RUU Penyiaran dikhawatirkan dapat memberangus kebebasan pers. Apalagi, pasal dalam draf yang mengatur pelarangan produk jurnalisme investigasi dikritik banyak pihak.
Soal itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta DPR melibatkan seluruh stakeholder terkait dalam pembahasan RUU Penyiaran. Ia menekankan pembahasan RUU Penyiaran tidak boleh buru-buru.
"Yang penting itu masalah kebebasan pers sesuai dengan UU yang ada tidak terkendala. Dan masalah [penayangan produk] investigasi saya kira itu hak publik diberikan kesempatan tentu saja dengan aturan-aturan yang perlu disepakati seperti apa," kata Ma'ruf usai melepas keberangkatan jemaah haji Aceh kloter pertama, dikutip Kamis (30/5).
Ia mengatakan, pemerintah mendorong jika diperlukan perbaikan dalam UU Penyiaran. Dengan catatan tidak menghilangkan kebebasan pers yang sudah berjalan.
"Artinya kita pemerintah itu tentu saja mendorong adanya perbaikan-perbaikan yang masih perlu, tapi jangan sampai kemudian menghilangkan kebebasan pers, tapi juga tentu harus ada juga aturan-aturan yang disepakati caranya bagaimana termasuk investigasi tadi," pungkasnya.
RUU Penyiaran sudah masuk Baleg DPR. Namun, pembahasannya masih ditunda karena ada sejumlah pasal yang memerlukan kesepakatan dan penjelasan.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menyatakan pihaknya tidak berniat mengecilkan peran pers.
"Hubungan selama ini dengan mitra Komisi I DPR yaitu Dewan Pers sejak Prof Bagir Manan, Prof Nuh, dan Alm Prof Azyumardi adalah hubungan yang sinergis. Saling melengkapi termasuk dalam lahirnya Publisher Rights," kata Meutya dalam keterangannya, Kamis (16/5).
Mantan reporter TV ini mengatakan, Komisi I DPR menyadari keberlangsungan media yang sehat adalah penting. Jadi yang beredar saat ini merupakan draf yang belum final.
"RUU Penyiaran saat ini belum ada, yang beredar saat ini adalah draf yang mungkin muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draft tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir," ujarnya.