PP tersebut diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Juli 2024 lalu.
Namun Verania mengingatkan bahwa aturan tersebut membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan sebagaimana yang disepakati dalam peta jalan P2GP 2020-2030.